Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Seberapa Besar Dampak Bansos pada Elektabilitas Calon Presiden

Semua presiden Indonesia pernah punya program bansos. Pembagian bansos dianggap punya efek elektoral dalam pemilihan langsung.

21 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto melaksanakan perintah Presiden Joko Widodo untuk membagikan bantuan sosial atau bansos sampai Juni 2024 dengan patuh. Ketua Umum Partai Golkar itu membagi-bagikan paket beras di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada Ahad, 14 Januari 2024. Dia kemudian meminta keluarga penerima berterima kasih kepada Jokowi.

“Jadi tolong bicara terima kasih, Pak Jokowi,” ujar Airlangga, yang juga menjabat Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Empat hari kemudian, Airlangga kembali menyinggung jasa Jokowi ketika menyalurkan bantuan pangan di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Program pembagian bansos itu mengundang komentar dari calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo. Menurut bekas Gubernur Jawa Tengah itu, program bantuan sosial di tengah pelaksanaan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 telah menjadi komoditas politik. “Baunya politik, ya,” tuturnya.

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem, Titi Anggraini, mengatakan program bantuan sosial sudah dikaitkan dengan kepentingan politik sejak Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Presiden kedua itu punya berbagai program pemberdayaan desa tertinggal, bantuan untuk fakir miskin, pembinaan usaha kecil, dan subsidi.

Menurut Titi, program itu kemudian dipersepsikan sebagai pemberian langsung dari Presiden serta Golkar, mesin politik yang dipakai Soeharto selama memimpin Orde Baru. “Ada upaya personalisasi program pemerintah kepada figur politik atau kepala negara,” ujarnya.

Semua presiden setelah Soeharto kemudian punya program bantuan sosial serupa—meski dengan nama kegiatan yang berbeda-beda. Bacharuddin Jusuf Habibie sampai Jokowi merancang dan mengeksekusi berbagai program bantuan berupa subsidi pupuk, subsidi bensin, bantuan biaya kesehatan, dan jaminan biaya pendidikan.

Frederic Charles Schaffer dalam bukunya, Elections for Sale (2007), menulis bahwa kegiatan bantuan sosial untuk kepentingan elektoral dikenal sebagai pork-barrel politics atau politik gentong babi. Kegiatan memberi bantuan, menurut Schaffer, meliputi penyaluran materi berupa hibah anggaran atau proyek infrastruktur ke daerah yang mendukung pejabat terpilih.

Titi menuturkan, model pork-barrel politics melalui bansos bisa berjalan efektif di Indonesia karena situasi sosial-ekonomi calon pemilih yang sulit. Masyarakat akan berterima kasih ketika ada pejabat publik seperti Presiden Jokowi datang dan membagikan bantuan pangan. “Politik Sinterklas selalu berhasil karena rakyat ingin berterima kasih dengan memilih lagi pejabat atau kandidat yang didukung dan tak ingin program itu dihapus,” kata Titi.

Ia mendorong partai politik dan kandidat memberikan pendidikan politik soal bantuan sosial. Menurut dia, partai dan calon presiden-wakil presiden harus memberi tahu pemilih bahwa bantuan sosial merupakan hasil kerja sama antarlembaga, yakni presiden, kementerian, dan Dewan Perwakilan Rakyat. “Itu hasil kerja banyak pihak dan tak boleh dimonopoli oleh satu figur saja,” ujarnya.

Program bansos diyakini punya efek elektoral dalam pemilu. Salah satunya saat pemilihan presiden 2009. Susilo Bambang Yudhoyono mengucurkan bantuan langsung tunai akibat kenaikan harga bensin dan krisis ekonomi. Pemberian bantuan itu dinilai sukses mendongkrak elektabilitas Yudhoyono sehingga ia menang satu putaran dengan meraih 60,8 persen suara.

Narasumber yang mengetahui model kampanye Yudhoyono bercerita, bansos berpengaruh dalam pemenangan karena program itu dieksekusi ketika ia menjadi inkumben. Meskipun, kata narasumber yang sama, program itu tak dirancang untuk kepentingan elektoral. Berbeda dengan kondisi pemilihan presiden kali ini ketika Presiden Jokowi membagikan bantuan tapi ia tak bisa maju lagi sebagai calon presiden.

Kepala Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Andi Arief membantah bila program bantuan langsung tunai di era Yudhoyono dipakai untuk mengerek elektabilitas presiden keenam itu. Dia menuturkan, pemerintah memberikan bantuan sebagai kompensasi kenaikan harga bensin saat itu.

Menurut Andi, isu bantuan tunai menggelinding karena Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, yang menjadi kompetitor Yudhoyono, meminta kader banteng menolak bantuan itu. Megawati beralasan program BLT membuat masyarakat bermental meminta-minta. “Menteri Sosial dan Menteri Pertanian yang mengurus program itu tak berasal dari Demokrat,” ucap Andi.

Efek bantuan sosial terhadap elektabilitas kandidat dalam Pemilu 2024 diduga tak terlalu besar. Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan pembagian bansos dari Jokowi tak berdampak signifikan untuk mengatrol elektabilitas Prabowo-Gibran, pasangan yang menurut 71,3 persen responden didukung Presiden. Sigi itu digelar pada 30 Desember 2023 sampai 6 Januari 2024 di 13 provinsi.

Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Desember 2023 juga memotret efek bantuan sosial. Sigi itu memperlihatkan, 31,6 persen responden mengaku pernah menerima bantuan sosial dalam tiga bulan belakangan. Mereka yang pernah mendapat bantuan kemudian ditanyai pilihan calon presidennya.

Hasilnya, 25,7 persen memilih pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Sedangkan 36,6 persen mencoblos Prabowo-Gibran dan 36,1 persen mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Sisanya menjawab tak tahu atau belum menentukan pilihan.

Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes mengatakan hasil survei lembaganya dapat dimaknai bahwa pemberian bantuan sosial tak cukup efektif mempengaruhi keputusan politik calon pemilih. Ia menyebutkan sejumlah faktor yang dapat membuat program sosial punya efek elektoral dalam pemilihan presiden dan calon legislator.

Menurut Arya, nilai nominal dan frekuensi pengucuran bantuan kepada penerima menjadi salah satu kunci. Penerima bantuan bisa memutuskan atau mengubah pilihan politiknya jika nilai bantuan makin besar dan sering diberikan. Selain itu, momentum dan wilayah penyaluran merupakan salah satu variabel yang menentukan efek elektoral. “Bantuan yang diberikan mendekati pemilu dan menarget kelompok di wilayah tertentu akan mempengaruhi pilihan,” tuturnya.

Ia menambahkan faktor penting lain, yaitu tokoh dan metode penyaluran. Arya menyebutkan pejabat negara yang membagikan bantuan kepada masyarakat bisa menangguk keuntungan politik. Sebab, mereka bisa berinteraksi dan menyisipkan pesan kepada calon konstituen. Dampak elektoralnya akan berbeda jika bantuan dicairkan lewat transfer rekening karena pejabat tak bersemuka dengan pemilih.

Agar bantuan sosial tak dipakai untuk kepentingan politik, Arya menyarankan penyaluran program itu ditunda sampai Pemilu 2024 rampung. “Supaya pemilu berjalan adil dan tak ada kandidat yang diuntungkan dari program bantuan sosial,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bagi-bagi Gentong Babi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus