Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALI Sadikin adalah sejarah yang tak pernah lepas dari Jakarta. Memimpin Ibu Kota selama sebelas tahun, mulai 1966 hingga 1977, Ali dinilai berhasil menyelesaikan berbagai problem Jakarta. Tak sekadar meletakkan fondasi, Ali Sadikin juga sedikit-banyak menunjukkan bagaimana kota yang bermartabat sekaligus hijau seharusnya dibangun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia, misalnya, mengepung Jakarta dengan sabuk hijau atau green belt, gugusan pepohonan yang mengelilingi lima daerah administratif. Ali menetapkan ruang terbuka hijau harus mencapai 37,5 persen dari wilayah Ibu Kota. Dengan begitu, berbagai pembangunan tak berjalan serampangan dan memperhatikan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali sangat keras menerapkan aturan itu. Siapa pun yang melanggar akan dia hajar. Ia bahkan tak segan menghukum anak dari wakilnya sendiri yang melanggar kaidah tata kota Jakarta dengan menyerobot daerah hijau. Tanpa ampun, pebisnis itu diwajibkan membayar denda hingga Rp 700 juta, jumlah yang sangat besar saat itu.
Tim Edisi Khusus Majalah Tempo mewawancarai anak pertama Ali Sadikin, Boy Sadikin di kediamannya jalan Borobudur, Jakarta, 1 Agustus 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Kepemimpinan Ali bukan tanpa kontroversi. Ia melegalkan judi dan menghimpun duit pajak. Duit tersebut digunakannya untuk membangun Jakarta yang saat itu memiliki kas terbatas. Ali pun melokalisasi prostitusi agar kondisi kesehatan pekerja seks bisa terpantau. Ia juga menghindarkan jalan-jalan Jakarta dari “pemandangan tak sedap”.
Jakarta bagi Ali, purnawirawan letnan jenderal dari Korps Komando Angkatan Laut, adalah kota yang membutuhkan hiburan, sekaligus berkesenian dan berbudaya. Ia pun membangun Taman Ismail Marzuki, yang menjadi tempat berkumpulnya para seniman. Juga buat para penonton dari berbagai kalangan yang melepas penat.
Pembaca, memperingati kemerdekaan ke-77 tahun republik ini, kami menghadirkan sosok Ali Sadikin dalam edisi khusus. Melanjutkan tradisi sebelumnya, awak redaksi Tempo mulai berdiskusi sejak awal Juni lalu untuk memutuskan tokoh yang akan diangkat. Kami menjaring sejumlah nama, termasuk mereka yang berperan dalam kemerdekaan.
Sastrawan dan Juga Pendiri Majalah TEMPO Goenawan Mohamad, bercerita tentang kiprah Ali Sadikin, saat ditemui di Salihara, Jakarta, 28 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Namun diskusi tak berlangsung panjang ketika Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra mengajukan nama Ali Sadikin. Bukan karena usul itu diajukan oleh pemimpin redaksi, tapi karena Ali memang tokoh yang ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan berperan besar dalam membangun Ibu Kota.
Upaya Ali membawa Jakarta menjadi lebih baik makin relevan untuk diceritakan kembali dengan kondisi akhir-akhir ini. Jakarta yang diimpikan Ali kini perlahan-lahan mulai “ditinggalkan” seiring dengan berjalannya proyek ambisius memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Rencana menanggalkan status “ibu kota” dari Jakarta diambil oleh Presiden Joko Widodo, yang juga pernah memimpin provinsi ini. Ancaman banjir yang akan menenggelamkan Jakarta menjadi salah satu alasan Presiden membangun ibu kota baru. Alasan yang memutarbalikkan janji kampanye Jokowi saat menjadi calon gubernur ataupun calon presiden.
Mengatasi problem Jakarta dengan penduduknya yang beragam memang tak mudah. Tapi Ali menunjukkan bahwa masalah perkotaan seberat apa pun harus dihadapi pemimpinnya, tidak dibiarkan begitu saja atau dipindahkan ke tempat lain. Mungkin saja, jika masih hidup, Ali akan menolak rencana pembangunan ibu kota baru. Apalagi ketika keuangan negara sedang tak sehat.
Ali pun bukan pabrik kata-kata. Sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia menjauh dari berbagai gimmick yang tak perlu, seperti masuk gorong-gorong atau mengubah nama fasilitas kesehatan. Ali juga tak menjadikan posisi yang dipegangnya sebagai batu loncatan ke jabatan yang lebih tinggi. Ia pun tak masuk pada jebakan moralitas dan agama dalam membangun Jakarta.
Setelah tak menjadi Gubernur DKI, Ali tak ragu mengambil posisi sebagai penentang pemerintahan Presiden Soeharto yang tak demokratis. Ia melawan berbagai tekanan yang diterima akibat bergabung dengan kelompok Petisi 50. Ali pun menolak dikuburkan di Taman Makam Pahlawan karena ogah beristirahat bersama mereka yang dianggapnya sebagai koruptor.
Sosok Ali bukan tanpa cela. Ia ikut mendukung proyek Taman Mini Indonesia Indah yang diidam-idamkan Siti Hartinah atau Tien Soeharto. Ali dikenal rajin menggusur warga miskin yang tinggal di wilayah terlarang, dan mengusir gelandangan. Meskipun begitu, ia ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta untuk mendampingi korban penggusuran.
Menghadirkan kembali sosok Ali yang telah berpulang pada 20 Mei 2008, kami menemui sejumlah sejarawan, yaitu Asvi Warman Adam, Bondan Kanumoyoso, dan JJ Rizal. Dari mereka kami menggali informasi detail soal peran Ali dalam kemerdekaan dan pembangunan Jakarta. Kami pun mendiskusikan kebijakan Ali yang kontroversial dan keberhasilannya.
Mantan Sekretaris Kabinet Repoblik Indonesia Dipo Alam, salah satu narasumber untuk Edisi Khusus Ali Sadikin Majalah Tempo, di Jakarta. 10 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Wartawan Tempo juga menyusuri berbagai tempat yang menyimpan jejak Ali dan mewawancarai mereka yang pernah dekat dengannya. Dari pihak keluarga, Boy Bernadi Sadikin menjadi narasumber utama. Ia dengan lugas menceritakan karakter Ali di keluarga yang keras dan cenderung tertutup, tapi tak pernah menuntut apa pun.
Terlepas dari berbagai kontroversinya, Ali Sadikin kerap dianggap sebagai Gubernur Jakarta terbaik. Penulis buku Sejarah Jakarta sekaligus pastor Serikat Yesus, Adolf Heuken, pernah berkelakar bahwa Ali Sadikin membuat kesalahan besar selama menjadi gubernur, yaitu terlalu bagus memimpin Jakarta sehingga gubernur sesudahnya tak ada yang sebagus dia.
Selamat membaca.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Komando Ali Merombak Jakarta". Penanggung jawab: Stefanus Pramono; Kepala proyek: Agung Sedayu; Penulis: Agung Sedayu, Aisha Shaidra, Budiarti Utami Putri, Erwan Hermawan, Fransisco Rosarians, Hussein Abri Dongoran, Iwan Kurniawan, Riky Ferdianto; Penyunting: Bagja Hidayat, Fery Firmansyah, Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim, Stefanus Pramono; Periset foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama; Fotografer: Muhammad Taufan Rengganis, Febri Angga Palgun; Desainer: Rio Ari Seno, Riyan R Akbar, Imam Riyadi; Audiovisual: Nana Riskhi, Dheayu Jihan, Muhamad Iqbal, Aditya Sista; Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian