Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Eddy Hiariej mengenal Helmut Hermawan dari seorang tetangga bernama Anita.
Ia menyodorkan mantan mahasiswa untuk membantu Helmut.
Mengaku tidak menerima uang satu sen pun.
BARU naik ke puncak karier birokrasi, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mendapat tuduhan serius: menerima gratifikasi Rp 7 miliar. Uang ini diberikan seorang pengusaha tambang, Helmut Hermawan, yang membutuhkan pengesahan akta perusahaannya, PT Citra Lampia Mandiri. Kepada Tempo, dosen hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu menjelaskan duduk persoalan tuduhan tersebut selama hampir satu jam pada Jumat, 24 Maret lalu, di kantornya, lantai 6 gedung Kementerian Hukum dan HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kolega Eddy Hiariej—panggilan populer Edward—Yogi Arie Rukmana dan Yosi Andika Mulyadi, menemani wawancara itu. Yogi adalah asisten pribadi Eddy, sedangkan Yosi mantan mahasiswanya di UGM yang kini jadi pengacara. Keduanya terseret perkara gratifikasi perusahaan yang bersengketa itu. Helmut Hermawan sedang berebut konsesi tambang nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, seluas 2.600 hektare dari PT Aserra Mineralindo Investama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengketa dengan PT Assera itu menyeret politikus Partai Golkar yang juga mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, dan pengusaha tambang Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam. “Yang ngajak aku ke rumah Haji Isam itu Idrus Marham,” ucap Eddy kepada wartawan Tempo Erwan Hermawan, Riky Ferdianto, Hendri Yaputra, dan Mustafa Silalahi.
Bagaimana duduk perkara dugaan gratifikasi Rp 7 miliar itu?
Aku enggak bisa cerita kalau soal Rp 7 miliar. Yosi yang bisa cerita.
Ada bukti tangkapan layar percakapan Anda dengan Helmut?
Ada memang screenshoot-nya, aku masih simpan. Gini saja, aku cerita utuhnya saja.
Oke. Silakan.
Di bulan puasa tahun lalu, Anita, tetangga saya di Ambon, menelepon dan bercerita temannya bermasalah soal pidana, sengketa perusahaan, dan sebagainya. Aku jawab kalau soal pidana bisa kita lihat kasusnya, tapi kalau urusan perusahaan bukan keahlianku. Dia bilang “aku enggak suruh Prof tangani, kalau bisa dicarikan pengacara yang kamu rekomendasikan”. Lalu Anita, Helmut, dan beberapa orang datang ke rumah saya. Intinya, aku bilang, ini ada Yosi, lawyer, silakan kalau cocok dipakai, enggak juga tidak apa-apa. Setelah itu mereka berhubungan dengan Yosi.
Helmut kabarnya menawari Anda jabatan di PT Citra Lampia Mandiri.
Dia bilang kalau bisa aku jadi komisaris. Aku bilang enggak bisa. Aku ini pejabat negara. Dia minta istriku masuk, aku bilang enggak bisa juga. Helmut butuh orang hukum untuk back up karena banyak perkara dan pernah ditipu lawyer. Lalu aku kasih nama Yogi dan Erik. Akhirnya beralih ke Yosi karena pengacara.
Jadi untuk apa uang Rp 7 miliar itu?
Eddy: Yosi yang tahu.
Yosi: Ada banyak perkara yang ditangani. Surat kuasanya sampai 12. Itu termasuk biaya operasional pengacara.
Soal pengesahan akta usaha bagaimana?
Eddy: Yang tahu Yosi karena dia pengacara PT Citra Lampia Mandiri. Tiba-tiba Agustus atau September aku di-WhatsApp Anita yang intinya bilang sudah habis uang banyak kok pekerjaan belum selesai? Aku bilang aku enggak tahu-menahu. Nanti aku tanya Yosi.
Yosi: Waktu itu saya tersinggung. Kok dilaporkan segala ke Prof Eddy? Saya kemudian mengembalikan Rp 7 miliar lalu mundur sebagai pengacara Helmut.
Dari mana Anda memperoleh uang untuk mengembalikan ke Helmut?
Yosi: Klien saya bukan Helmut saja. Ada banyak yang lebih besar dari Helmut.
Mengapa Helmut kembali mentransfer uang itu kepada Yosi?
Eddy: Nah, itu aku tidak tahu-menahu. Yosi yang cerita.
Yosi: Saya bulat mau mengembalikan, tapi Helmut enggak mau terima. Dia bilang apa yang sudah saya berikan tidak boleh dikembalikan. Tapi aku transfer via Yogi ke PT Citra Lampia. Tapi enggak lama ditransfer balik ke saya.
Bagaimana Anda bisa bertemu dengan Haji Isam?
Suatu ketika Helmut datang membawa Idrus Marham.
Kapan?
September 2022 sebelum mengembalikan uang. “Bro, ini Kakanda Idrus”. Kakanda Idrus selalu back up kita. Aku juga bilang: “Pak Idrus, urusan detail segala macam Yosi yang tahu bukan aku”. Yang mengajak aku bertemu dengan Haji Isam itu Pak Idrus.
Berapa kali Anda bertemu?
Ada empat pertemuan: dua kali di rumah Haji Isam, satu kali di rumah Helmut, satu kali di rumah saya. Intinya soal perdamaian.
Perdamaian? Perdamaian apa?
Iya, perdamaiannya gimana? Maunya seperti apa? Aku pun tidak mengikuti, karena aku betul-betul menjadi perantara dalam pengertian mediator.
Di pertemuan itu Haji Isam meminta 20 persen saham PT Citra Lampia. Benar?
Sama sekali tidak ada pembicaraan soal uang, saham tetek bengek, karena tidak tahu soal teknis seperti itu.
(Junaidi, penasihat hukum dan perwakilan Haji Isam, juga membantah ada pembicaraan ihwal permintaan saham dalam pertemuan itu.)
Apakah benar Anda meminta saham 12,5 persen?
Kalau aku mau minta, bisa saja pas pertama kali itu saat dia hubungi. Aku ini pejabat negara. Kalau sampai aku punya saham, namanya memperdagangkan pengaruh. Teman-teman harus tahu, begitu aku diangkat menjadi wakil menteri, aku hanya mengurusi perundang-undangan dan hak asasi manusia. Jadi tidak pernah ada urusan dengan akta usaha perusahaan.
Kenapa Haji Isam terlibat?
Yang minta Helmut. Tanya dia kenapa menangis rengek-rengek ke Haji Isam.
Benarkah Anda dan tim menerima Rp 15 miliar untuk menangani berbagai perkara Haji Isam?
Tidak ada. Yang memberi info itu cocoknya jadi novelis. Kenal Haji Isam baru di pertemuan itu.
(Junaidi juga membantah informasi dalam pertanyaan ini.)
Apakah Anda mendapat komisi dari transaksi Rp 7 miliar dan sebagian honor Yosi saat menjabat komisaris di PT Citra Lampia Mandiri?
Satu sen pun tidak ada.
Apakah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tahu perkara ini?
Aku sempat dipanggil dan sudah jelaskan. Enggak sampai lima menit sudah clear.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo