Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film Pilihan Tempo 2023.
Women from Rote Island menjadi Film Pilihan Tempo.
OKTOBER 2023, sebanyak 15 film Indonesia turut meramaikan layar-layar di Festival Film Internasional Busan, Korea Selatan. Karya para sineas Indonesia tersebut berkompetisi dan tayang dalam program fokus sinema Indonesia yang bertajuk “Renaissance of Indonesian Cinema”. Film panjang (lama dan baru), pendek, dan serial ikut dipromosikan pemerintah melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berjibaku dalam kompetisi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film karya Yosep Anggi Noen, 24 Jam Bersama Gaspar, masuk kompetisi penghargaan bergengsi Kim Jiseok Award. Sementara itu, film Sara (Ismail Basbeth), Ali Topan (Sidharta Tata), dan Women from Rote Island (Jeremias Nyangoen) masuk program A Window on Asian Cinema. Dua proyek film Indonesia yang lain, yakni Tarkam (Teddy Soeriaatmadja) serta Watch It Burn karya Makbul Mubarak dan Yulia Evina Bhara, ditawarkan di Asian Project Market. Sebagian film karya para sineas ini pun melanglang di beberapa festival film internasional di dalam dan luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemain 24 Jam Bersama Gaspar. imdb
Seperti tahun-tahun sebelumnya, majalah Tempo menghadirkan laporan khusus pemilihan film. Kami menilai film panjang berdurasi minimal 60 menit yang dirilis pada Januari-Desember 2023. Tim menengok kembali dan menonton film-film yang diproduksi sineas Indonesia sepanjang 2023 yang sudah dipertontonkan di muka publik. Baik film yang diputar di studio film, ditayangkan di festival-festival film di dalam dan luar negeri, diputar terbatas untuk komunitas tertentu atau pemutaran keliling dalam acara-acara, maupun ditayangkan di platform layanan berbayar.
Setelah mendapatkan daftar panjang, kami menyeleksinya dalam daftar pendek untuk memudahkan penjurian. Cukup banyak film yang kami catat sebelum penjurian yang menilai tujuh kategori: Film Pilihan, Sutradara Pilihan, Penulis Skenario Pilihan, Aktris Pilihan, Aktor Pilihan, Aktris Pendukung Pilihan, dan Aktor Pendukung Pilihan. Beragam tema yang diangkat diwujudkan melalui film mereka, dari film bergenre horor yang tak pernah absen di setiap waktu di layar studio film; film keluarga yang hangat; film tentang cinta remaja; film mengenai cinta para orang dewasa; film tentang keberagaman gender, perempuan, dan kekerasan seksual; hingga film religi. Jagat sinema Indonesia sudah mulai pulih setelah dihantam pandemi.
Pada Film Pilihan Tempo 2023 ini, kami mengundang penulis senior Leila S. Chudori serta sineas senior dan pengajar di Institut Kesenian Jakarta, Nan Triveni Achnas, sebagai juri. Sementara itu, juri internal dari tim Tempo adalah mereka yang sehari-hari mengampu desk seni budaya dan gaya hidup.
Leila S. Chudori. Dok. Tempo
Diskusi cukup hangat berlangsung untuk mendiskusikan pilihan di Film Pilihan Tempo 2023. Sesi yang paling menggairahkan adalah ketika para juri mendiskusikan calon pemenang yang sudah masuk daftar nomine. Dari daftar nomine yang tersusun, para juri melihat ada beberapa hal yang menarik. Misalnya para sutradara yang hampir sebagian besar lulusan Institut Kesenian Jakarta. Namun gejala menonjol yang patut menjadi perhatian adalah banyaknya tokoh perempuan tangguh muncul sebagai sosok utama dalam film. “Kecuali Badrun & Loundri, film-film lain menampilkan perempuan yang berkarakter kuat,” ujar Nan T. Achnas. Hal ini diamini oleh Leila S. Chudori, “Dari Merlinda, ibu di Women from Rote Island; Ine di Budi Pekerti; tokoh Sara; dan tokoh Hana, semua perempuan yang kuat.”
Tema film yang disodorkan para sineas pun makin menggali kedalaman. Makin menyentuh hal-hal yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Lihatlah film besutan Jeremias Nyangoen yang menyajikan kenyataan pahit bagaimana perempuan diperlakukan di Kepulauan Rote, Nusa Tenggara Timur. Sebuah film yang berani menggali isu kekerasan seksual, persoalan buruh migran, dan perdagangan orang di sebuah pulau terpencil yang masih memiliki tradisi kuat. Lalu Ismail Basbeth yang berani menampilkan pergolakan batin seorang transpuan. Film Ismail Basbeth adalah sebuah film yang tenang tapi sarat lapisan konflik, tentang seorang transpuan bernama Sara yang harus pulang ke desa menemui ibunya yang sakit tapi dia tak dikenali sang ibu.
Nan Triveni Achnas. Tempo/Jati Mahatmaji
Sementara itu, Yandy Laurens menghadirkan Jatuh Cinta Seperti di Film-film, film cinta orang dewasa yang digarap tak biasa, yang muncul menjelang akhir tahun. Film dengan format hitam-putih itu menjadi tak biasa meski menggarap tema percintaan. Tak lupa film Garin Nugroho yang menampilkan tokoh Badrun—diperankan oleh Arswendy Bening Swara—dengan petualangan tasnya juga menjadi film yang cukup menarik untuk ditonton. Garin mendekati tema terorisme secara tak terduga. Dia menyajikan persoalan penangkapan oleh aparat terhadap mereka yang tertuduh menjadi bagian teroris dalam masyarakat kita dengan sangat realistis dan tak mengada-ada. Akan halnya sutradara muda Wregas Bhanuteja masih menggarap tema fenomena masyarakat dengan dunia digital seperti film sebelumnya. Film Budi Pekerti memotret fenomena warganet dengan euforia teknologi digital dan fenomena viralitas.
Persaingan yang cukup ketat dari film-film yang masuk daftar nomine mengantar kami ke diskusi yang hangat dan alot. Terutama saat kami membahas tiga kategori utama, yakni penulis skenario, sutradara, dan film. Dalam urusan skenario, saat membahas skenario serta penyutradaraan dan film, juri harus bolak-balik berargumentasi. Juri secara panjang-lebar mengemukakan sejumlah catatan kelebihan dan kekurangan tiap film.
Proses screening penjurian Film Pilihan Tempo di Flix Cinema, Ashta District 8, Jakarta, November 2023. Tempo/Jati Mahatmaji
Tatkala membicarakan skenario film Jatuh Cinta Seperti di Film-film, misalnya, terjadi adu perspektif. Dari satu sisi, film Yandy itu diakui memang menampilkan format yang tidak biasa dalam menampilkan “realitas” jalannya film. Tema urusan percintaan yang sering dikunyah-kunyah, di tangan Yandy menjadi fresh dan tidak klise. Namun teknik penceritaan seperti demikian sudah banyak disajikan di Hollywood. Yandy dianggap lebih menonjolkan gaya dan eksperimen ketimbang kedalaman. Tapi hal itu segera menjadi topik debat seru. Diskusi sampai menakar kewajaran-kewajaran dalam dialog sehari-hari yang disajikan di film yang juga secara tidak langsung mampu menampilkan intensitas (kedalaman). Namun sebuah percakapan tanpa pretensi toh menyentuh. Film Yandy menampilkan bentuk dialog yang sama sekali tak berlebihan. Padat, mengalir, lancar. Dan itu tak mudah.
Eksekusi dan narasi film Women from Rote Island, menurut juri, bagus dan punya kelebihan dibanding film bertema NTT lain. Dimulai dari adegan perempuan telanjang yang masuk ke laut. Adegan yang jauh dari vulgar atau erotisme itu menjadi pintu masuk film yang sangat liris. Akan halnya film Budi Pekerti, para juri melihat Wregas jeli melihat persoalan-persoalan dalam masyarakat yang terjadi karena kesalahpahaman media sosial. Setelah film pertamanya, Penyalin Cahaya, yang juga bertema dunia digital, Wregas makin mampu mengulik dan mengangkat kasus-kasus di media sosial yang problematik dan memunculkannya dalam skenario yang tidak membosankan.
Untuk pemeranan, kita melihat di sepanjang 2023 aktor lama dan baru bermunculan. Tahun lalu, akting Arswendy Bening Swara sebagai jenderal pensiunan tua yang masih memiliki naluri membunuh dalam film Autobiografi menarik perhatian banyak festival. Kini Arswendy berperan kembali sebagai sosok tua dalam film Garin Nugroho, Badrun & Loundri. Ia tidak berperan sebagai jenderal, melainkan sebagai pria tua luntang-lantung. Pria tua yang berpura-pura menjadi ustad bijak. Dalam diskusi dewan juri Tempo, akting mantan aktor Teater Mandiri ini bersaing dengan akting Reza Rahadian dalam film 24 Jam Bersama Gaspar. Seperti biasa, Reza selalu bermain total di semua filmnya, termasuk dalam 24 Jam Bersama Gaspar. Permainan Ringgo Agus Rahman dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film juga diajukan juri sebagai nomine. Akting Ringgo dengan karakter sosok pria penulis skenario sangat menghidupkan film. Sebagai penulis skenario untuk menghidupkan kisah yang ditulisnya di skenario, ia cenderung egoistis. Tiga aktor ini bersaing memperebutkan peran utama pria dalam diskusi juri Tempo.
Sha Ine Febriyanti dan Prilly Latuconsina dalam Budi Pekerti. Dok. Rekata Studio
Akan halnya di kategori aktris utama, dewan juri mendiskusikan akting Merlinda Dessy Adoe, Sha Ine Febriyanti, Nirina Zubir, dan Asha Smara Darra. Sebagai aktris yang belum pernah sama sekali bermain peran, akting Merlinda berhasil mengeksekusi kepahitan hidup tokoh Orpha dalam Women from Rote Island. Sementara itu, Ine menampilkan sosok superwoman yang tegar dan bisa mengatasi persoalan-persoalan dalam Budi Pekerti. Akan halnya Nirina Zubir, ia berakting bagus dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film sebagai perempuan rapuh yang baru ditinggalkan suaminya dan marah karena karakternya dimasukkan ke skenario. Adapun Asha Smara Darra memerankan seorang transpuan yang mengalami pergolakan batin dalam film Sara. Sebuah pergolakan yang meletup-letup di dalam batin tapi tidak dikeluarkan secara emosional. Akting keempat orang ini sama-sama kuat dan menyentuh. Tim Tempo mendiskusikan dengan hati-hati kelebihan dan kekurangan mereka.
Asha Smara Darra dalam Sara. Busan International Film Festival
Nomine kategori aktor dan aktris pendukung pilihan cukup banyak. Para pemain dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film, misalnya, hampir semua masuk daftar nomine. Para nomine pun menampilkan akting yang cukup kuat. Dalam film 24 Jam Bersama Gaspar, para juri mengamati kemunculan Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu Lampung yang berperan sebagai pemilik toko yang juga seorang mafia. Iswadi yang selama ini menjadi sutradara teater untuk pertama kalinya bermain dalam film. Aktingnya tak mengecewakan. Dalam penilaian juri, akting Iswadi bersaing ketat dengan akting Alex Abbad dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Alex bermain sebagai produser yang menyebalkan.
Untuk aktris pendukung, juri mendiskusikan akting para nomine, yakni Irma Novita Rihi, Shenina Cinnamon, Sheila Dara Aisha, Julie Estelle, Prilly Latuconsina, dan Christine Hakim. Irma menjadi sosok Martha dalam Women from Rote Island. Ia bermain sangat natural, tak berlebihan, dan mampu memendarkan batin seorang perempuan yang menderita. Sheila bermain sebagai editor film dalam Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Aktingnya jenaka tanpa jatuh pada komikal. Akan halnya Christine Hakim dalam film Sara menampilkan karakter yang sangat impresif. Akting Christine masuk ke level kedalaman psikologis yang susah diperankan. Ia berperan sebagai seorang ibu yang mengalami demensia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel iin terbit di bawah judul "Mereka yang Memberi Layar Perak Kedalaman". Penanggung jawab: Seno Joko Suyono; Penyunting: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim; Kepala proyek: Dian Yuliastuti; Penulis: Aisha Shaidra, Ecka Pramita, Dian Yuliastuti, Leila S. Chudori, Nan T. Achnas, Mitra Tarigan, Yosea Arga Pramudita; Fotografer: Jati Mahatmaji (koordinator), Ratih Purnama, Gunawan Wicaksono
Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian; Digital: Rio Ari Seno; Tim Pengembangan Audiens: Ardiansyah (koordinator), Zakiyah Rachmalia