Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK banyak pilihan buat Muhammad Yamin melanjutkan pendidikan setelah lulus Algemene Middelbare School (AMS)—setara dengan penggabungan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Fadjar Ibnu Thufail, kerabat Yamin, mengatakan satu-satunya perguruan tinggi yang menampung alumnus AMS hanya Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta.
Yamin masuk perguruan tinggi pertama di Indonesia itu pada 1927. Sebelumnya, jenjang pendidikan kesarjanaan atau universitas hanya ada di Belanda, misalnya Universitas Leiden. Namun universitas di Negeri Kincir Angin itu hanya menerima alumnus Hogere Burgerschool, sekolah sejenis AMS yang khusus menampung siswa anak keturunan Belanda, Tionghoa, dan elite pribumi. AMS dinilai sekolah kelas dua yang didirikan pemerintah Hindia Belanda untuk pribumi bukan priayi.
Terlepas dari persyaratan itu, Yamin termasuk anak keluarga terpandang yang tidak memuja pendidikan Barat. Padahal, menurut Fadjar, mayoritas orang Minang memiliki orientasi pendidikan berkiblat ke Barat. "Kalau ke Barat terus, Indonesianya ke mana?" kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini.
Kuliah di perguruan tinggi hukum bukan berarti Yamin gandrung akan ilmu hukum. Bagi dia, daya tarik mengenyam pendidikan di sekolah hukum karena ada mata kuliah ilmu filsafat. "Yamin sangat menggemari filsafat," ujar Fadjar.
Yamin tergolong telat dalam pendidikan tinggi. Penyebabnya adalah Yamin sering berpindah sekolah saat pendidikan dasar karena harus mengikuti orang tua dan kerabat yang membesarkannya. Selain itu, ia tak segan-segan memutuskan pindah sekolah lantaran tak cocok dengan pelajaran, seperti ketika pindah ke Jawa setelah lulus Hollandsch-Inlandsche School di Lahat, Sumatera Selatan.
Momon Abdul Rahman dalam buku Muhammad Yamin: Sosok Seorang Nasionalis memaparkan pria kelahiran 22 Agustus 1903 itu mendapat beasiswa untuk belajar di Sekolah Dokter Hewan. Rupanya, ia tidak tertarik pada pelajaran tentang binatang dan penyakitnya. Dari mempelajari fauna, Yamin mencoba beralih membedah kehidupan flora dengan pindah ke Sekolah Pertanian di Bogor, Jawa Barat.
Ternyata rasa betah tak kunjung berubah. Kendati Yamin menyukai alam pegunungan dan hamparan sawah menghijau, pelajaran tentang agronomi tak lantas menarik perhatiannya. Lagi-lagi ia tak bertahan lama.
Dahaga ilmu Yamin mulai terpuaskan sejak pindah ke AMS di Yogyakarta. Di sekolah inilah dia bertemu dengan pelajaran yang ia minati, seperti budaya, bahasa, dan sejarah. Menurut Sutrisno Kutoyo, penulis biografi Prof. H. Muhammad Yamin S.H., akibat aksi coba-coba sekolah, Yamin baru menyelesaikan studi di AMS setelah menginjak usia 24 tahun. Dalam keadaan normal, rata-rata seseorang menamatkan pendidikan menengah atas pada usia 19-21 tahun.
Masih di dalam biografi yang ditulis Sutrisno, selama kuliah, Yamin tinggal bersama-sama teman mahasiswa lain yang berasal dari beragam daerah. Mereka tinggal di asrama Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. Gedung asrama itu dipugar pemerintah DKI Jakarta pada 1974 sebagai Gedung Sumpah Pemuda.
Teman satu asrama Yamin di antaranya Sumanang, Amir Sjarifuddin, dan Abu Hanifah. Kehidupan Yamin cukup sederhana. Mereka patungan membayar makan karena kala itu perekonomian masyarakat sedang sulit, terutama pada 1929-1930. Suhu politik di Tanah Air juga meninggi. Banyak pemimpin pergerakan, seperti Sukarno dan Sjahrir, ditahan pemerintah Belanda.
Selama menjadi mahasiswa, Yamin masih kerap menerima kiriman uang dari keluarganya. Namun, karena ia royal, uang kiriman itu cepat ludes. Pengeluaran rutin adalah mentraktir teman-temannya makan di warung Padang dan menonton bioskop. "Yamin juga kerap memborong buku," tulis Sutrisno dalam biografi Yamin.
Yamin dapat menamatkan studi di Sekolah Tinggi Hukum tepat waktu lima tahun. Pada 1932, ia lulus dan sejak itu putra pasangan Oesman Bagindo Chatib dan Siti Saudah ini berhak memakai gelar meester in de rechten. Nama lengkapnya menjadi Mr Muhammad Yamin.
Tak hanya mengenyam ilmu, Yamin juga aktif berpolitik dengan gaya nonkooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda. Menurut Sutrisno, para penganut asas ini mayoritas enggan melamar sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. "Walaupun gajinya besar dan kedudukannya lumayan."
Banyak tokoh pergerakan yang pandai dan bergelar Âmeester in de rechten, doctorandus, dan insinyur memilih bekerja sebagai pegawai swasta. Mereka ada yang menjadi pengacara; guru di sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Perguruan Rakyat; wartawan; serta pemborong bangunan.
Tak terkecuali Yamin. Ia bekerja sebagai penulis dan wartawan saat bersekolah di AMS. Setelah bergelar sarjana hukum, ia menjadi pengajar di Sekolah Jurnalistik dan Pengetahuan Umum yang didirikan usaha Persatuan Djurnalistik Indonesia di Jakarta. Mata pelajaran yang dibawakan Yamin adalah kebebasan dan pelanggaran pers.
Fadjar mengatakan, setamat kuliah, Yamin sempat bekerja sebagai pengacara dan procureur atau ahli hukum perdata pada konsultan hukum swasta di Jakarta. Beberapa kliennya adalah perusahaan asing asal Jepang. Sutrisno menambahkan, dari profesinya sebagai konsultan hukum, Yamin mendapatkan tambahan pendapatan dari klien yang umumnya bergerak dalam usaha perdagangan. "Tapi kegiatan itu tidak begitu laku," tulis Sutrisno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo