Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rogers Arena di Vancouver, Kanada, biasanya dipenuhi penggemar hoki es dan bola basket. Namun, pada Agustus 2018, bekas markas klub National Basket Association, Vancouver Grizzlies, itu dipadati penggila game. Nyaris tidak ada bangku kosong di gelanggang berkapasitas 19 ribu penonton tersebut. Mereka—juga 15 juta orang lain yang mantengin siaran televisi dan streaming—menyaksikan tim asal Uni Eropa dan Cina bertanding Dota 2 pada final turnamen The International.
OG asal Eropa, yang datang sebagai underdog, menjadi kampiun dalam pertarungan lima lawan lima game multiplayer online battle arena besutan developer asal Amerika Serikat, Valve Corporation, tersebut. Isi rekening mereka langsung bertambah US$ 11 juta atau sekitar Rp 157 miliar. Lawannya, PSG.LGD, pulang ke Cina dengan mengantongi US$ 4 juta (sekitar Rp 57 miliar).
The International, yang digelar Valve setiap tahun sejak 2011, merupakan turnamen esports dengan iming-iming paling dahsyat. Esportsranks.com menyebutkan total hadiah The International 2018 mencapai US$ 24,6 juta atau sekitar Rp 351 miliar. Valve menyediakan US$ 1,6 juta, sisanya dari crowdfunding para penggemar Dota 2. Kalau dihitung-hitung, hadiah yang diterima setiap personel OG bisa disandingkan dengan uang berkah bintang tenis Serbia, Novak Djokovic, setelah menjuarai Wimbledon sebulan sebelumnya, yaitu 2,25 juta pound sterling (sekitar Rp 41,6 miliar). “Esports memang sudah menjadi industri dan lahan karier yang bagus,” kata Giring Ganesha, Presiden Indonesia Esports Premier League, kepada Tempo, Senin, 18 Maret lalu.
JANIN esports tumbuh pada 1980, saat Atari menggelar turnamen Space Invaders dengan lebih dari 10 ribu pemain di berbagai kota di Amerika Serikat. Pemenangnya adalah peraih nilai tertinggi. Kompetisi serupa digelar untuk permainan populer lain, seperti Pac-Man dan Donkey Kong. Turnamen memasuki fase baru dengan kehadiran Street Fighter II pada 1991. Lewat game pertarungan ini, dua pemain bisa langsung saling mengalahkan. Seperti ditulis situs Electronic Game Monthly, kepopuleran genre perkelahian satu lawan satu ini mendorong terbentuknya Evolution Championship Series atau EVO pada 1996. Turnamen internasional tahunan yang masih berlangsung tersebut menerapkan sistem poin yang harus didulang pemain dari level lokal, regional, hingga dunia. Format yang kemudian menjadi pakem kebanyakan turnamen esports.
Evolusi kembali terjadi pada akhir 1990-an. Di Indonesia, karena koneksi Internet yang lemot, kompetisi terbatas pada sistem jaringan internal atau LAN dengan saling tembak di Counter-Strike di warung Internet. Namun, di negara dengan koneksi Internet lancar seperti Korea Selatan, game daring berbasis komputer pribadi (PC) booming. Seperti ditulis New York Times, Kementerian Budaya, Olahraga, dan Turisme Korea Selatan membentuk asosiasi esports untuk mengatur dan mempromosikan olahraga baru itu.
Pladidus Santoso, editor situs game Jagat Play, mengatakan turnamen lintas negara menjamur sejak 2010. The International menjadi kompetisi pertama yang menyuguhkan hadiah wah. Ajang perdana mereka, yang digelar di Köln, Jerman, pada 2011, menyediakan hadiah US$ 1 juta atau sekitar Rp 14,2 miliar dengan kurs sekarang. “Sejak itu, semua turnamen hadiahnya gila-gilaan,” ucap Pladidus.
Sponsor berdatangan karena turnamen yang awalnya hanya bisa disaksikan di tempat perhelatan itu berubah menjadi tontonan massal via streaming, seperti di Twitch dan YouTube. ESPN menulis, penonton global esports per 2019 mencapai 427 juta orang.
Situs Esports Earnings menyebut Dota 2—singkatan dari Defense of the Ancients—sebagai penyawer terbesar. Pengembang Valve secara total telah membagikan lebih dari US$ 177 (sekitar Rp 2,5 triliun) lewat 1.079 turnamen sejak permainan itu dirilis pada 2013.
Berikutnya adalah Counter-Strike: Global Offensive. Game hasil kolaborasi Valve dan Hidden Path Entertainment ini turunan dari Counter-Strike, yang pernah membuat anak-anak sekolah dan mahasiswa makan-tidur di warnet pada awal 2000-an. Temanya tidak beranjak dari tembak-tembakan antara teroris dan pasukan antiteror. “Saya pertama kali main Counter-Strike 1.6 pada 2005. Waktu itu kelas V SD,” ujar Hansel Ferdinand, 23 tahun, atlet esports Indonesia yang memperkuat tim elite Cina, Tyloo.
Valve sempat dihujani kritik karena game populer yang dirilis pada 2012 ini tidak menyuguhkan hadiah besar dalam kompetisi yang mereka gelar. Terlebih sejak hadirnya Dota 2. Kompetisi CS:GO—nama bekennya—baru menyediakan US$ 1 juta dalam MLG Major Championship di Columbus, Ohio, Amerika Serikat, Maret 2016. Selanjutnya, peserta turnamen game ini selalu diiming-imingi tawaran menggiurkan. Situs Esports Observer menyebutkan CS:GO memiliki 370 turnamen berbagai skala sepanjang tahun lalu. Tujuh di antaranya menyuguhkan hadiah di atas US$ 1 juta atau lebih dari Rp 14 miliar. Total hadiah sepanjang 2018 mencapai US$ 22,47 juta (sekitar Rp 320 miliar).
Di peringkat ketiga ada League of Legends. Game besutan Riot Games asal Amerika Serikat ini pesaing utama Dota 2 karena temanya mirip-mirip: dua tim—bisa tiga atau lima karakter—yang saling menghancurkan markas musuh. Kompetisi terakbarnya adalah The League of Legends Championship Series yang tersebar di Amerika Utara, Uni Eropa, Cina, Korea Selatan, dan Hong Kong. Layaknya Piala Dunia di sepak bola, wakil setiap benua beradu di League of Legends World Championship, yang terakhir kali berlangsung di Incheon, Korea Selatan, November 2018, dengan hadiah sekitar Rp 92 miliar. Situs Esports Earnings mencatat total hadiah yang diberikan League of Legends dalam 2.212 kompetisi sejak 2013 lebih dari Rp 912 miliar.
Namun baik Dota 2, CS:GO, maupun League of Legends tidak seberapa populer di Indonesia. “Indonesia jadi anomali,” ucap Giring Ganesha. Penyebabnya, dia melanjutkan, adalah faktor finansial. Ketiga game tersebut berbasis PC. Adapun PC yang mumpuni untuk bermain game “seberat” itu harus ditebus lebih dari Rp 10 juta, sementara gaming laptop di atas Rp 30 juta. Hambatan yang sama berlaku pada game berbasis konsol, yaitu PlayStation 4 dan Xbox One, yang harga setiap permainannya sekitar Rp 800 ribu.
Nah, masalah fulus raib di game mobile. Hampir setiap orang Indonesia berusia 18-34 tahun—mayoritas penggemar esports versi penelitian Newzoo—punya smartphone. Telepon seluler pintar kebanyakan, yang harganya mulai Rp 2 jutaan, sudah mampu mengoperasikan Arena of Valor, Mobile Legends, atau PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG)—sekarang sedang diributkan soal status halal-haramnya—yang bisa diunduh sonder biaya. “Esports di Indonesia membesar lewat game mobile,” ujar Giring.
Indonesia menjadi negara dengan pemain Mobile Legends terbanyak di dunia, yakni 50 juta orang dari total 170 juta pengguna aktif per bulan. Tak mengherankan kompetisi pun bermunculan. “Dulu menang turnamen dapat hadiah Rp 20 juta buat satu tim rasanya sudah senang banget,” kata Kido, anggota tim Louvre eSports. Kini hadiah kompetisi tingkat nasional sudah mencapai Rp 1,7 miliar, seperti yang diberikan Mobile Legends Professional League Indonesia—yang digelar pengembang Moonton asal Cina.
Pemerintah tak mau kalah. Setelah menghadirkan esports di Asian Games 2018, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Badan Ekonomi Kreatif, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kantor Staf Presiden menggelar Piala Presiden. Giring, calon legislator dari Partai Solidaritas Indonesia, menjadi ketua panitia. Dia mengatakan turnamen dengan hadiah Rp 1,5 miliar yang berakhir pada 31 Maret 2019 tersebut menjadi tonggak sejarah. “Akhirnya esports mendapat pengakuan negara sebagai industri dan cabang olahraga,” tutur penggemar Overwatch ini.
REZA MAULANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo