Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Belajar Sastra Timur di Jantung Jawa

Bersekolah di AMS Solo. Membayar sebenggol kepada Poerbatjaraka untuk kursus Sanskerta.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terali biru menutup gerbang bertuliskan Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi. Pintu masuk ini terhubung langsung dengan aula kampus di kawasan Mesen, Jebres, Solo, Jawa Tengah. Debu dan sampah berserakan di bangunan yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo 110 ini, Selasa dua pekan lalu. Pada dinding atap menghadap jalan, menempel papan berukuran lebih kecil bertulisan "Universitas Sebelas Maret Kampus II". Kampus I UNS berada di kawasan Kentingan di dekat Bengawan Solo. Meski kampus Mesen adalah kampus kedua, justru di sinilah cikal-bakal UNS.

Di kampus dekat Stasiun Jebres ini, pada zaman penjajahan Belanda pernah berdiri Algemene Middelbare School atau AMS Bagian A1. Sekolah yang setara dengan sekolah menengah atas ini mempelajari Oostersch letterkundige atau sastra Timur. Di sekolah ini, Muhammad Yamin pernah menempuh pendidikan pada 1926 dan lulus pada 1927. Yamin menjejakkan kaki di Solo pada 1925. "Pada periode itu, Solo merupakan jantung Pulau Jawa," kata peneliti sejarah Kota Solo, Heri Priyatmoko.

AMS Solo didirikan W.F. Stutterheim, arkeolog ma­syhur Belanda yang juga ahli kebudayaan Indonesia kuno. Saat itu Stutterheim menyewa rumah lantaran belum memiliki gedung sendiri. Rumah itu milik saudagar Cina kaya raya bernama Be Kwat Koen. Peter Post, peneliti sejarah modern Asia, Jepang, dan Indonesia, menyebutkan pemerintah Belanda memberi Be Kwat Koen jabatan administratif sebagai Kapitan Cina di Semarang dan mayor tituler di Surakarta.

Dia juga dekat dengan Mangkunegara VII, yang bertakhta saat itu. "Be juga memiliki pengaruh hingga ke keluarga Raja Chulalongkorn di Thailand, penguasa Cina, bahkan Jerman," kata Peter Post dalam tulisannya. Ia menulis kajian ini di Journal of Asia-Pacific Studies, Waseda University, Jepang, terbitan 2009.

Untuk menyelenggarakan pendidikan AMS, Stutterheim menyewa gedung itu senilai 230 gulden. AMS tidak lama menempati bangunan tersebut. Selanjutnya, Raja Mangkunegaran meminjamkan bangunan di kawasan Manahan untuk AMS. Daerah itu, sesuai dengan namanya, dulu memang digunakan untuk latihan memanah. Kini, di Mana­han bangunan AMS tak lagi berbekas, digantikan kampus besar empat lantai milik Universitas Sebelas Maret. Mahasiswa Jurusan Keguruan Olahraga berkuliah di sini. Sejak 1932 AMS Solo bergabung dengan AMS Yogyakarta.

Peneliti sejarah Heri Priyatmoko menyatakan AMS Solo diminati masyarakat sejak mulai berdiri. Pada 1926, sekolah itu berhasil menghimpun 100 siswa. Yamin tumbuh bersama pelajar dari Ambon, Batak, Padang, Aceh, Betawi, Priangan, Madura, Sumatera, Bali, dan Jawa bagian tengah, serta kelompok Tionghoa dan Belanda. Selain Yamin, tokoh besar seperti sastrawan Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Achdiat Karta Mihardja juga lulusan AMS Solo.

Ada juga pakar sastra Jawa yang juga guru besar Universitas Indonesia, Tjan Tjoe Siem. Dia seorang Cina pera­nakan kelahiran Solo yang pernah menjadi asisten Profesor Poerbatjaraka, yang dikenal sebagai ahli sastra dan budaya Jawa kuno, termasuk bahasa Sanskerta. R. Prijono, pendiri Universitas Gadjah Mada, juga lulusan AMS Solo. Prijono belakangan menjadi Menteri Pendidikan di era Presiden Sukarno. "AMS merupakan sekolah favorit pada saat itu," kata Heri Priyatmoko.

Menurut dia, di Solo, Yamin tinggal di internaat atau asrama milik AMS. Kepala Sekolah Stutterheim melobi pemerintah kolonial Belanda, penguasa Kerajaan Kasunanan, dan Mangkunegaran supaya berbaik hati memberi sumbangan untuk mendirikan asrama. Stutterheim bernapas lega karena pemerintah jajahan Belanda meloloskan permohonannya. Pemerintah Kerajaan Kasunanan ikut menyokong 200 gulden dan Mangkunegaran 100 gulden per bulan.

Selain menyediakan asrama, AMS memberikan beasiswa kepada siswa yang cerdas. "Besar kemungkinan Yamin juga menikmati beasiswa itu," kata Heri. Ini yang membuat Yamin mampu bertahan tinggal di Solo selama tiga tahun. Bagi siswa dari luar daerah, diperlukan ongkos yang tidak sedikit untuk bisa menempuh pendidikan di AMS. Setidaknya mereka harus memiliki pasokan 50 gulden tiap bulan, dengan rincian ongkos asrama 30 gulden, uang sekolah 12,5 gulden, dan uang saku 7,5 gulden.

Di AMS, Yamin belajar kebudayaan Indonesia dan sejarah kesenian. Dia juga mempelajari kesusastraan Jawa dan Melayu. Raden Tumenggung Yasawidagda, pengarang sastra Jawa yang cukup produktif di zaman penerbit Balai Pustaka, adalah guru sastra Jawa yang menuntun Yamin belajar adat, tata cara, dan bahasa Jawa. Para murid yang berminat belajar menabuh dan menari disumbang game­lan oleh Mangkunegara VII, penguasa pribumi yang peduli pada pendidikan. "Inilah yang membuat Yamin dekat dengan bangsawan Mangkunegaran," kata Heri.

Kemampuan Yamin menguasai sejumlah bahasa juga terasah di AMS Solo. Dia fasih berbahasa Belanda, Jerman, dan Prancis. Menurut Kusumo, anak angkat, Yamin berbahasa Belanda dengan sempurna ketika berbicara dengan ayah kandung dia, Dardo Nitiwidjojo. Yamin dan Dardo sama-sama mendapatkan pendidikan tinggi hukum. Kusuma juga berkisah, ketika melawat ke Jerman, Yamin berpidato menggunakan bahasa Jerman.

Yang menarik, Yamin pun belajar bahasa Sanskerta kepada Poerbatjaraka di luar jam sekolah. Ia membayar sebenggol atau dua setengah sen gulden per pekan kepada Poerbatjaraka. "Duit sebenggol bisa untuk hidup sehari, membeli telur bebek dan beras," kata Kusumo.

Menurut Heri Priyatmoko, selama di Solo, Yamin merasakan rumitnya berinteraksi dengan masyarakat setempat karena menggunakan bahasa Jawa yang bertingkat. Ada bahasa Jawa bagongan yang digunakan di dalam keraton, ada Jawa krama inggil, Jawa krama alus, Jawa ngoko alus, dan Jawa ngoko lugu. Bahasa Jawa bersifat feodal, tidak egaliter. Inilah pijakan Yamin mengusulkan Melayu agar jadi dasar bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda pada 1928.

Hingga wafat di usia 59 tahun pada 1962, Yamin setia kepada bahasa Indonesia yang ia usulkan sebagai bahasa persatuan. Kepada istrinya, Siti Sundari, yang bangsawan Jawa, Yamin selalu berbahasa Indonesia. "Pak Yamin berbahasa Indonesia dengan cermat dan tertib," kata Kusumo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus