Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Bui, Grasi, Birokrasi

MUHAMMAD Yamin divonis bersalah dan dipenjarakan oleh Mahkamah Tentara Agung di Yogyakarta. Dia salah satu pelaku kudeta pertama dalam sejarah Indonesia merdeka pada 3 Juli 1946. Grasi Presiden Sukarno membuatnya kemudian bisa menduduki jabatan menteri, bahkan lebih dari sekali. Yamin meninggalkan banyak jejak, termasuk yang kontroversial, dalam birokrasi pemerintahan.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terpidana Pertama Perkara Makar
Maklumat yang dibuat Yamin dianggap sebagai kudeta. Dua tahun hidup di 26 tempat penahanan.

RUMAH krem di Jalan Gambir 15, Baciro, Yogyakarta itu adalah "tempat kejadian perkara" untuk mengajukan Muhammad Yamin ke pengadilan. Enam puluh delapan tahun silam, di bangunan yang dulu milik Mr R. Sundoro Budhyarto Martoatmodjo itu, ia dituduh merencanakan makar.

Yamin dalam pembelaan di persidangan, yang kemudian dibukukan dalam Sapta Darma pada 1950, menyebutkan ia dituduh membuat empat lembar maklumat yang diserahkan kepada Presiden Sukarno pada 3 Juli 1946. Bersama para tertuduh lain, pria kelahiran Talawi, Sumatera Barat, 22 Agustus 1903, ini disidang di Mahkamah Tentara Agung Yogyakarta.

Inilah persidangan kasus kudeta pertama setelah Indonesia merdeka. Tuduhannya, antara lain, "... Pada tanggal 29 Djuni 1946 atau kira2 pada masa itu di rumah Batjiro Djalan Gambir 15 (Djogjakarta) atau di tempat lain dalam daerah Istimewa Djogjakarta dan Surakarta telah melanggar Kitab Undang2 Hukum dalam Bahasa Belanda pasal 107 dengan niat merobohkan pemerintahan dengan menjerahkan empat lembar surat kepada Panglima Besar Sudirman...."

Tuduhan lain dengan tempat kejadian perkara masih di Jalan Gambir 15, Baciro, adalah Yamin bersama tertuduh lain pada 27 Juni 1946 membahas situasi politik mutakhir. Hasil diskusi itu, menurut tuduhan, Mayor A.K. Jusuf, Kepala Batalion 63, Divisi III Yogyakarta, menculik Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

"Penculikan perdana menteri merupakan peristiwa besar," kata Didi Kartasasmita, salah satu hakim tentara yang menangani Peristiwa 3 Juli 1946. Seperti diungkap dalam biografi Didi Kartasasmita, Pengabdian bagi Kemerdekaan, yang ditulis Tatang Sumarsono (Pustaka Jaya, 1993), total ada 14 orang yang disidang. Sidang dimulai pada Februari 1948 dengan ketua dewan hakim Dr Mr Kusumah Atmadja (Ketua Mahkamah Agung RI) dan jaksa Mr Tirtawinata (Jaksa Agung RI).

Empat lembar surat yang dituduhkan jaksa adalah Maklumat Nomor 2, 3, 4, dan 5. Maklumat dimulai dengan nomor 2 karena sebelumnya Presiden Sukarno mengeluarkan Maklumat Nomor 1 pada 29 Juni 1946, yang berisi pernyataan "pengambilalihan kekuasaan pemerintah sepenuhnya sehubungan dengan terjadinya kejadian-kejadian yang membahayakan keselamaan negara."

Maklumat Nomor 2 berisi ihwal pemberhentian semua kementerian negara Sutan Sjahrir. Maklumat Nomor 3 tentang pembentukan Dewan Pimpinan Politik dan Kementerian yang baru. Maklumat Nomor 4 tentang pengangkatan 10 anggota Dewan Pimpinan Politik. Maklumat Nomor 5 tentang pengangkatan 19 anggota Kementerian Negara. Selain duduk dalam Dewan Pimpinan Politik, sesuai dengan maklumat itu, Yamin menjabat Menteri Penerangan dan Penyiaran.

Penyerahan maklumat kepada Presiden Sukarno di Gedung Agung, Yogyakarta, dilakukan Yamin pada 3 Juli bersama para tokoh lain, termasuk Jenderal Mayor Sudarsono, Panglima Divisi III Yogyakarta. Sudarsono menyebutkan penyerahan empat surat itu atas perintah Panglima Besar Soedirman. Namun bukan persetujuan presiden yang didapat. Hari itu juga mereka ditangkap dengan tuduhan kudeta.

"Selagi bukti telah ada di tangan dan para tersangka ada di depan mata, langkah praktis harus diambil. Tanpa memberikan perlawanan, Jenderal Sudarsono dan rombongannya pun ditangkap," begitu M. Yuanda Zara menuliskan kejadian itu dalam buku Peristiwa 3 Juli 1946, Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia (Media Presindo, 2009).

Yamin tak menerima semua tuduhan itu. Dalam Sapta Darma, yang dimaknai sebagai tujuh dalil mempertahankan patriotisme Indonesia, lulusan Rechts Hoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta itu menguraikan panjang-lebar pembelaannya. Ihwal pertemuan pada 27 Juni di Baciro, ia menyatakan berada di Surakarta pada hari itu. Dengan begitu, ia mengatakan tak benar terlibat pertemuan yang berbuah dengan penculikan Sjahrir pada 27 Juni 1946 malam.

Pertemuan pada 29 Juni, menurut Yamin, bukan rapat untuk merencanakan, merundingkan, dan bermufakat seperti dituduhkan jaksa. Apalagi, pada 22 Juni, surat-surat itu sudah sampai ke tangan Sudirman, seperti disampaikan sang Jenderal dalam kesaksian di persidangan. "Tuduhan itu absurd," kata Yamin, penggerak organisasi Persatuan Perjuangan yang menolak jalan diplomasi oleh Perdana Menteri Sjahrir dan memilih jalan revolusi bersenjata.

Setelah menghadirkan sejumlah saksi, persidangan usai pada 27 Mei 1948. Vonis pun diketuk. Pembelaan Yamin ditolak. Ia bersama enam orang lain dinyatakan terbukti bersalah melakukan kudeta. Bersama Sudarsono, Yamin diganjar hukuman penjara paling tinggi, yakni empat tahun. Sundoro Budyarto Martoatmodjo, pemilik rumah di Jalan Gambir 15, Baciro, dihukum tiga setengah tahun.

Hukuman Yamin paling berat, menurut pemerhati sejarah Rushdy Hoesein, karena ia dianggap sebagai pembuat konsep surat yang mengusulkan pemberhentian kabinet Sjahrir. Meski divonis empat tahun, Yamin hanya menjalani hukuman sekitar dua tahun. Sebab, bertepatan dengan peringatan Proklamasi 17 Agustus 1948, Presiden Sukarno memberikan grasi dan membebaskan semua terpidana, termasuk Yamin.

Sejak ditangkap pada 3 Juli 1946 hingga mendapat grasi, ia menghuni 26 tempat penahanan. Selain di penjara Wirogunan, Yogyakarta, Yamin ditahan di Mojokerto, Pacet, Ponorogo, Madiun (semuanya di Jawa Timur), Sentul (Yogyakarta), dan penjara Magelang (Jawa Tengah).

Rumah di Baciro, yang disebut sebagai tempat perencanaan makar, sekarang telah berpindah kepemilikan. Menurut Ketua RT 31 RW 9, Kelurahan Baciro, Sonny Ario, rumah itu kini dimiliki seorang pensiunan pegawai bank pemerintah. "Pemiliknya lebih sering tinggal di Jakarta," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus