Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dari Andalas ke Indonesia Raya

Sesuai dengan perkembangan usianya, wawasan Muhammad Yamin terhadap tanah air pun berubah dari sebatas negeri ayahnya, Talawi, kemudian meningkat menjadi seluas Andalas (Sumatera), hingga akhirnya Indonesia Raya. Penguasaannya terhadap bahasa Melayu di atas rata-rata. Ia juga gemar membaca dan memiliki minat tinggi pada ilmu bahasa, sejarah, dan hukum. Rasa ingin tahu pula yang mendorong Yamin ingin selalu berada di depan.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Si Itam yang Gemar Baca
Yamin menderita di masa kecilnya. Gemar membaca membuatnya menguasai bahasa Melayu.

Pematang berkelok-kelok itu membelah sawah di Dusun Tapian Nambar, Desa Talawi Mudiak, Sawahlunto, Sumatera Barat, sekitar 110 kilometer dari Padang. Tempat itu menjadi favorit anak-anak untuk bermain. Apalagi tak jauh dari situ, di ujung jalan setapak, terdapat anak Batang Ombilin, yang berair sejuk meski agak kecokelatan.

Setiap memandang pematang itu, Ramidi, 77 tahun, selalu teringat cerita mendiang ayahnya, Muhammad Didong. "Yamin biasa berjalan paling muka di pematang itu. Seperti pemimpin, ia menggiring barisan temannya untuk mandi di Batang Ombilin. Tampak kepemimpinannya di antara teman sebaya," ujar Ramidi pada akhir Juli lalu, meniru ayahnya. Didong adalah kakak nomor dua dari lima saudara Muhammad Yamin dengan ayah dan ibu yang sama.

"Ayah bercerita, Yamin suka sekali berenang. Kadang orang-orang kehilangan dia, dicari-cari ketemunya di sungai," ucap Ramidi, ibu rumah tangga yang tinggal di Talawi.

Ada sejumlah perubahan di area bermain Yamin itu. Pematang berganti jalan semen, surau kayu menjadi bangunan permanen, dan tiang-tiang kabel mengaliri setrum ke rumah-rumah yang jarang. Selebihnya, hijau mendominasi. Batang kelapa yang jangkung, rumpun bambu yang rimbun, dan aneka pohon tanaman keras yang menyebar. Di kejauhan, Bukit Barisan yang biru seakan-akan memagari kampung itu.

Yamin lahir di situ dengan bantuan bidan Hafsah menjelang pergantian hari pada 22 Agustus 1903. Ayahnya, Oesman Bagindo Chatib (1858-1925), adalah mantri kopi yang bertugas mengurus perkebunan dan mengawasi gudang-gudang kopi. Selain itu, Oesman—yang dipanggil Uwo Mantri asal Sumpur Malalo, Tanah Datar—juga dikenal sebagai guru agama yang kerap berdakwah sampai ke luar daerah. "Ia mengajar sampai Bengkulu dan di sana dia menikahi salah satu istrinya," kata sejarawan Taufik Abdullah.

Sedangkan sejarawan Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, mengatakan Oesman berdakwah dari kampung ke kampung hingga ke Kuantan Riau, Sungai Penuh, dan Indrapura Pesisir Selatan.

Istri Oesman yang asal Bengkulu seperti yang dikatakan Taufik Abdullah adalah Siti Saudah, ibunda Yamin. "Tapi Saudah kemudian di-lantak atau dijadikan orang Minang," ujar Taufik akhir Juni lalu.

Ada juga versi lain tentang asal-usul ibu Yamin. Menurut Syafril Amir, 83 tahun, ayahnya, Amir Oesman—adik bungsu Yamin—pernah mengatakan bahwa orang tua dari nenek Saudah termasuk rombongan perantau asal Bengkulu yang masuk melalui Pesisir Selatan dan Padang. Setelah itu, banyak dari mereka yang menetap di Padang Panjang.

"Ada kemungkinan nenek Saudah lahir di Padang Panjang," kata pensiunan tentara berpangkat terakhir kapten yang tinggal di Solok ini.

Lain lagi cerita Syafrida Amir, 74 tahun, adik kandung Syafril. Menurut pensiunan guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 5 Padang ini, nenek Saudah adalah keturunan bundo kandung Pagaruyung yang merantau ke Bengkulu, lalu kembali ke Minang. Entah versi mana yang benar. Yang pasti, di Padang Panjang, Saudah dulu memiliki rumah gadang. Sayang, kini rumah yang terletak di kawasan Silaing Atas itu tidak berbentuk rumah gadang lagi, tapi rumah tembok permanen.

Di rumah yang berada di gang sempit, sekitar 50 meter, dari jalan raya itu, dulu Saudah tinggal bersama dua anak perempuannya, Fatimah si sulung dan Syarifah (Nona), anak nomor empat. Yamin pun pernah tinggal di sana dan sempat berjualan jajanan di stasiun kereta di depan rumah. Kini rumah itu dikontrakkan. Menurut kerabat Saudah, Yusni Sabarudin, yang tinggal di sebelah, rumah itu disewa karena keluarganya tinggal di Jakarta dan Lampung.

Dibandingkan dengan kakak-adiknya, seperti ditulis Welmar, seorang wartawan, dalam buku Mengenang Mahaputra Prof. Mr. H. Muhammad Yamin Pahlawan Nasional RI (1995), wajah Yamin kurang tampan dan kulitnya agak hitam. Karena kulitnya yang hitam itu, di masa tua, dia dipanggil Pak Itam oleh Syafril dan adik-adiknya. "Iya, bentuk saya buruk, tapi lihat kelak saya pasti jadi orang hebat," ucap Yamin seperti yang dituturkan Welmar dalam buku itu.

Tak hanya menjadi orang hebat, Yamin diharapkan Oesman berguna bagi bangsa. Buya Hamka menulis ihwal nama Yamin di majalah Gema Islam saat mengenang kepergiannya. Menurut Hamka, sementara Ahmoud Chasnawi dianugerahi gelar "Yamin ad Daulah", yang berarti tangan kanan kerajaan, oleh Khalifah Abbasiyah; Yamin pun patut bergelar "Yaminul Jumhuriah", yang artinya tangan kanan Republik (Indonesia).

Dari sajaknya, "Gita Gembala", yang dimuat di majalah Jong Sumatra, tergambar bahwa Yamin merasa menderita di masa kecilnya, berbeda dari teman-teman sebayanya yang beribu, berayah, dan bermamak. Dia harus berpisah dengan ayah dan ibunya, tinggal bersama saudara, Muhammad Yaman, anak tertua Oesman dari istri pertamanya, Hadaniah asli Talawi.

Selain mengasuh Yamin, Yaman mengasuh adik-adik lain, seperti Mohammad Amir (bukan Amir Oesman) dan Djamaloeddin Adinegoro. Yamin setahun lebih tua daripada Adinegoro. Mereka teman sepermainan. Menurut keponak­an Adinegoro, Syamsi Djamil, 85 tahun, Yamin dan Adinegoro ikut Yaman berpindah-pindah karena dinas mengajar. Setiap akhir pekan, Sabtu dan Ahad, keduanya pulang ke rumah gadang ibu Adinegoro, Sadariah, di Talawi.

"Sewaktu kecil, Yamin suka sekali memancing belut di sungai," ujar Syamsi, yang pernah menjadi juru ketik Yamin ketika menjabat Menteri Kehakiman.

Rumah gadang Sadariah di belakang Pasar Talawi Mudiak itu kini telah reot. Dindingnya sudah banyak yang bolong, tiang-tiangnya keropos karena lapuk, dan atap sengnya sebagian terlepas. Menurut Fadjar Ibnu Thufail, anak Roesmita Gani, cucu dari Yaman, masih belum tercapai kesepakatan di keluarga besar membangun kembali rumah itu.

Sejak kecil, Yamin menunjukkan minat besar terhadap ilmu, terutama bahasa, sejarah, dan hukum. Momon Abdul Rahman dan Darmansyah dalam buku Muhammad Yamin: Sosok Seorang Nasionalis (2005) menulis, untuk memuaskan dahaganya akan ilmu, Yamin rajin membaca. Beruntung ada Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat, yang berdiri pada 1908. Komisi ini menerbitkan banyak buku berbahasa Melayu.

Tidak hanya membaca buku bacaan, Yamin juga melahap teks apa saja, bahkan koran bekas pembungkus makan sekalipun. Kegemaran membaca itu membuat ia menguasai kaidah bahasa. Tak mengherankan kalau penguasaan bahasa Melayu Yamin di atas rata-rata. Bahkan ia sering membantu Yaman memeriksa pekerjaan rumah pelajaran bahasa murid-murid yang dibawa pulang ke rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus