Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Diskresi dan korupsi

3 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Widjojanto*

ADA sinyalemen yang terjadi saat ini bahwa diskresi dan kebijakan dengan dalih menyelamatkan pembangunan seolah-olah diharamkan untuk bisa dijerat tuduhan tindak pidana korupsi. Saya menyebut gejala seperti ini dengan istilah mistikfikasi. Pertanyaannya, kalau ini benar terjadi, apakah kita ingin kembali ke Orde Baru? Di era itu, diskresi diambil dengan sewenang-wenang dan selalu berlindung di balik dalih atas nama pembangunan. Ujungnya, rakyat yang menjadi tumbal.

Secara aturan, tindakan diskresi diatur secara limitatif. Dalam Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Karena itu, diskresi tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya. Ini sesuai dengan tujuan diskresi, yang merupakan salah satu hak yang dimiliki pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan sebagai mana diatur dalam Pasal 6 ayat 2 huruf e juncto ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Namun ada banyak salah kaprah tentang diskresi yang kerap dijadikan alasan untuk melanggar prosedur hukum, termasuk dalam soal proyek reklamasi.

Dalam kasus reklamasi ini ada fakta pengabaian perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tidak menjadi acuan atau dasar hukum dalam perizinan reklamasi Pulau G, F, I, dan K. Walhasil, ada upaya delegitimasi pemangku kepentingan utama yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Selain itu, diduga ada tindakan ilegal lain karena pemberian izin reklamasi juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah tindakan pemberian izin reklamasi sesuai dengan undang-undang. Jika kebijakan ini hendak disebut diskresi, apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang mengatur diskresi. Ada potensi dan indikasi kuat terjadi pelanggaran atas prinsip-prinsip penting penggunaan diskresi. Ini termasuk kebijakan melahirkan kontribusi tambahan dalam proyek reklamasi.

Apalagi ada indikasi proyek ini tidak mungkin menciptakan "keadilan ekonomi". Proyek ekonomi bisnis yang melibatkan konglomerasi ini justru hendak menjauhkan masyarakat pesisir, seperti nelayan tradisional, pelaku pembudidayaan ikan, dan buruh nelayan, yang jumlahnya 24 ribu, dari habitat mereka. Ini karena ada rencana mereka hendak dipindahkan ke Kepulauan Seribu. Proyek ini bisa menambahkan kemiskinan di sana. Hari ini penduduk miskin di Kepulauan Seribu paling tinggi persentasenya, atau 25 persen dari 373.613 jiwa orang miskin di DKI Jakarta dengan rerata indeks kemiskinan sebesar 0,824 atau lebih tinggi dari DKI Jakarta 0,514.

Dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta ini juga ada keangkuhan kekuasaan yang "menantang" putusan pengadilan yang telah memutuskan menunda dulu proses reklamasi. Ada juga tindakan korupsi yang tengah diperiksa pengadilan yang berkaitan dengan reklamasi. Lebih jauh lagi, nelayan di sebagian pesisir pantai utara Jakarta yang berdekatan dengan wilayah reklamasi kian sulit mengakses laut dan pantainya yang berpuluh-puluh tahun menghidupi keluarga mereka dengan segala kekurangannya. Semuanya ini membuat miris. Seluruh kebijakan dan salah kaprah di atas seharusnya dapat disebut sebagai tindakan koruptif. l

*) MANTAN KOMISIONER KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus