Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joana Naves, manajer hak cipta asing penerbit Bertrand Editora dari Portugal, dan Christina M. Udiani, Asisten Manajer Redaksi dan Produksi Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), tersenyum cerah ketika berpose di depan Paviliun Indonesia di London Book Fair 2019, Rabu, 13 Maret lalu. Mereka baru saja menandatangani kontrak penjualan hak cipta penerjemahan buku Stories for Rainy Days ke bahasa Portugal.
Buku karya Naela Ali, penulis dan ilustrator muda Jakarta, itu terdiri atas tiga jilid. Buku ini berupa ilustrasi cat air yang dipadukan dengan teks mengenai hal-hal yang dipikirkan Naela saat hujan. Buku itu termasuk buku laris KPG. Stories for Rainy Days Volume I terjual 19 ribu eksemplar sejak terbit pada Juni 2016.
“Ini kontrak yang bagus. Saya melihat buku Naela sangat bagus. Betapa ekspresif teksnya. Gambarnya juga punya sensitivitas,” kata Naves. “Isinya punya kesamaan dengan Portugal sehingga kami berharap akan terjual dengan baik di negeri kami.”
Paviliun Indonesia di London Book Fair 2019, Olympia./ IFS-NOC Indonesia Market Focus Country LBF2019
Naves bercerita, ia menemukan buku ini di Sharjah International Book Fair, Uni Emirat Arab, November 2018. Dia segera meminta manuskrip buku itu dari penerbit dan menyerahkannya kepada Direktur Bertrand Editora, yang langsung sangat berminat menerjemahkannya. Untuk tahap awal, Bertrand berencana menerbitkan buku itu dalam bahasa Portugal sebanyak 3.000 eksemplar.
Tahun ini, Indonesia mendapat tempat istimewa di London Book Fair, yang berlangsung pada 12-14 Maret lalu. Indonesia terpilih sebagai Market Focus Country dan diberi ruang cukup lapang untuk memperkenalkan buku serta produk kreatif lain dalam pameran buku internasional yang digelar di gedung Olympia, Distrik Kensington, itu. Komite Pelaksana Kegiatan Indonesia Market Focus Country untuk London Book Fair 2019 tak hanya membawa buku, penerbit, dan pengarang Indonesia ke Kensington. Panitia yang dibentuk Badan Ekonomi Kreatif serta didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu juga memperkenalkan produk fashion, kuliner, hingga game dan film yang disatukan dalam tema “17,000 Islands of Imagination”.
Jacks Thomas, Direktur London Book Fair 2019, menilai pasar buku ini sebagai peluang bagi Indonesia. “Indonesia negeri yang sangat menarik yang berubah cepat,” tuturnya. Tapi, “Kami tidak tahu banyak (tentang Indonesia). Jadi kami perlu menampilkan ini sebagai kesempatan untuk memperkenalkannya.”
Selama penyelenggaraan bursa buku itu, Indonesia telah menjual 23 hak cipta kepada berbagai penerbit asing. Selain buku KPG tadi, ada 12 judul terbitan Asta Ilmu Publishing yang diboyong Singapore Asia Publishing untuk didistribusikan ke Australia, Malaysia, Thailand, India, dan Afrika Selatan. Penerbit Rumah Pensil menjual hak cipta dua judul buku anak islami ke Hijjaz- Records Publishing asal Malaysia melalui Sapasar Literary Agency, agen sastra yang didirikan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jawa Barat.
Dua perwakilan Asta Ilmu Publishing (kiri) menandatangani kontrak kerja sama dengan dua perwakilan penerbit asing (kanan) di London Book Fair.
Delapan judul buku anak dengan konten islami terbitan Mizan diambil Kube Publishing,- Inggris. “Lima di antaranya dari seri buku Aku Anak Hebat,” ucap Shera Diva Sihbudi, editor akuisisi naskah asing Mizan.
Empat distributor asing juga bersepakat menyebarkan buku-buku arsitektur terbitan Imaji Books versi bahasa Inggris ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. Tiga di antaranya adalah Thames & Hudson, salah satu distributor terbesar di Inggris; Gazelle, distributor khusus buku arsitektur di Uni Eropa; dan Flavio Marcello dari Italia. “Ini mengejutkan karena selama bertahun-tahun Imaji Books menawari distributor mengedarkan buku di dua benua itu tapi tidak mendapat respons dengan alasan permintaan buku tentang arsitektur Indonesia terlalu sedikit,” ujar Thomas Nung Atasana, Kepala Bidang Pemasaran Komite Pelaksana.
Angka penjualan hak cipta buku itu masih di bawah target panitia, yang mematok 50 judul. Namun tercatat 408 judul buku sedang dalam proses negosiasi. Jumlah ini jauh lebih besar dari capaian dalam ajang serupa tahun lalu, yakni 14 judul selama pameran dan 135 judul dalam proses negosiasi.
“Dari pengalaman sebelumnya, rata-rata 23 persen dari proses negosiasi ini yang kemudian jadi. Butuh waktu setidaknya setahun untuk melihat hasilnya,” kata Laura Bangun Prinsloo, Ketua Harian Komite Pelaksana.
Penerbit Indonesia di Paviliun Indonesia./ IFS-NOC Indonesia Market Country LBF 2019
Data Komite Buku Nasional menunjukkan jumlah penjualan hak cipta buku Indonesia terus meningkat dalam tujuh tahun terakhir, dari 114 judul pada 2012 menjadi 233 judul pada 2018. Adapun jumlah buku yang dinegosiasikan rata-rata tiga kali lipat dari yang bisa dijual dengan jumlah tertinggi 1.216 judul pada 2018.
Menurut Nung, penerbitan terjemahan butuh waktu karena penerbit asing perlu membaca buku yang akan diterjemahkan lebih dulu dan bernegosiasi sebelum tercapai kesepakatan pembelian hak cipta. Nung juga merupakan Direktur Borobudur Agency-Ikapi, unit usaha Ikapi yang mengurusi penjualan hak cipta kepada penerbit asing.
John H. McGlynn, Koordinator Bidang Program Komite Pelaksana, memperkirakan proses membaca dan menilai karya memakan waktu setidaknya setahun. “Bila ditambah enam bulan untuk menerjemahkan dan enam bulan untuk mencetaknya, setidaknya satu judul buku butuh dua tahun baru bisa terbit,” ucap pendiri Yayasan Lontar, lembaga nirlaba yang rutin menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Inggris, tersebut.
Menurut McGlynn, Program Pendanaan Penerjemahan Komite Buku Nasional—bantuan dana penerjemahan ke bahasa asing yang diberikan sejak 2015—telah mendorong minat dari luar negeri terhadap buku Indonesia menjadi makin baik. “Memang masih ada masalah soal penyaluran dana dan birokrasi, tapi secara umum makin baik,” tuturnya.
Joana Naves (kanan) dan Christina M. Udiani (kiri), Asisten Manajer Redaksi dan Produksi Kepustakaan Populer Gramedia.
Sejauh ini, “Judul-judul yang diminati penerbit asing bukanlah karya sastra, tapi buku anak, yang bernada agama,” ucap McGlynn. Data Komite Buku Nasional pun menunjukkan jumlah penjualan hak cipta buku anak keagamaan dan buku anak umum mencapai 42,1 persen dari total penjualan sepanjang 2014-2018. Buku fiksi menempati posisi kedua dengan angka 28,3 persen.
Nung menilai buku anak Indonesia lebih laku karena ilustrasi yang sudah bagus dan hanya ada sedikit teks. “Lebih mudah dan cepat menerjemahkannya ke pasar negara lain,” katanya.
Namun buku fiksi yang diminati umumnya bukan karya sastra klasik, melainkan karya kontemporer. Menurut McGlynn, dari segi konten, buku Indonesia tidaklah kurang. Tapi tidak demikian untuk pasar luar negeri. “Kenyataannya, kalau karya terjemahan dari pengarang kurang dikenal, susah mendapatkan pasarnya,” ucapnya.
McGlynn sudah banyak bertemu dengan penerbit Inggris. Dari pengalaman itu dia menemukan, ketika hendak menerbitkan terjemahan buku Indonesia, para penerbit cenderung memilih satu pengarang saja yang kira-kira punya potensi pasar baik. Kalau semua pengarang Indonesia ingin karyanya diterbitkan mereka, McGlynn melanjutkan, malah akan terjadi persaingan antar-pengarang Indonesia.
Philip Tatham, pendiri Monsoon Books, penerbit independen Inggris yang berfokus memperkenalkan karya-karya pengarang Asia Tenggara, mengakui tak mudah menjual buku terjemahan Indonesia. “Ada satu masalah: Indonesia kurang dikenal baik di Inggris. Tak semua orang tahu soal Indonesia dan kemudian menjelajahi buku itu,” tutur sarjana sastra Indonesia dari Hull University, Inggris, ini. Acara seperti London Book Fair, kata dia, menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperkenalkan diri kepada komunitas penerbit internasional.
Tatham juga melihat peluang besar pada wisatawan yang datang ke Indonesia. Dia memperkirakan banyak sekali wisatawan asing yang mengunjungi Bali. Setidaknya ada 1 juta orang Australia dan sekitar 30 ribu orang Inggris berkunjung setiap tahun. Mereka membutuhkan buku tentang Indonesia. “Maka kami perlu menyasar orang yang akan datang ke Indonesia untuk liburan atau bisnis ini,” ujarnya.
Menurut Nung ATaSana, yang juga diakui Tatham dan McGlynn, peran agen sastra sangat penting dalam perdagangan hak cipta. Para agen inilah yang aktif mencari karya yang bisa diterbitkan ke bahasa lain. “Pembelian hak cipta antar-penerbit tak lazim terjadi. Biasanya agen sastralah yang menawarkan suatu karya ke penerbit asing,” kata Nung.
Monsoon telah menerbitkan, antara lain, Cigarette Girl, terjemahan dari novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala; Not A Virgin, dari novel Bukan Perjaka karya Nuril Basri; dan Jakarta Undercover karya Moammar Emka. Menurut Tatham, penjualan buku-buku itu cukup baik. Cigarette Girl, misalnya, terjual 2.000 eksemplar dalam satu setengah tahun. Yang paling laku adalah buku Emka, yang ludes sampai 20 ribuan eksemplar.
Menurut Nung Atasana, yang juga diakui Tatham dan McGlynn, peran agen sastra sangat penting dalam perdagangan hak cipta. Para agen inilah yang aktif mencari karya yang bisa diterbitkan ke bahasa lain. “Pembelian hak cipta antar-penerbit tak lazim terjadi. Biasanya agen sastralah yang menawarkan suatu karya ke penerbit asing,” kata Nung.
Nung sendiri mendapat pengalaman itu ketika bertugas menjajakan hak cipta buku-buku Indonesia dalam Frankfurt Book Fair 2013 sebagai agen sastra Borobudur Agency-Ikapi. Saat itu, dia menuturkan, Kristine Kress, editor senior Ullstein Buchverlage GmbH—salah satu penerbit besar Jerman—menemuinya dan meminta rekomendasi novel Indonesia untuk edisi Jerman yang akan diusahakan terbit menjelang kehadiran Indonesia sebagai Negara Tamu Kehormatan dalam Frankfurt Book Fair 2015. “Saya langsung merekomendasikan novel Amba karya Laksmi Pamun-tjak karena sudah ada edisi Inggris-nya, The Question of Red, yang ditulis sendiri oleh pengarangnya,” ucapnya.
Seusai pameran, Nung langsung meminta izin Gramedia Pustaka Utama, penerbit buku tersebut, untuk mengirim manuskrip The Question of Red ke Ullstein. “Dalam waktu sepekan, editor Ullstein memberi tahu bahwa mereka setuju menerbitkan edisi Jerman novel tersebut dengan penawaran uang muka royalti yang cukup bagus untuk cetakan pertama sebanyak 10 ribu eksemplar,” ujarnya.
Nung sempat menanyakan alasan Ullstein menerbitkan Amba. Menurut editor Ullstein, Nung melanjutkan, Amba merupakan kisah cinta yang agung yang dijalin dengan piawai dan ditulis dengan bahasa memikat. Selain itu, warna Indonesia pada novel tersebut terasa. “Editor tersebut sama sekali tidak menyebutkan latar belakang tragedi tahun 1965 dari novel itu. Para wartawanlah yang kemudian meramaikan latar belakang tragedi 1965 sebagai daya tariknya,” katanya.
Namun edisi Belanda dan Amerika Serikat novel itu diterbitkan melalui agen sastra lain. Agen sastra Laksmi kini adalah Janklow & Nesbit Associates di New York, Amerika Serikat, serta Jacaranda Literary Agency, yang berbasis di Singapura dan Bangalore, India.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf sadar bahwa pergelaran pasar buku seperti London Book Fair ini membutuhkan biaya besar. Namun pemerintah harus ikut serta sebagai tahap awal mempromosikan karya Indonesia. “Tapi ini harus didorong sampai tahap business-to-business, jangan terus ‘ditopang’ pemerintah,” tutur Triawan. Dia mencontohkan bagaimana stan Thailand dalam pameran desain Salone del Mobile 2017 di Milan, Italia, yang sepenuhnya diisi penerbit tanpa campur tangan pemerintah. “Kami harapkan nanti (penerbit) sudah independen.”
IWAN KURNIAWAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo