Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONFLIK pembangunan Rempang Eco-City di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, belum menemukan titik temu. Warga setempat masih menolak upaya Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) merelokasi mereka. Kepada wartawan Tempo, Egi Adyatama dan Yogi Eka Sahputra, pada Jumat, 15 September lalu, Wali Kota Batam sekaligus ex-officio Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, menjelaskan dilema pembangunan proyek ini.
Mengapa proyek Rempang Eco-City harus memindahkan penduduk asli?
Warga menuntut kampung tua dipertahankan. Tapi perusahaan tidak mau karena takut nanti limbahnya, polusi udaranya, kena warga. Perusahaan mau kosongkan semua supaya polusi udara tidak mengganggu. Kalau empat tahun ke depan orang mulai sakit, siapa yang mau nanggung? Perusahaan pasti tak mau ganti rugi.
Apa benar alasannya semata polusi?
Perusahaan pasti ada (limbah dan polusinya). Meski ada persyaratan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) di situ, siapa bisa jamin perusahaan menjalankan sepenuh hati? Lalu, bila pakai alat untuk mengurangi polusi itu, apakah sudah siap dan akan bertahan sekian lama?
Kenapa relokasi warga begitu mendadak diterapkan?
Tahun 2023 PT MEG (Makmur Elok Graha) mendapat investor dari Cina. Mereka meminta lahan ini diurus dokumennya, tepatnya pada 18 April 2023. Kami dipanggil ke Jakarta. Hak pengelolaan lahan (HPL) diserahkan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang. Namanya mau diberikan HPL, ibarat rumah kalau mau dijual ke orang, kan harus kosong. Wewenang soal lahan ini mau diberikan kepada BP Batam. Lahan ini harus clear and clean supaya keluar HPL-nya. Setelah itu, baru kami berikan kepada PT MEG.
Baca juga: Penyebab Hutan Mangrove di Batam Rusak
Keberadaan warga dan kampung tua tak menjadi perhatian saat perencanaan proyek?
Sejak PT MEG meminta urusan lahan ini ditangani April lalu, dua bulan saya stres. Bagaimana saya menyelesaikan ini? Di satu sisi, warga bagian dari saya. Saya rajin ke pulau-pulau itu. Kalau jadi saya, apa pilihannya?
Ini perintah pemerintah pusat?
Ini perintah. Hasilnya juga positif untuk ekonomi warga.
Berapa luas lahan yang akan dikosongkan?
Dari luas pulau 17.600 hektare, ada hutan lindung hampir 10.028 hektare dan hutan konversi sekitar 7.000 hektare, dan peruntukan lainnya 100 hektare lebih. Yang mau kami serahkan sebetulnya HPL BP Batam lebih-kurang 7.572 hektare. Penandatanganan kesepakatan di Cina itu hanya 2.000 hektare dan akan dikembangkan semuanya oleh PT MEG. Luas 2.000 hektare itulah yang menjadi prioritas supaya bisa dibersihkan. Itu mencakup tiga perkampungan, yaitu Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, dan Pasir Panjang.
Keuntungan apa yang didapat warga?
Mereka akan kami berikan rumah seharga Rp 120 juta, tanah 500 meter persegi, lengkap dengan sertifikat. Lahan 450 hektare disiapkan untuk 2.700 rumah, plus sarana olahraga lapangan sepak bola, sarana pendidikan, kantor pemerintah, dan dermaga. Kami juga akan membangun jalan masuk utama.
Warga menganggap skema itu merugikan mereka.
Biaya yang habis untuk pembangunan tempat relokasi Rp 1,6 triliun, termasuk jalan dan segala macamnya. Kalau itu Rp 1,8 triliun dibagi 2.700 rumah, atau lebih gampang kami anggap 3.000 rumah, berarti nilai satu rumah Rp 600 juta. Ini baru ganti untung.
Ganti untung ini tidak dibahas dengan masyarakat 16 kampung di Rempang?
Kalau pengkajian ada dasar hukum. Tidak mungkin membahasnya dengan mereka. Untuk menilai satu rumah itu, apakah mungkin kami ke sana? Enggak mungkin. Kami kan punya konsultan, tidak mungkin satu per satu pula mau saya nilai. Karena itu, kami pukul rata.
Baca: Di Balik Ekspor Listrik ke Singapura
Sampai saat ini di tempat relokasi belum ada pembangunan apa pun. Kenapa buru-buru mengosongkan?
Mereka sementara tinggal di rumah susun. Kalau mereka tak mau, kami carikan rumah landed dan berikan uang sewa Rp 1,2 juta. Mereka juga dapat uang makan Rp 1,2 juta. Kami jamin rumah permanen itu pasti dibangun. Masyarakat akan dibayar sampai rumahnya selesai.
Masyarakat tetap menolak proyek ini. Bagaimana evaluasinya?
Saya mengakui sosialisasi agak kurang. Sebagai pemimpin, saya meminta maaf lahir-batin. Tapi ada juga yang kasih isu tidak benar di masyarakat, yang membuat mereka menolak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ini Perintah Pemerintah Pusat"