Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak motif di kalangan investor untuk memburu saham publik Bukalapak.
Bukalapak berkejaran dengan waktu, menyalip pesaing untuk menjadi unicorn pertama yang masuk bursa.
Sentimen negatif berkembang di tengah teka-teki investor jangkar dan pelonggaran aturan otoritas pengawas pasar modal.
MESKI tak terlalu tertarik, toh David Anwar akhirnya memesan juga saham PT Bukalapak.com Tbk. Pria 40 tahun yang bekerja di sektor minyak dan gas bumi ini ikut membeli pada Jumat, 30 Juli lalu, persis di hari terakhir masa penawaran publik perdana (IPO) Bukalapak. Duit sekitar Rp 10 juta yang tersisa di rekening dana nasabah milik David dibelanjakan seluruhnya. “Dapatnya nanti sekitar 121 lot,” kata David, Sabtu, 31 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan sebelumnya, di masa penawaran awal (book building), David sebenarnya juga mengorder saham baru Bukalapak. Seorang petugas PT BNI Sekuritas, anak usaha PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk di pasar modal yang juga menjadi salah satu penjamin emisi efek IPO Bukalapak, menghubunginya dengan tawaran saham calon emiten berkode BUKA tersebut. “Tapi enggak dapat,” ujar David.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saham unicorn—startup dengan estimasi valuasi di atas US$ 1 miliar—ini sebenarnya tidak masuk kalkulasi David, yang bertahun-tahun menjadi investor retail di pasar modal. Matriks perhitungannya menunjukkan saham BUKA lebih bersifat spekulatif ketimbang untuk investasi. Potensi ruginya amat besar jika mengoleksi saham ini. “Tapi ya tetap ikut beli juga. Penasaran karena pasar rame,” ucap David.
Hiruk-pikuk IPO Bukalapak memang meramaikan pasar modal dua bulan terakhir. Bukalapak melepas 25,76 miliar saham biasa, semuanya baru dan dikeluarkan dari portepel perseroan, setara dengan 25 persen dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah IPO. Harga penawarannya Rp 850 per lembar saham, yang harus dibayar penuh saat calon pembeli mengajukan formulir pemesanan.
Dengan harga itu, IPO Bukalapak akan meraup dana segar Rp 21,9 triliun dari pasar. Angka ini akan menjadi rekor baru nilai IPO terbesar sepanjang sejarah Bursa Efek Indonesia, yang sebelumnya dipegang PT Adaro Energy Tbk (ADRO) dengan raupan dana Rp 12,23 triliun pada 2008. Selain itu, Bukalapak bakal menjadi unicorn pertama yang melantai di bursa saham.
Pengumuman rencana PT Bukalapak.com Tbk (Bukalapak) untuk melaksanakan penawaran umum perdana saham (Initial Public Offering) pada 9 Juli 2021. Foto: Bukalapak
Tapi gemerlapnya rencana kedatangan anggota baru bursa ini diiringi sentimen pasar yang terbelah. Sebagian investor menganggap valuasi BUKA terlalu tinggi. Ukuran paling gampang adalah buku perusahaan yang tiga tahun terakhir masih merah alias merugi. Bahkan, sepanjang triwulan I 2021, Bukalapak masih membukukan kerugian tahun berjalan sebesar Rp 324 miliar, sedikit membaik dibanding kerugian Rp 393 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
David tergolong penganut mazhab yang meyakini harga BUKA kemahalan. Begitu pula Lo Kheng Hong, investor retail kawakan yang kerap dijuluki Warren Buffett-nya Indonesia, yang terang-terangan menyatakan BUKA tak masuk kriteria saham pilihannya terutama karena aspek kinerja. "Bukan untung besar, (tapi) rugi besar," ujarnya dalam sebuah webinar bertajuk “Menjadi Investor Cerdas Bersama Lo Kheng Hong” yang videonya diunggah di kanal YouTube, Kamis, 29 Juli lalu.
Tapi pelaku pasar lain masih memberikan toleransi terhadap buruknya kondisi keuangan Bukalapak. Alasannya, kinerja perusahaan menunjukkan tren perbaikan. Ukurannya lagi-lagi angka kerugian perseroan yang berkurang setahun belakangan. “Masih rugi, masih berutang juga. Tapi tren utang dan kerugiannya terus menurun. Ini lebih penting,” kata Syarifah Namira Fitrania. Karyawan swasta di Jakarta ini ikut memesan 50 lot saham BUKA lewat aplikasi penjamin emisi efek lain, PT Samuel Sekuritas Indonesia.
Pada akhir 2020, rugi tahun berjalan Bukalapak memang berkurang menjadi Rp 1,34 triliun, dibanding dua tahun sebelumnya yang berturut-turut tekor Rp 2,24 triliun dan Rp 2,79 triliun. Penurunan kerugian sebesar ini bukan hanya buah dari kombinasi peningkatan pendapatan dan pemangkasan beban usaha, tapi juga hasil pencatatan manfaat pajak tangguhan pada 2020 yang nilainya mencapai Rp 483 miliar. Kinerja Bukalapak tahun lalu juga terdongkrak suntikan modal dari sejumlah investor global, seperti Microsoft Corporation, juga PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Grup Emtek)—kelompok usaha milik keluarga Sariaatmadja yang menjadi induk perusahaan lewat PT Kreatif Media Karya.
Bagi investor milenial yang belum lama bergelut di pasar modal seperti Namira, saham Bukalapak sudah cukup menarik lantaran sektor usaha teknologi digital sedang hype, kekinian. Perempuan 32 tahun ini sebenarnya juga pengguna platform Bukalapak, baik sebagai konsumen maupun pelapak. “Ia marketplace yang menjadi way of living dan cara kita untuk survive di saat pandemi ini,” tuturnya.
Seperti halnya David, Namira sebetulnya belum tentu kebagian saham Bukalapak yang disebut-sebut banjir permintaan (oversubscribed) hingga menembus Rp 86 triliun, empat kali lipat dari yang ditargetkan.
•••
MASUK bursa bukan gagasan tiba-tiba bagi Bukalapak. Muhammad Rachmat Kaimuddin, Chief Executive Officer Bukalapak, sudah lama mengkampanyekan “IPO Ready”. Istilah ini dipakai demi menyiapkan tata kelola dan infrastruktur perusahaan agar mampu menghadapi berbagai perubahan di tubuh korporasi, terutama ketika ada penambahan modal baik lewat putaran pendanaan tertutup maupun dengan go public.
Rachmat menggantikan Achmad Zaky Syaifudin, pendiri Bukalapak, sejak akhir 2019. Sejak saat itu, mantan Direktur Keuangan dan Perencanaan PT Bank Bukopin Tbk ini terus menerima desakan dari investor untuk segera membawa Bukalapak ke lantai bursa.
Setahun lebih berlalu, sinyal menuju pasar modal makin gamblang dalam rapat umum pemegang saham, 30 April lalu. Kala itu, pemegang saham mengangkat dua komisaris independen, yakni mantan Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoto, dan Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid—putri Presiden Abdurrahman Wahid yang biasa dipanggil Yenny Wahid. Bambang Brodjonegoro juga sekaligus menjadi komisaris utama, posisi yang sebelumnya diisi oleh perwakilan pemegang saham. “Kalau perusahaan swasta menunjuk komisaris independen, itu artinya sedang bersiap menuju Tbk,” kata Bambang, Selasa, 27 Juli lalu.
Setelah rapat umum itu pula dokumen yang dipersyaratkan untuk pelaksanaan IPO mulai disetor ke Otoritas Jasa Keuangan. Komunikasi tertulis ini kemudian makin intens dan beralih ke pertemuan virtual dengan pejabat OJK dan Bursa Efek Indonesia. Dari kubu manajemen Bukalapak, ada hasrat besar menjadi unicorn pertama di lantai bursa.
Proses audiensi rencana IPO Bukalapak itu memang diwarnai memanasnya persaingan startup papan atas. PT Tokopedia, pesaing berat yang sejauh ini terus mengungguli Bukalapak dari berbagai indikator kinerja e-commerce, resmi "kawin" dengan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa, pengelola superapp Gojek yang telah berstatus decacorn—startup dengan estimasi valuasi di atas US$ 10 miliar. Gojek dan Tokopedia melebur, membangun holding baru bernama GoTo.
Ketika mengumumkan peresmian merger itu, CEO GoTo Andre Soelistyo kembali menegaskan niat lama Gojek dan Tokopedia untuk go public, setidaknya sebelum akhir 2021. “GoTo sebagai holding yang akan IPO,” ucap Andre dalam pertemuan dengan pemimpin media massa di Jakarta, 18 Mei lalu.
Jika jadi melantai di bursa, gabungan nilai Gojek dan Tokopedia diestimasikan menyentuh US$ 35-40 miliar. Angka ini cukup untuk membawa GoTo menjadi perusahaan terbesar ketiga dalam hal kapitalisasi pasar, di bawah PT Bank Central Asia Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Tak bisa dibayangkan ketatnya perebutan dana publik jika Bukalapak harus bersaing, menggelar IPO di belakang GoTo—meski Andre Soelistyo juga menyatakan terbuka kemungkinan go public di luar negeri.
Komisaris Bukalapak Zannuba Ariffah Chafsoh (kiri) dan Komisaris Utama Bambang Brodjonegoro (tengah) saat Rapat Umum Pemegang Saham Bukalapak, 30 April 2021. Foto: instagram
Ketatnya kompetisi itu memaksa Bukalapak melangkah lebih awal. Ketika GoTo tengah riweuh merapikan perusahaan seusai merger dan mempelajari regulasi IPO bagi perusahaan rintisan, manajemen Bukalapak menggeber roadshow untuk menjajaki minat calon investor. “Selama roadshow ternyata peminatnya banyak,” tutur Bambang Brodjonegoro.
Bambang memastikan keputusan IPO ini juga dibekali dengan analisis mendalam oleh penjamin emisi efek (underwriter). “Para underwriter menyampaikan bahwa sekarang adalah momentum yang baik,” ujarnya.
Dalam IPO ini, Bukalapak menggandeng dua penjamin pelaksana emisi efek, yaitu PT Mandiri Sekuritas dan PT Buana Capital Sekuritas, masing-masing dengan porsi penjaminan 30,2 persen dan 16,6 persen dari seluruh saham baru. Sedangkan penjamin emisi efek semula hanya dua, yakni PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia dan PT UBS Sekuritas Indonesia. UBS mendapat porsi paling besar, yakni 52,9 persen dari total emisi efek. Sedangkan Mirae hanya beroleh 0,05 persen.
Belakangan, belasan perusahaan sekuritas lain bergabung sebagai sindikasi penjamin emisi efek. Selain BNI Sekuritas dan Samuel Sekuritas, ada PT Bahana Sekuritas, PT BCA Sekuritas, PT BRI Danareksa Sekuritas, PT Ciptadana Sekuritas Asia, PT Investindo Nusantara Sekuritas, PT Lotus Andalan Sekuritas, PT Panin Sekuritas Tbk, PT Philip Sekuritas Indonesia, PT Sinarmas Sekuritas, PT Sucor Sekuritas, PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk, PT Valbury Sekuritas Indonesia, PT Victoria Sekuritas Indonesia, PT Wanteg Sekuritas, dan PT Yuanta Sekuritas Indonesia.
Sejumlah pelaku pasar menyebut UBS dikenal punya jaringan investor asing yang kuat untuk menyerap dana IPO yang superjumbo. Sedangkan Mirae Asset Sekuritas ikut lantaran Mirae Asset Financial Group, induk perusahaan di Korea Selatan, juga mengempit saham Bukalapak sejak 2019 lewat Mirae Asset-Naver Asia Growth Investment Pte Ltd—hasil patungan dengan Naver Corp, yang juga raksasa platform digital di Negeri Ginseng.
Bambang membenarkan ada nama-nama besar dalam deretan investor asing yang siap menyerap saham Bukalapak. Tapi ia menolak menyebut nama investor kakap yang dimaksud. “Nama-nama besar yang biasa terlibat dalam IPO di Bursa Efek Indonesia,” ucapnya. Investor besar yang ditemui di masa roadshow dan book building, menurut dia, diharapkan bisa menjadi penanam modal jangkar atau anchor investor Bukalapak.
•••
TEKA-TEKI seputar IPO Bukalapak bertambah lantaran pelaksanaan penawaran umum bersejarah ini justru tak berlangsung lewat layanan sistem Electronic Indonesia Public Offering (e-IPO). Otoritas Jasa Keuangan melonggarkan regulasinya yang semula mewajibkan pelaksanaan IPO lewat sistem itu mulai 2021.
Platform e-IPO digulirkan pemangku kepentingan pasar modal untuk memudahkan akses publik terhadap pelaksanaan penawaran saham perdana. Misi besarnya adalah memudahkan investor retail mengakses pasar perdana, dari masa penawaran umum, penjatahan, hingga pencatatan saham.
Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, membenarkan, sesuai dengan ketentuan, IPO Bukalapak semestinya wajib menggunakan sistem e-IPO. Namun, dia berdalih, sistem tersebut punya keterbatasan untuk memfasilitasi penawaran umum dengan minat dan pesanan amat besar seperti yang terjadi pada Bukalapak. “Dalam IPO Bukalapak, terdapat potensi minat dan pesanan dalam skala besar yang dikhawatirkan akan mengganggu sistem e-IPO secara keseluruhan sehingga akan berdampak terhadap IPO emiten lain,” ujarnya.
Keputusan itu didasari hasil diskusi antara tim Self-Regulatory Organization, manajemen Bukalapak, dan penjamin emisi. Bursa Efek Indonesia sebagai penyedia sistem, kata Sekar, mengusulkan IPO Bukalapak dipertimbangkan untuk tidak menggunakan sistem e-IPO yang pengadaan dan peningkatan kapasitasnya terhambat kondisi pandemi Covid-19. “Sebagai wujud mitigasi risiko dalam memastikan keberhasilan IPO dan untuk menjaga stabilitas pasar saham,” ucap Sekar.
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia I Gede Nyoman Yetna punya penjelasan senada. Dia memastikan, demi membuka kesempatan seluas-luasnya bagi investor, alokasi penjatahan saham Bukalapak tetap mengikuti ketentuan yang berlaku. Semua calon investor tetap dapat memesan saham baru BUKA melalui perusahaan efek setiap nasabah.
Kabar adanya investor jangkar, juga pelaksanaan penawaran umum di luar sistem e-IPO, menjadi sentimen negatif menjelang pencatatan saham BUKA di papan perdagangan bursa, 6 Agustus, Jumat pekan ini. Sedari awal, bursa pun dipenuhi dengan syak wasangka bahwa IPO hanya menjadi jalan bagi investor lama Bukalapak untuk keluar dari kubangan kerugian investasi mereka selama ini.
Beberapa tahun terakhir, industri startup digital yang nilainya terus menggelembung mulai membuat investor kalang kabut. Gelontoran dana mereka tak kunjung balik lantaran model bisnis perusahaan yang padat modal jomplang dengan pendapatan. Perusahaan rintisan memerlukan modal jumbo dari pasar negosiasi tertutup untuk “membakar uang”, istilah yang dipakai untuk menggambarkan besarnya dana yang dikeluarkan buat menambah jumlah pengguna aplikasi lewat beragam program diskon (voucher) atau pengembalian dana (cashback).
Terakhir, pada 2019, industri ini digemparkan dengan pernyataan Chief Executive Officer SoftBank Group Masayoshi Son bahwa ia akan mengevaluasi semua portofolio investasi kelompok usahanya. Pada tahun fiskal 2019, SoftBank mencetak rugi bersih US$ 8,9 miliar atau senilai Rp 133 triliun, di antaranya akibat kerugian investasi di perusahaan teknologi digital.
Ramainya penggunaan aplikasi digital diam-diam menyimpan bara panas di lingkaran penyandang dana. Pilihan bagi investor tak banyak: membiarkan portofolio berlanjut mencari penyandang dana baru sehingga saham mereka berpotensi terdilusi, menggabungkan aset-aset investasi mereka menjadi kapal induk baru untuk kemudian dilego ke pemodal baru, atau memaksa perusahaan rintisan segera masuk bursa sehingga saham investor lama bisa segera dicairkan lewat perdagangan terbuka.
Jalan terakhir itu yang dikhawatirkan ada di balik motif Bukalapak cepat-cepat go public. Dengan kondisi buku yang masih merugi, pasar memang pantas khawatir jika para pemodal utama Bukalapak buru-buru hengkang selepas IPO. Pasar dipenuhi spekulasi tentang dugaan bahwa keberadaan investor jangkar dan pelaksanaan IPO di luar sistem baru hanya bertujuan menjaga harga saham BUKA terjaga di target tertinggi pada masa pencatatan.
Bambang Brodjonegoro menepis kekhawatiran itu. “Kalau melihat pemegang saham lama, mereka tampaknya masih bertahan, termasuk para pendiri,” katanya. “Pemegang saham come and go, tapi pasti tetap ada anchor yang bisa mengendalikan meski tidak 100 persen.”
Menurut dia, keberadaan investor jangkar yang diharapkan datang lewat IPO ini diharapkan bisa menjaga kinerja perseroan. “Yang penting (diharapkan dari mereka) bukan di hari pertama dapat berapa atau oversubscribed berapa, tapi bagaimana kelanjutan ke depan,” tutur Bambang. “Makanya kami perlu anchor investor, supaya ke depan kinerja harga saham berada di teritori yang melegakan.”
Prospektus IPO Bukalapak sebenarnya juga berupaya memberikan jaminan serupa. Sesuai dengan peraturan OJK, semua pemegang saham yang mengantongi efek dalam waktu enam bulan sebelum penyampaian pendaftaran ke OJK dengan harga di bawah IPO dilarang mengalihkan sebagian atau seluruh sahamnya (lock-up) sampai delapan bulan. Regulasi ini mengikat sejumlah investor kakap Bukalapak selama ini, termasuk Grup Emtek dan para pendiri.
Selain itu, Bukalapak menyatakan telah mengantongi komitmen lock-up sukarela selama delapan bulan dari 22 investor lain, termasuk API (Hong Kong) Investment Limited, yang sebelum IPO mengempit 17,4 persen saham perseroan.
Senin pekan ini, 3 Agustus, IPO Bukalapak akan memasuki tahap penjatahan yang akan berlanjut ke pendistribusian saham elektronik, dua hari kemudian. Masa-masa ini adalah momen menentukan bagi investor retail seperti David Anwar dan Syarifah Namira Fitrania untuk mendapatkan kepastian tentang saham yang mereka pesan. Pada pekan ini juga, teka-teki siapa pemodal besar yang akan memborong dan menahan harga saham BUKA juga akan terjawab. Delapan bulan selanjutnya? Siapa yang tahu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo