Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADEGAN pembuka film ini memperlihatkan seorang wanita membelakangi kamera. Perempuan itu telanjang berjalan menuju laut. Sekuens berikutnya menggambarkan adegan pemakaman yang ditunda karena seorang perempuan yang baru saja kehilangan suaminya dengan tegas mengatakan kepada para pelayat bahwa mereka harus menunggu anak perempuannya tiba dari luar negeri sebelum mereka dapat menguburkan suaminya. Kamera mengikuti gerak para tokoh saat mereka berkeliling di antara para tamu yang sedang menunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamera kemudian mengungkap latar belakang kisah Martha (Irma Novita Rihi) dan hubungan sosial di antara para pelayat. Narasi lantas perlahan menyingkap tradisi masyarakat Rote yang dibalut cerita mengenai kehidupan para perempuan dalam film ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Women from Rote Island yang disutradarai Jeremias Nyangoen bercerita tentang Orpha yang diperankan dengan memukau oleh seorang pemain pendatang baru, Merlinda Dessy Arantji Adoe. Orpha kehilangan suaminya dan berusaha menunda pemakaman sang suami lantaran menanti kedatangan putri sulungnya, Martha, yang bekerja sebagai buruh migran di Sabah, Malaysia. Kisah dalam film ini dituturkan dengan baik dan menarik, melibatkan plot yang kuat dan karakter yang berkembang dengan baik, dengan struktur narasi alternatif yang tidak umum dalam sinema Indonesia. Orpha berselisih dengan keluarga dan warga di kampungnya yang ingin segera memakamkan suaminya dan menolak menunggu kedatangan putrinya.
Film ini menunjukkan kemampuan sang sutradara dalam menerjemahkan visi tentang kenyataan pahit bagaimana perempuan diperlakukan di Kepulauan Rote yang menjadi latar cerita dalam film. Siapakah para perempuan di Rote yang mengalami kepahitan itu? Pertama-tama, kita diperkenalkan kepada Orpha, seorang ibu yang memiliki keyakinan dan tekad kuat melawan tradisi demi memperjuangkan apa yang ia yakini sebagai sesuatu yang benar bagi keluarganya. Sumpahnya kepada mendiang suaminya agar sang putri sulung menghadiri pemakaman menimbulkan kemarahan di antara mereka yang berpegang teguh pada tradisi.
Merlinda Dessy Adoe dalam Woman From Rote Island. Dok. Woman From Rote Island
Sekuens berikutnya memperlihatkan Orpha dilecehkan secara seksual di pasar oleh seorang remaja yang menggesekkan kemaluan ke punggungnya. Ketika Orpha mengeluh kepada kaum perempuan, salah satu dari mereka mencaci maki dirinya: "Kamu dilecehkan secara seksual karena kamu telah melanggar aturan tradisi," merujuk pada pendiriannya yang berkukuh menunggu kedatangan putrinya sebelum menguburkan suaminya. Itu salah satu unsur penting dalam narasi film ini. Bagaimana nilai-nilai dan kepercayaan tradisional dalam masyarakat patriarkal mendiskriminasi perempuan, membelenggu mereka dengan aturan-aturan ketat, dan menurunkan status mereka di masyarakat. Salah satu dialog yang sangat kuat adalah ketika Orpha menyatakan, "Laki-laki waras tidak akan melukai hati perempuan, karena kitong (kita) semua lahir dari jenis kelamin yang berdarah."
Film ini mampu mendedahkan diskriminasi gender yang tersembunyi dalam tradisi. Women from Rote Island bukanlah film yang mengumbar elemen eksotis semacam kecantikan panorama alam, juga bukan jenis film yang menonjol-nonjolkan atau mempromosikan kearifan lokal. Justru ia secara halus membongkar unsur-unsur patriarki di balik "kearifan lokal" tersebut. Ada satu adegan saat Orpha menghadiri pertemuan dengan para tetua adat (semuanya laki-laki) untuk memutuskan nilai nominal yang harus ia bayar atas tindakan anak perempuannya yang menghancurkan sebuah properti. Penerimaan Orpha yang ikhlas terhadap hukum adat diatur sedemikian rupa sehingga kita, sebagai penonton, menerima logika adegan tersebut.
Adegan pembuka Martha berjalan telanjang perlahan ke laut menentukan nada yang getir dalam film tersebut. Shot (pembingkaian gambar) yang hanya memperlihatkan punggung Martha yang telanjang dan tenggelam ke dalam air menimbulkan pertanyaan tentang adegan yang akan muncul selanjutnya. Apakah ini anak perempuan yang hilang? Mengapa dia dipenuhi keputusasaan dan kesedihan?
Salah satu keunggulan film ini adalah keterampilannya dalam menampilkan cerita latar belakang (backstory) dari karakter-karakternya. Jeremias, sang sutradara, tidak mengungkapkan secara eksplisit latar belakang Martha menjadi seperti sekarang—tersesat, mengalami trauma dan depresi. Terungkap secara bertahap melalui adegan-adegan bahwa Martha adalah pekerja migran ilegal yang berpindah-pindah tempat sebelum akhirnya berakhir di Sabah.
Melalui dialog yang minim dan adegan-adegan yang memperlihatkan gangguan mental Martha, kita tahu bahwa ia mengalami pelecehan seksual oleh majikannya yang membuatnya mengalami depresi berat. Saat berada di Rote, Martha menjadi sasaran para lelaki di masyarakatnya ketika ia menghadapi ancaman perlakuan yang sama seperti yang dialaminya di masa lalu. Cerita latar belakang yang merupakan aspek penting dalam penceritaan film diungkapkan secara perlahan, sedikit demi sedikit, sehingga menciptakan ketegangan. Jeremias (juga sebagai penulis naskah) mampu membuat penonton menduga-duga dan terbawa ke jalan cerita film.
Van Jhoov (kanan) dan William Wolfgang dalam Woman From Rote Island. Dok. Woman From Rote Island
Adik perempuan Martha, Bertha (Keziallum Starling Ratu Ke), adalah simbol wanita muda yang cerdas, energetik, lantang, dan berani. Dia adalah karakter yang dengan gigih melindungi para wanita dalam keluarganya dari karakter pria yang berusaha merendahkan dan melakukan pelecehan fisik terhadap ibu dan saudara perempuannya. Sebagai penonton, kita berempati terhadap Bertha saat ia berusaha mencari tahu siapa yang melecehkan saudara perempuannya. Film ini secara gradual mengungkapkan elemen-elemen yang akhirnya mengubah genre drama film menjadi thriller saat pelaku kejahatan diburu. Film ini berulang kali menolak cepat memuaskan ekspektasi penonton dan membawa kita ke sebuah perjalanan emosi layaknya roller coaster.
Jeremias kerap mengambil gambar secara long take, handheld, dan close-up dengan jitu dan efisien. Dia menjaga pengambilan gambar dengan sudut lebar dan pencahayaannya sedekat mungkin dengan aslinya. Ia tidak berlama-lama memotret lanskap Nusa Tenggara Timur yang mengesankan itu, tapi justru menangkap gambar-gambar yang keras dari wilayah tersebut. Dalam adegan-adegan yang penuh kegetiran untuk kita saksikan, seperti adegan pelecehan yang mengerikan, kamera mengamati dari kejauhan tanpa penyuntingan cepat yang biasanya digunakan dalam adegan seperti itu. Film ini menghindar dari klise dramaturgi yang kerap ditutup dengan closing yang "definitif" dan "happy ending". Sutradara membawa kita ke ujung cerita yang penuh ketegangan dan kekerasan yang sengaja tidak ia selesaikan tapi mampu membuat kita tercenung dan memikirkannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suara Tragis Perempuan Rote"