Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKISAN mural Lee Man Fong berjudul Margasatwa dan Puspita Indonesia yang dikoleksi Hotel Indonesia Kempinski itu demikian besar. Ukurannya 4 x 10,85 meter. Lukisan yang dibuat Man Fong menjelang Asian Games 1962 itu baru saja selesai direstorasi oleh Michaela Anselmini, restorator asal Italia. Margasatwa dan Puspita Indonesia menghiasi Hotel Indonesia sejak tempat itu dibuka pada 5 Agustus 1962. Lukisan itu dibuat atas keinginan Presiden Sukarno. Sukarno saat itu meminta Man Fong membuat mural bertema keberagaman hayati Indonesia. Saat Kempinski mengambil alih operasi Hotel Indonesia pada 2004, disadari bahwa karya Lee Man Fong itu ternyata mengalami penurunan kondisi sehingga sangat perlu direstorasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Margasatwa dan Puspita Indonesia terdiri atas tiga panel. Tiap panel menggambarkan sekelompok hewan dan tumbuhan yang berbeda. Tampak panel tengah menggambarkan suasana satwa-satwa air di alam bawah laut. Panel hewan-hewan laut itu diapit oleh panel pertama yang menggambarkan aneka ragam hewan yang sudah terjinakkan, seperti sapi, kuda, ayam jantan, dan kambing, serta panel ketiga yang menggambarkan hewan-hewan di alam liar, seperti kudanil, harimau, komodo, orang utan, dan babirusa. Lee Man Fong membuat transisi yang halus antarpanel sehingga lukisan itu terlihat seperti satu kesatuan lukisan utuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Michaela Anselmini (tengah) bersama Lee Rern, putra Lee Man Fong (kedua kiri), di Hotel Kempinski, Jakarta. artrestorationstudio.com
“Bisa disebut ini lukisan terbesar yang pernah dibuat Lee Man Fong,” kata Siont Teja, yang pernah menyeleksi 471 lukisan Lee Man Fong milik banyak kolektor untuk dimuat di buku Lee Man Fong: Oil Paintings, Volume I dan II terbitan Museum Art Retreat, Singapura. Dibanding ukuran lukisan-lukisan yang dimuat buku setebal 700 halaman itu, Margasatwa dan Puspita Indonesia memang jauh lebih gigantik. Lukisan itu dulu dipasang di dinding restoran Ramayana Hotel Indonesia. Sukarno ingin tamu luar peserta Asian Games yang menginap di Hotel Indonesia bisa menikmati karya itu tatkala makan di restoran.
Lee Man Fong adalah salah satu pelukis yang dikagumi Sukarno. Gaya lukisan Man Fong menonjol karena memadukan gaya Barat dan Cina. Ia lahir di Guangzhou, Cina, pada 14 November 1913 dan menghasilkan ratusan lukisan hingga saat wafatnya pada 1988 di Rumah Sakit Carolus, Jakarta Pusat. Sejak berumur tiga tahun, bersama ayahnya, ia merantau ke Singapura. Di sana, setelah dewasa, ia bekerja di perusahaan iklan menggambar reklame. Pertemuan dengan Siu Tu Can, budayawan dan guru yang tinggal di Batavia, pada 1932 mempengaruhi Man Fong untuk hijrah ke Batavia.
Di Batavia, bakat Man Fong makin tampak. Dalam sebuah pameran di Hotel Des Indes bersama para pelukis lain, lukisannya yang berjudul Telaga Warna memikat Gubernur Jenderal Belanda Van Mook. Sang Gubernur Jenderal sampai membiayai Man Fong untuk belajar melukis di Belanda selama empat-lima tahun. Di sanalah Man Fong mendalami teknik melukis Barat tapi tanpa melepaskan kuas Cina, yang akhirnya menjadi ciri khasnya.
Lukisan Margasatwa dan Puspita Indonesia di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta. Dok. Hotel Kempinski
Sukarno sendiri saat menjadi presiden pernah mengunjungi rumah Man Fong di Jalan Gedong 11A, kawasan Jakarta Kota. Sejak pertemuan itu, Man Fong sering dilibatkan dalam agenda kesenian Istana Negara. Dia kerap memberi masukan tentang lukisan yang cocok menjadi dekorasi Istana dan pernah diminta melukis Lee Kuan Yew saat bertandang ke Jakarta. Pada 1962, Man Fong diangkat sebagai pelukis Istana untuk menggantikan Dullah, yang mengisi posisi itu selama lebih dari satu dekade.
Margasatwa dan Puspita Indonesia dilukis Lee Man Fong dengan cat minyak di atas tiga panel melengkung berbahan medium density fibreboard (MDF) yang didatangkan dari Eropa. Diletakkan di restoran—tempat banyak orang berkumpul untuk makan—ternyata membuat fisik lukisan menjadi kurang cerlang. Saat manajemen Hotel Indonesia diambil alih oleh Kempinski, lukisan kemudian dipindahkan dari restoran ke bagian atas dinding yang berhadapan dengan pintu masuk Bali Room, ruang konferensi. Terpampang setinggi 3 meter dari lantai, lukisan itu untuk sementara aman dari jamahan tangan pengunjung. Namun manajemen hotel memutuskan bahwa lukisan itu perlu perbaikan dan menunjuk Michaela Anselmini sebagai perestorasi pada 2018.
Lee Man Fong dan Presiden Sukarno di Pameran Yin Hua di Hotel Des Indes, Jakarta, 1956. Dok. Agus Dermawan T
“Hotel Indonesia memutuskan perlunya suatu tindakan penyelamatan melalui proses restorasi lukisan secara profesional,” kata Richo Prafitra, Marketing Communications Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta. Perestorasi asal Italia, Michaela Anselmini, dipilih menangani restorasi karena punya pengalaman 25 tahun memperbaiki lukisan. “Beliau dipercaya oleh Keraton Yogyakarta untuk merestorasi lukisan cat minyak Raden Saleh Boestaman, yaitu lukisan Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan lukisan permaisurinya, GKR Hageng,” ujar Richo. Michaela mendirikan sebuah studio restorasi karya seni di Jakarta. Dia lulusan salah satu sekolah seni di Italia pada awal 1990, lalu mendapat sertifikat konservasi dan restorasi benda antik serta karya seni modern dari Vedeco.
Michaela lahir di keluarga pekerja kayu dan biasa membuat sesuatu dengan tangannya. Studio restorasi pertama Michaela dibuka di Milan. Di Indonesia, dia menjadi restorator utama pada pameran “Power and Other Things” Europalia 2017. Michaela, antara lain, memulas karya Cap Go Meh (Sudjojono, 1940) dan Kembang Kambodja di Bali (Emiria Sunassa, 1958). Lukisan Raden Saleh dan Lee Man Fong adalah proyek restorasi terbarunya. “Lukisan Lee Man Fong dipasang di restoran. Dulu banyak yang belum paham bahwa kelembapan restoran, lemak dari makanan, hingga asap dari orang yang merokok di dalam ruangan selama bertahun-tahun dapat merusak kondisi lukisan,” kata Michaela.
•••
ADALAH menarik berusaha merekonstruksi bagaimana dulu Lee Man Fong membuat lukisan Margasatwa dan Puspita Indonesia. Menurut pengamat seni Agus Dermawan T., mula-mula Man Fong membuat lukisan master dengan cat air campur tempera. Lukisan di atas kertas itu terdiri atas tiga panel yang masing-masing berukuran 61 x 49 sentimeter. Man Fong membuat dua lukisan master, satu disimpan Sukarno di Istana Bogor dan satu lagi disimpan sendiri oleh Man Fong sebagai koleksi berharga. “Walaupun akhirnya lepas juga,” ucap Agus. “Sejak pertengahan 1990-an (lukisan master itu) bertengger di rumah kolektor kenamaan, Tossin Himawan.” Gambar cat air itu menjadi acuan saat Man Fong dan asistennya bekerja dengan MDF selebar hampir sebelas meter.
Proses restorasi lukisan Lee Man Fong oleh Michaela Anselmini di Jakarta. Dok. Hotel Kempinski Jakarta
Kepada Tempo, Tossin Himawan mengakui memiliki Margasatwa dan Puspita Indonesia versi cat air di atas kertas yang merupakan lukisan master dari mural di Hotel Indonesia. “Saya bingkai. Saya taruh dalam satu frame. Namun urutan susunannya saya bikin berbeda dengan yang di Hotel Indonesia,” kata mantan Vice President PT Astra Honda Motor ini. Sementara mural panel bergambar satwa air di Hotel Indonesia diapit panel-panel bergambar hewan darat, Tossin menyusun satwa air berada paling kiri, baru kemudian gambar binatang-binatang darat.
“Satwa air saya taruh paling kiri. Sementara itu, yang di tengah adalah lukisan yang bergambar harimau, badak, buaya, gajah, dan lain-lain. Mengapa saya susun demikian? Karena satwa air, harimau, badak, dan lain-lain itu sama-sama menghadap ke kiri. Ada konektivitasnya. Sementara itu, binatang-binatang di lukisan ketiga menghadap ke kanan,” ujar Tossin. Dia melihat, dengan penyusunan demikian, tiga lukisan itu terasa lebih mengalir dan simetris serta ada dinamikanya.
Menurut Tossin, meskipun lukisan master dan mural bergambar sama, detail binatangnya lebih terasa di lukisan master. Dia menduga, sebelum Lee Man Fong melukis mural, Sukarno meminta dulu master atau dummy lukisannya. Man Fong lalu menyerahkan lukisan dalam format cat air di atas kertas kepada Sukarno. Mengapa kemudian lukisan masternya ada dua? Tossin menduga, saat melihat lukisan master yang pertama, Sukarno lalu memberi usul kepada Man Fong. Kemudian Man Fong melukis kembali. “Master pertama itu yang kini dikoleksi Istana dan master kedua hasil revisi yang pertama yang saya miliki,” kata Tossin. Menurut dia, publik selama ini lebih mengenal lukisan-lukisan cat minyak Man Fong. Lukisan cat air Man Fong memang tergolong langka. “Saya punya beberapa lukisan cat air Lee Man Fong selain yang Margasatwa dan Puspita Indonesia itu dan tak kalah oleh lukisan-lukisan cat minyaknya,” ucap Tossin.
Proses restorasi lukisan Lee Man Fong oleh Michaela Anselmini di Jakarta. Dok. Hotel Indonesia Kempinski Jakarta
Sebagai kolektor, Tossin melihat berbagai binatang yang dibuat Lee Man Fong dalam Margasatwa dan Puspita Indonesia memang agak lain daripada yang biasanya disajikan dalam lukisan-lukisannya. Man Fong dikenal terampil melukis binatang dengan gaya klasik melukis Cina. Umumnya hewan dari jenis yang dikenal di Cina yang sering ditampilkan, seperti ikan mas koki, merpati, burung bangau, udang Cina, kuda, dan ayam jago putih. “Tapi coba Anda lihat khusus untuk lukisan Margasatwa dan Puspita Indonesia, Man Fong banyak menampilkan satwa khas di Indonesia,” kata Tossin. Misalnya, menurut dia, di panel ketiga Margasatwa dan Puspita Indonesia ada sosok ayam jago. Umumnya, saat menggambar ayam jago, Lee Man Fong melukis ayam jago putih. Namun, khusus untuk Margasatwa dan Puspita Indonesia, ia menampilkan ayam jago Indonesia.
“Memang kodok, kelinci, udang, burung bangau, burung hantu, bebek, merpati, monyet, kuda, dan kerbau dikenal di Cina. Tapi burung rangkong, angsa, ayam jago, anjing herder, trenggiling, cenderawasih, orang utan, ular piton, kasuari, tapir, pelanduk, badak bercula satu, babi hutan bertaring, dan sapi berpunuk itu khas Indonesia. Semua hewan ini sangat jarang dilukis Man Fong atau bahkan belum,” ujar Tossin. Demikian juga hewan-hewan air. “Menarik untuk diteliti spesies satwa air yang dilukis Man Fong dalam Margasatwa dan Puspita Indonesia. Saya tak begitu tahu jenis-jenis ikan dan biota laut. Namun saya kira udang dan ubur-ubur yang dilukis Man Fong asli Indonesia,” ucap Tossin.
Bahkan, menurut Tossin, pohon flame of Irian, yang hanya ada di Irian (sekarang Papua), juga ditampilkan oleh Man Fong. Kita tahu, flame of Irian atau bunga api Irian salah satu tanaman bunga tropis yang sangat eksotis, indah, bernilai ekonomi tinggi, tumbuh dengan cara merambat, serta mempunyai bunga berwarna oranye atau jingga yang berkelompok dan menjuntai ke bawah. Pohon ini banyak digunakan sebagai tanaman penutup pergola karena rambatannya bisa melindungi apa pun dari terik panas. “Jadi, menurut saya, khusus untuk lukisan Margasatwa dan Puspita Indonesia, Man Fong menampilkan sebuah lukisan oriental-klasik yang mengalami ‘Indonesianisasi’,” kata Tossin.
Michaela Anselmini (kiri) dan tim restorasi lukisan Margasatwa dan Puspita Indonesia karya Lee Man Fong, di Hotel Kempinski, Jakarta. artrestorationstudio.com
Menurut Agus Dermawan, saat melukis mural, Lee Man Fong dibantu empat asisten, yaitu Lim Wa Sim, Tjio Soen Djie, Siauw Swie Ching, dan Lee Rern, putranya sendiri. Sukarno bahkan membuatkan sebuah studio di seberang Hotel Indonesia khusus untuk Man Fong mengerjakan karya itu. Menurut Agus, tenggat pengerjaan lukisan itu adalah enam bulan. Jika tidak selesai, Man Fong akan dikenai denda keterlambatan setiap hari dari Perusahaan Pembangunan, yang menangani proyek pembangunan hotel. Lukisan itu harus rampung saat Hotel Indonesia diresmikan pada 5 Agustus 1962. “Pasti Lee Man Fong berkoordinasi terus dengan pemborong proyek kontrak supaya pengerjaan lukisan tidak molor dan tepat deadline,” ujar Tossin.
Siauw Swie Ching, salah seorang asisten Lee Man Fong, diketahui adalah anggota Yin Hua. Yin Hua adalah lembaga perkumpulan seniman Indonesia keturunan Tionghoa yang didirikan Man Fong pada 1955. Anggotanya banyak, di antaranya Siauw Tik Kie, Anton Huang, dan Samboja. “Di Yin Hua, Man Fong dianggap guru karena dia mau mengomentari dan mengajari melukis kawan-kawannya. Sering anggota Yin Hua berangkat bersama-sama naik sepeda dari Lokasari, sanggar mereka, ke sebuah tempat untuk melukis bersama,” ucap Tossin.
Siauw Swie Ching kelak kemudian dikenal berganti nama menjadi Chris Suharso. “Chris Suharso ini keponakan Siauw Tik Kie,” kata Tossin. Chris Suharso adalah anggota Yin Hua yang dikenal piawai melukis dengan cat air. Dia wafat pada 1999 karena kanker lever. Pada 2014, karya-karya Chris Suharso dipamerkan di Art 1, New Museum and Art Space, Jalan Rajawali Selatan, Kemayoran, Jakarta Pusat, dengan judul pameran “The Tranquil World at the Art”. Dalam buku The Tranquil World of Chris Suharso, tampak sebuah foto Chris tengah mengerjakan mural di Hotel Indonesia—meski tidak disebutkan kapan dan mural apa. “Saya pernah tanya kepada Pak Chris tentang proses pengerjaan Margasatwa dan Puspita Indonesia, tapi tidak ada jawaban yang jelas,” ucap Tossin. Selain Chris Suharso, anggota termuda Yin Hua, Benny Setiawan, menurut Tossin, membantu Lee Man Fong. “Dia yang membantu mindahin tangga dan sebagainya untuk Man Fong dan asistennya melukis. Dia yang juga wira-wiri dalam urusan logistik.”
•••
PROSES konservasi yang dilakukan Michaela Anselmini ternyata tidak mudah, memerlukan waktu kurang-lebih setahun. Michaela melihat untuk pertama kali lukisan Lee Man Fong di Hotel Indonesia pada 2018. Ia menilai kondisi lukisan itu tak terlalu buruk. “Ada debu, kotoran, dan beberapa warna yang terlepas, tapi itu kondisi cukup normal untuk karya seni berusia 56 tahun,” ujar Michaela. Selain lukisan Lee Man Fong, ada dua karya seni rupa yang ditempatkan di area Teras Ramayana, yaitu karya Gregorius Sidharta, Mozaik Tarian Nusantara, yang melukiskan rupa-rupa tarian tradisional Nusantara. Juga karya Soerono, yakni Gadis Bhinneka, yang menggambarkan sosok perempuan dengan beragam busana tradisional. Hotel Indonesia juga memiliki Relief Kehidupan Bali karya Sanggar Sela Binangun, yang terletak di sebelah pintu masuk lobi. Dibanding lukisan Lee Man Fong, menurut Michaela, kondisi relief masih dalam kondisi baik. “Hanya perlu pembersihan karena karya mozaik itu terpapar polusi,” katanya.
Menurut Michaela, ukuran lukisan yang sangat besar menjadi tantangan pertama proses restorasi. Memindahkannya ke tempat lain untuk diperbaiki hanya akan menambah kerusakan baru. Michaela dan pihak hotel akhirnya memutuskan restorasi dilakukan di tempat lukisan berada dengan bantuan perancah besi dan gorden panjang agar tak terganggu oleh lalu lintas tamu yang hendak menggunakan Bali Room. Dia mula-mula melakukan uji pembersihan pada tiga titik di tiap panel. Kondisi paling mencolok yang ia temukan dari lukisan Lee Man Fong adalah terkelupasnya cat warna di sejumlah bagian. Bagian paling parah terdapat pada gambar dua anemon laut di bagian tengah panel. “Diperkirakan karena bagian ini tepat berada di depan pintu. Setiap kali pintu terbuka, suhu berubah dan mempengaruhi lukisan,” tutur Michaela.
Tossin Himawan di depan master Margasatwa dan Puspita koleksi istana. Dok. Pribadi
Menggunakan lem khusus yang diteteskan setitik demi setitik, bagian yang terlepas direkatkan kembali. Selanjutnya, lukisan dibersihkan dan disiapkan untuk dipernis. Perlu beberapa tes untuk menemukan jenis pernis paling sesuai. Michaela menggunakan material khusus yang diimpor dari Italia bernama Restauro Varnish Colours dari Maimeri. Material berbahan dasar resin damar ini dibuat khusus untuk proses restorasi dengan ciri tahan lama tapi mudah dibersihkan tanpa merusak lukisan asli. “Pernis yang sama dengan yang banyak digunakan dalam proyek restorasi di Italia, seperti restorasi lukisan Sandro Botticelli dari zaman Renaissance,” ujarnya.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyegarkan kembali tiap panel adalah tiga-empat bulan sehingga total perlu waktu satu tahun untuk menyelesaikan restorasi lukisan Lee Man Fong. Michaela dibantu dua mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang sedang belajar teknik restorasi di bawah bimbingannya. Mereka bekerja selama 8 jam sehari, Senin-Jumat, dan sesekali pada akhir pekan. Saat pandemi Covid-19 menghantam, Michaela tetap melanjutkan pekerjaannya. Selama tiga bulan masa pembatasan sosial, dia menyelesaikan proses sentuh ulang setiap bagian warna yang memudar dari lukisan flora dan fauna itu. Margasatwa dan Puspita Indonesia selesai direstorasi tepat setahun setelah pekerjaan dimulai.
Tossin Himawan melihat mural Margasatwa dan Puspita Indonesia memang layak direstorasi. “Namun, menurut hemat saya, yang merestorasi seharusnya melakukan riset perbandingan dengan master lukisan, baik yang dikoleksi Istana maupun yang saya pegang. Tapi saya belum pernah dihubungi untuk itu,” kata Tossin. Menurut dia, hal itu penting agar restorator mengenal karakter-karakter binatang yang ada dalam lukisan dengan lebih detail hingga tingkat restorasinya akan lebih optimal. “Banyak yang bilang bahwa lukisan master jiwa ketok-nya lebih muncul daripada lukisan muralnya. Melihatnya seolah-olah ada taksunya. Mungkin karena lukisan master dikerjakan sendiri oleh Lee Man Fong, sementara mural dikerjakan bersama asisten dengan jangka waktu yang hanya enam bulan,” ujarnya. Tossin mengaku pernah melihat kondisi lukisan master Margasatwa dan Puspita Indonesia milik Istana Negara, tapi menurut dia kertasnya agak melengkung. “Warnanya jadi agak mendhem.” Agus Dermawan T., yang pernah mendata koleksi lukisan Istana, mengatakan kertas lukisan master milik Istana masih bagus, tapi memang warnanya agak menguning sedikit. “Saya pernah lihat aslinya,” ucapnya.
Setelah direstorasi Michaela Anselmini, Margasatwa dan Puspita Indonesia dipastikan akan ditingkatkan perawatannya oleh pihak hotel. Menurut Richo Prafitra dari Hotel Indonesia Kempinski, manajemen telah melapisi kaca yang berada di pintu masuk menuju Bali Room dengan pelindung sinar ultraviolet khusus. “Ini untuk melindungi lukisan dari paparan sinar matahari langsung yang dapat mengakibatkan rusaknya lukisan pada masa yang akan datang,” kata Richo.
SENO JOKO SUYONO, MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo