Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Enam Menguak Takdir Bollywood

9 Juni 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA dua pekan setiap bulan Mei, pantai Croisette, Cannes, menjadi sangat meriah dan dipenuhi perempuan bergaun malam dan pria bertuksedo. Mereka biasanya menghadiri berbagai pesta di puluhan kafe, restoran, yacht, dan kapal pesiar atau menonton pemutaran film di beberapa tempat.

Namun kali ini pemandangannya agak berbeda. Di antara para pengunjung itu tampak pula para perempuan India yang berseliweran memakai sari dengan warna-warna mencolok. Merekalah para aktris, pekerja film, pejabat, dan warga India yang meramaikan Paviliun India di tepi pantai itu.

India tahun ini memutar enam film di Cannes, yang semuanya berorientasi pada estetika, bukan film komersial massal semacam produksi Bollywood. Empat film diputar di acara resmi festival, meski bukan di kategori kompetisi. Dua film lagi diputar di acara paralel festival.

Charulata (1964), karya Satyajit Ray yang baru direstorasi oleh RDB Entertainments, diangkat dari sebuah cerita pendek karya sastrawan besar India, Rabindranath Tagore, tentang seorang perempuan yang terbelah hatinya karena jatuh cinta kepada saudara misannya.

Bombay Talkies adalah film omnibus yang digarap empat sutradara. Karan Johar membuat Ajeeb Dastan Hai Yeh, yang mengisahkan wartawan gay yang kecantol suami bosnya. Film ini bisa jadi yang paling kontroversial bagi publik India, karena baru kali ini ada adegan ciuman panas dua lelaki di film India. Sayangnya, film ini masih memunculkan sosok gay yang stereotipe: pemangsa, agresif, dan pengganggu rumah tangga orang.

Sheila Ki Jawaani karya Zoya Akhtar juga berbicara tentang ambiguitas seksual, tapi dengan cara yang lebih simpatik. Seorang anak lelaki 8 tahun, Vicky, ternyata lebih suka menari dan bermimpi jadi penari terkenal. Suatu hari dia mengenakan baju milik kakak perempuannya, bersolek dengan kosmetik ibunya, dan berlagak seperti Katrina Kaif, artis Bollywood terkenal.

Adapun Star karya Dibakar Banerjee adalah sebuah puisi kecil tentang Purandar, aktor gagal yang menganggur yang rajin bercerita setiap malam kepada anak perempuannya. Film ini diilhami cerita pendek karya Satyajit Ray. Dengan adegan-adegan sederhana dan gambar-gambar yang tangkas, Star adalah bagian paling mengharukan di Bombay Talkies.

Bagian terakhir, Murabba, karya Anurag Kashyap, mengisahkan seorang ayah dari keluarga miskin yang sekarat tapi enggan mati sebelum makan bersama Amitabh Bachchan, aktor terbesar sepanjang sejarah film India. Caranya? Dia mengutus anaknya membawa sebutir murabba, sejenis buah manisan, kepada Bachchan untuk dimakan setengah dan setengah sisa gigitan lagi akan dibawa pulang untuk disantap si bapak. Karya Anurag ini menjadi yang paling bersahaja dan membumi di film ini.

Namun film Ugly karya Anurag berbeda sekali dengan Murabba. Sebagaimana fimnya terdahulu, Gangs of Wasseypur, Ugly dipacu dalam ketegangan tinggi. Ceritanya tentang penculikan anak. Ugly adalah pingpong berbagai kemungkinan dan peran dalam peristiwa penculikan si bocah sekaligus potret kebusukan masyarakat: bahkan korban sekalipun, kaum miskin sekalipun, memiliki kebusukannya sendiri.

Monsoon Shootout karya Amit Kumar menggulirkan sebuah thriller laga yang berpusar pada polisi peloncoan, Adi, yang membuntuti Shiva, penjahat berjulukan Pembunuh Berkapak, yang diyakini akan menuntun mereka ke sasaran lebih besar: Slum Lord. Di suatu gang, Adi harus memutuskan apakah ia menembak Shiva meski belum tentu ia bersalah dan bersenjata.

Adapun Dabba (Lunchbox), karya pertama sutradara Ritesh Batra, adalah kisah cinta yang menyentuh dan puitis. Seorang duda cukup usia, Saajan Fernandes, memasuki masa pensiun dan kikuk menghadapi masa yang tak pernah terbayangkan itu. Tapi sepaket makanan rantangan yang nyasar mengubah hidupnya.

Dabba hanya mengisahkan hal yang sederhana, tapi dialah yang berhasil memenangi hati para penonton Semaine de La Critique. Film itu mendapatkan Grand Rail d'Or, film yang paling disukai penonton.

Ging Ginanjar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus