Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Mencari Aman Ketika Pagebluk Berkepanjangan

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

26 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PREDIKSI muram para ahli di awal wabah Covid-19 tampaknya terbukti. Pandemi ini bakal panjang. Banyak negara, Inggris contohnya, kini kembali kelabakan menghadapi serangan gelombang kedua. Sedangkan di negara berkembang, seperti India dan Indonesia, pagebluk malah tak sempat menunjukkan gelagat mereda, secara konsisten meningkat dan terus menggerogoti ekonomi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah pun harus menerima kenyataan. Melihat masih lambannya ekonomi mendekati akhir kuartal ketiga, Kementerian Keuangan mengubah proyeksi pertumbuhan tahun ini. Ekonomi Indonesia akan menyusut hingga minus 1,7 persen selama 2020, lebih buruk dari perkiraan sebelumnya sebesar minus 1,1 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proyeksi pemerintah kini lebih buruk ketimbang perkiraan Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar minus 1 persen. Tapi ada skenario yang jauh lebih muram. Juni lalu, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pernah menghitung, ekonomi Indonesia bisa menyusut hingga minus 3,9 persen jika wabah tak mereda.

Tak mudah memilih mana proyeksi yang bakal paling dekat dengan kenyataan. Dan masih ada satu pertimbangan lain yang dapat membuat proyeksi ekonomi Indonesia makin bernuansa pesimistis: rekam jejaknya. Dalam belasan tahun terakhir, output ekonomi negeri ini di sepanjang kuartal keempat, mulai Oktober sampai Desember, selalu mengerut jika dibanding kuartal sebelumnya. Inilah faktor musiman yang selalu tiba bersamaan dengan libur panjang di akhir tahun. Di tengah impitan pagebluk Covid-19, nyaris mustahil tabiat ekonomi Indonesia tahun ini mampu berubah. Itu hanya mungkin terjadi jika pemerintah benar-benar mampu menggelontorkan belanja secara besar-besaran.

Persoalannya, pada kuartal keempat 2020 ini intensitas wabah justru sedang meningkat. Pembatasan sosial berskala besar kembali berlaku secara lebih ketat. Bisnis retail, restoran, dan hiburan terpukul karenanya. Industri pariwisata, yang biasanya menikmati panen pada musim liburan, harus melanjutkan masa puasa. Maka, kendati pemerintah berbelanja secara besar-besaran, efeknya pada ekonomi belum tentu optimal. Mobilitas dan interaksi antarmanusia yang masih terbatas membuat roda ekonomi tak bergulir cepat.

Pemerintah juga tak bisa serta-merta memaksakan melonggarkan pembatasan. Ketika wabah belum usai, pelonggaran pembatasan sosial justru sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat ataupun kesehatan ekonomi. Itu sudah terbukti di mana-mana karena pilihan yang sama-sama sulit ini tak hanya membelit Indonesia. Dari Eropa hingga Amerika, tarik-ulur kebijakan melonggarkan aktivitas melawan pembatasan untuk mengendalikan wabah selalu berlangsung sengit. Ketua The Federal Reserve Jerome Powell menggambarkan situasi ini dengan getir ketika menyampaikan laporan kepada Kongres Amerika Serikat, Selasa, 22 September lalu. Powell mengingatkan, jalan menuju pemulihan ekonomi masih panjang dan tidak menentu.

Seperti biasa, ketika Powell bicara, pasar mendengar. Sinyal dari Powell bahwa situasi sangat tak pasti mendorong investor kembali mencari aman. Dana-dana investasi kembali bergerak menuju tempat berlindung, yakni dolar Amerika. Pada Jumat, 25 September lalu, Indeks Dolar yang mencerminkan nilai tukar dolar Amerika terhadap enam mata uang utama dunia tercatat 94,62, sudah meningkat 2,56 persen dalam sebulan terakhir. Sinyal dari The Fed bahwa bunga bakal rendah hingga minimal dua tahun mendatang tak menghalangi niat untuk mencari aman.

Jangan heran jika rupiah juga terus tertekan. Kurs rupiah makin dekat menyentuh batas psikologis 15 ribu per dolar Amerika. Permintaan terhadap obligasi pemerintah juga makin lemah. Investor global kembali melakukan penjualan bersih. Menurut data Kementerian Keuangan, per 23 September, investor asing memiliki 28,1 persen dari seluruh obligasi pemerintah yang beredar di pasar. Porsi kepemilikan asing ini jauh lebih rendah ketimbang posisi sebelum wabah sebesar 38 persen.

Bukan tak mungkin situasi muram ini berlanjut tahun depan. Para ahli hanya memprediksi wabah akan panjang. Seberapa lama, tak ada yang berani memastikan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus