Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih terang dalam ingatan Kusumo, 78 tahun, pengalaman mengikuti keluarga Muhammad Yamin pelesiran ke Puncak, Jawa Barat, lebih dari separuh abad silam. Sebagai teman sekolah Dang Rahadian Yamin, satu-satunya anak Muhammad Yamin, di SMA Kanisius, Jakarta, Kusumo sering diajak bepergian. Apalagi dia juga sebagai sopir kepercayaan Yamin. Bagi Yamin, Puncak merupakan salah satu tempat favorit untuk menulis buku.
"Biasanya Om Yamin membawa dua-tiga buku. Tidak banyak karena tujuannya mau menulis," ujar Kusumo mengenang. Rumah Kusumo di Jalan Teuku Umar, tak jauh dari kediaman Dang Rahadian.
Sementara Yamin tekun menulis buku di kamar, Kusumo dan Rahadian kerap bermain di kali di bawah Bukit Siguntang, Ciloto, Puncak, rumah peristirahatan keluarga Yamin. Biasanya mereka menginap semalam di Puncak. Esoknya kembali ke Jakarta. Seharian di Puncak, Yamin hanya berkutat dengan buku dan tulisannya. "Ibu Yamin bersih-bersih, menyiapkan makan, atau mengganti lampu yang rusak," kata Kusumo.
Di rumahnya di Jalan Diponegoro, Jakarta, Yamin kerap menulis di meja kerjanya yang terletak di ruang tengah. Di ruang itu tergantung lukisan istrinya, Siti Sundari, dengan rambutnya yang panjang. Yamin lebih banyak menulis dengan tulisan tangan sebelum "dipindahkan" lewat mesin ketik.
Yamin memang penulis yang produktif. Kegemarannya menulis telah tumbuh sejak belia, saat ia tinggal di Sumatera. Namun baru saat di Jawa-lah tulisannya mulai ia publikasikan. Saat itu, pada 1920, puisinya berjudul "Tanah Airku" dimuat di majalah milik Jong Sumatranen Bond. Yamin, yang saat itu belum lagi 17 tahun, kala itu tengah belajar di Veeartsenijschool alias Sekolah Kedokteran Hewan di Buitenzorg—kini Bogor.
Yamin-lah yang memelopori tulisan berbahasa Melayu di majalah tersebut. Sebelumnya, tulisan-tulisan yang terbit di majalah yang digagas oleh mahasiswa asal Sumatera Timur di STOVIA itu selalu berbahasa Belanda.
"Gebrakan Yamin ini diikuti oleh Sanusi Pane pada 1921 dan Mohammad Hatta dengan sajak berjudul 'Berata Indera'," tulis Restu Gunawan dalam bukunya, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, mengutip Kesusasteraan Baru Indonesia: dari Abdullah Bin Abdulkadir Munsji sampai kepada Chairil Anwar karangan Zuber Usman.
Menurut Ramana Oesman, adik Yamin dari lain ibu, dalam In Memoriam Prof. HaÂdji Muhammad Yamin S.H. (1966), perjuangan kebudayaan Yamin melalui tulisan terinspirasi Mohammad Amir, keponakannya yang berkiprah lebih dulu. Amir adalah anak Siti Alamah, kakak Yamin lain ibu. Amir menurut sejarawan Harsja W. Bachtiar, dalam artikel "Dr. Mohammad Amir" (1994), Wakil Ketua Jong Sumatranen Bond yang pertama sekaligus redaktur Jong Sumatra. Kegemarannya dalam membaca buku dan penguasaannya atas sejumlah bahasa—Inggris, Belanda, Jerman, dan Sanskerta—menambah kelihaiannya dalam menulis dan memperkaya isi tulisannya.
Penulisan Yamin berkembang tak sebatas puisi. Dia juga menulis soneta (Indonesia Tumpah Darahku, 1929) dan naskah drama (Ken Arok dan Ken Dedes, 1934) serta menerjemahkan karya Tagore dan Shakespeare. Juga genre lain seperti novel sejarah Gajah Mada (1948) dan Tatanegara Majapahit-Sapta Parwa (1962), seri sejarah ketatanegaraan—terbit empat jilid dari tujuh jilid yang direncanakan. Juga buku mengenai konstitusi: Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (1959), yang menjadi rujukan selama lebih dari 30 tahun dan tetap kontroversial. Hingga akhir hayatnya, tercatat setidaknya ada 44 buku yang ditulis Yamin.
Gairah kepenulisan Yamin memang tak kenal waktu dan tempat. Suatu ketika ia pernah membuat buku dalam waktu tiga hari tiga malam tanpa istirahat. Ia hanya berhenti untuk mandi dan makan. "Kalau sedang menulis di ruang kerjanya, beliau susah ditemui," ujar Ramidi, 77 tahun. Ramidi adalah anak kandung Muhammad Didong, kakak kandung Yamin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo