Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Jejak Kampus Jorong Kampung

Yamin membuat wajib belajar serta mendirikan banyak sekolah dan universitas. Mengarahkan Habibie ke jurusan konstruksi pesawat.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRASASTI peresmian Candi Siwa di kompleks Candi Prambanan, Yog­yakarta, itu sengaja dibongkar setelah Muhammad Yamin me­ninggalkan kursi Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada Agustus 1955. Dibuat sebagai tanda selesainya restorasi candi utama Prambanan oleh Presiden Sukarno pada Desember 1953, prasasti itu sejak awal menuai kontroversi.

Sejumlah arkeolog, yang dimotori Kepala Jawatan Purbakala Soekmono, menentang pencantuman kalimat "Proses pemugaran di bawah pimpinan Yang Terhormat Menteri PP dan K Muhammad Yamin" pada prasasti. Kurang dari sepekan setelah Yamin lengser, mereka mendapat restu pemerintah baru untuk membongkarnya.

"Karena Yamin dianggap tidak punya sumbangan apa-apa dalam proses pemugaran itu," kata sejarawan A.B. Kusuma kepada Tempo, pertengahan Juli lalu.

Yamin diangkat menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada kabinet Ali Sastroamidjojo sejak 30 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955. Selain diwarnai kebijakan kontroversial, ketika menduduki posisi itu Yamin memiliki sumbangan besar terhadap pelestarian kebudayaan nasional.

Menurut Sutrisno Kutoyo dalam bukunya, Prof. H. Muhammad Yamin, S.H., pada 1954, ketika melawat ke Belanda dan negara Eropa lain bersama Kepala Jawatan Kebudayaan Soedarsono, Yamin merintis pengembalian benda-benda bersejarah dan benda budaya Indonesia di negara-negara tersebut. Dari proyek ini, Yamin menginventarisasi 1.151 benda bersejarah dan bernilai budaya di berbagai museum di Belanda serta 31 benda bersejarah lain di Jerman, Denmark, dan Belgia.

Belakangan, benda-benda bernilai sejarah itu kembali ke Tanah Air, antara lain tengkorak Sangiran, keropak Nagarakretagama, patung asli Prajnaparamita, serta naskah kesastraan Melayu, Jawa, dan Madura.

Selain di bidang kebudayaan, selama menjadi menteri periode kabinet Ali ini, Yamin menciptakan gebrakan di bidang pendidikan. Dia merintis pendirian perguruan tinggi pendidikan guru. Kelak perguruan tinggi guru ini menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang sejak 1999 berubah statusnya menjadi universitas. "Ini hasil karya besar Yamin," tulis Sutrisno.

Gagasan mendirikan perguruan tinggi guru ini berawal dari kegundahan Yamin terhadap rendahnya mutu tenaga guru di sekolah menengah tingkat pertama dan atas. Perguruan tinggi seperti ini juga disiapkan untuk mendukung program kewajiban belajar yang dicanangkan Yamin selama 10 tahun dan membuka lebih banyak sekolah di setiap provinsi, termasuk kebutuhan guru di Irian Barat, yang sebagian dipasok dari sekolah guru B.

Perguruan tinggi pendidikan guru pertama didirikan Yamin di Batusangkar, ibu kota Tanah Datar, Sumatera Barat, tak jauh dari Sawahlunto, tanah kelahirannya. Kampusnya menggunakan Benteng Van der Capellen peninggalan Belanda di dataran tinggi Jorong Kampung Baru, Nagari Baringin, Tanah Datar.

Kampus ini diresmikan Yamin pada 1 September 1954. Sebulan berselang, perguruan tinggi serupa didirikan di Bandung, setelah itu baru di Malang, Jawa Timur. Saat itu, ada 18 perguruan tinggi seperti ini di berbagai kota besar di Indonesia.

Perhatian besar juga diberikan Yamin dalam pengembangan universitas. Menurut Sutrisno, Yamin juga merintis pendirian universitas di berbagai ibu kota provinsi, termasuk Universitas Andalas di Padang. Kekurangan dosen dan guru besar di beberapa daerah dipasok dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Yamin juga meminta setiap universitas tidak segan-segan mengundang dosen luar negeri. Dia turun langsung menjadi dosen luar biasa dan dosen terbang di beberapa perguruan tinggi daerah. "Pusat-pusat kegiatan intelek harus ada juga di daerah. Kenapa mesti ke Jakarta atau Jawa semua?" kata Yamin seperti tertulis di buku Sutrisno.

Dia juga memberi dukungan besar terhadap pemuda Indonesia yang hendak belajar di luar negeri. Salah satunya Bacharuddin Jusuf Habibie, yang belakangan menjadi presiden ketiga Indonesia. Menurut A. Makmur Makka dalam buku The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan, Yamin memberi masukan kepada Habibie agar memilih jurusan konstruksi pesawat terbang ketika mendapatkan beasiswa belajar di Jerman.

Padahal ketika itu banyak teman seangkatan Habibie yang mendapatkan beasiswa di Jerman memilih jurusan perkapalan. Saran itu disampaikan Yamin ketika Habibie menemuinya sebelum bertolak ke Jerman. Ketika itu, Yamin mengelus-ngelus kepala Habibie sembari berujar, "Kamu ini harapan bangsa."

Pesan Yamin benar-benar dijalankan Habibie. Belakangan, pilihan Habibie menimba ilmu di jurusan konstruksi pesawat tidak keliru. Dengan latar belakang pendidikan seperti itu, kelak Habibie menciptakan pesawat tipe CN-235.

Yamin juga memberikan penghargaan kepada para pelajar yang ikut berjuang mempertahankan proklamasi. Bentuknya: beasiswa dan ikatan dinas di kantor-kantor pemerintah. Karena anggaran terbatas, tidak semua pelajar mendapatkan fasilitas tersebut. "Dia juga yang menggulirkan gagasan agar perlu diadakan pembebasan uang belajar bagi masyarakat tidak mampu," ujar Restu Gunawan, sejarawan sekaligus penulis buku Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, awal Juli lalu.

Menurut catatan Restu, selama mengisi posisi menteri ini, Yamin telah meletakkan dasar-dasar pengembangan pendidikan yang lebih merata dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Program rencana 10 tahun pemberantasan buta huruf juga menjadi proyek besar pemerintah masa itu, termasuk penyusunan Undang-Undang Pokok Pendidikan. Karena masa jabatan Yamin sebagai Menteri Pendidikan hanya sekitar dua tahun, tidak semua proyeknya terwujud. Salah satunya proyek besar mendirikan universitas di Papua seperti yang diminta Sukarno.

Setelah lengser dari posisi menteri, karier politik Yamin sempat redup. Ketika Sukarno mengangkat kembali Ali Sastroamidjojo sebagai perdana menteri, Agustus 1955-Maret 1956, Yamin ditunjuk menjadi Menteri Negara.

Pada era kabinet demokrasi terpimpin, karier Yamin melejit kembali. Selain menjabat Menteri Negara, ia menjadi pimpinan Dewan Nasional, yang bertugas memberi nasihat kepada presiden. Pada masa itu, Yamin juga ditunjuk sebagai Ketua Dewan Perancang Nasional—atau kini Badan Perencanaan Nasional. Ia merumuskan proyek pembangunan semesta nasional. Inilah posisi terakhir Yamin sebelum ia meninggal pada Oktober 1962.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus