Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPASTIAN menduetkan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada Selasa siang, 17 Oktober lalu. Hari itu Megawati mengundang sejumlah pengurus partai di rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. “Ibu bilang sudah memutuskan Pak Mahfud,” kata Bendahara Umum PDIP Olly Dondokambey menceritakan pertemuan itu pada Rabu, 18 Oktober lalu.
Pertemuan di Teuku Umar juga dihadiri oleh putra Megawati, Prananda Prabowo, dan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Putri Megawati, Puan Maharani, absen karena sedang beristirahat setelah mengikuti acara G20 Parliamentary Speakers' Summit di New Delhi, India.
Megawati sempat menyebutkan alasan memilih Mohammad Mahfud Mahmodin, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, sebagai pendamping Ganjar Pranowo. Salah satunya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu bisa memperkuat Ganjar dalam isu hukum. Menurut Olly, Megawati Soekarnoputri juga menyatakan bahwa Mahfud akan datang pada sore harinya.
Ketika Mahfud datang, Olly bercerita, Megawati memberitahukan keputusannya tersebut. Ia juga menyebutkan ihwal tantangan nasional dan penegakan hukum. Selain itu, Megawati meminta Mahfud, yang lebih senior dari Ganjar, mengayomi mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut. Ganjar berusia 55 tahun dan Mahfud berumur 66 tahun.
Megawati juga menyampaikan agar Mahfud Md. dan Ganjar tak berjalan sendiri-sendiri jika terpilih dalam Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. “Ibu Mega menyampaikan bahwa deklarasi Ganjar-Mahfud diadakan esok harinya,” ujar Olly, yang juga menjabat Gubernur Sulawesi Utara.
Olly lalu menyerahkan selembar kertas kepada Mahfud. Isinya: 12 poin strategi pemenangan. Konsep itu dibuat oleh elite PDIP. Salah satu poin tersebut adalah Mahfud bertugas mendekati para kiai, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama. Mahfud tokoh NU. Mahfud yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam juga diminta mengajak tokoh organisasi tersebut.
Sebelum pertemuan rampung, Megawati bertanya kepada Mahfud ihwal pakaian apa yang akan dikenakan saat deklarasi. Kepada Megawati, Mahfud mengatakan akan memakai baju hijau. Adapun Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyarankan Mahfud mengenakan kemeja yang batal ia pakai pada 2019.
Mahfud pernah menjadi calon kuat pendamping Joko Widodo dalam Pemilu 2019. Namun, pada menit-menit akhir menjelang deklarasi, Mahfud yang sempat berada di sekitar tempat deklarasi batal terpilih. Jokowi akhirnya berpasangan dengan Ma’ruf Amin, yang saat itu menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Kepada sejumlah wartawan, Mahfud membenarkan kabar tentang pertemuan yang berlangsung sekitar dua jam di Teuku Umar. Ia mengaku diminta oleh Megawati membenahi persoalan hukum dan korupsi. Pertemuan itu juga membahas kebutuhan selama kampanye. “Perlu apa, bilang, biar kami yang ngurus karena ini keperluan negara,” tutur Mahfud, Rabu, 18 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Calon presiden-wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud Md. menyapa pendukung mereka saat menuju gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, 19 Oktober 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum, Mahfud mengenakan kemeja putih yang batal dikenakannya pada 2019. Kala itu ia menitipkan kemeja tersebut kepada ibunya yang berada di Madura, Jawa Timur. “Ada pesan Tuhan di baju ini. Ditunda dulu untuk dipakai ke KPU dan hari ini dipakai untuk mendaftar,” katanya, Kamis, 19 Oktober lalu.
Adapun Megawati, saat deklarasi digelar pada Rabu, 18 Oktober lalu, mengaku tak asing dengan Mahfud. Megawati dan Mahfud sama-sama berada di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Mahfud menjabat anggota dan Megawati ketua dewan pengarah. “Saya sangat bisa mengerti dari cara jalan pikirannya,” ujarnya saat mengumumkan Mahfud di kantor PDIP.
•••
NAMA Mahfud Md. masuk bursa calon wakil presiden pendamping Ganjar Pranowo pada akhir April lalu. Kala itu PDI Perjuangan baru saja mendeklarasikan Ganjar sebagai calon presiden pada 21 April lalu di Istana Batutulis, Bogor, Jawa Barat. “Semuanya tidak keluar dari yang sudah dibicarakan saat awal,” ucap Bendahara Umum PDIP Olly Dondokambey.
Saat itu PDIP mengantongi sepuluh nama calon wakil presiden. Selain Mahfud, ada nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, serta Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Nama-nama itu pun dibahas oleh para ketua umum partai pendukung Ganjar di Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo, yang dibentuk pada September lalu. Selain PDIP, partai pendukung Ganjar adalah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Tim itu dipimpin oleh Arsjad Rasjid, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Dalam rapat perdana Tim Pemenangan Nasional pada 20 September lalu, sebuah matriks untuk menghitung skor bagi kandidat bakal calon wakil presiden dijabarkan di depan petinggi partai. Skor itu dihitung berdasarkan beberapa variabel, seperti elektabilitas dan popularitas calon wakil presiden. Mahfud termasuk memiliki skor tertinggi karena dianggap dapat diterima publik.
Arsjad Rasjid tak membantah informasi itu. “Kami mempertimbangkan semua nama yang masuk radar cawapres,” katanya. Menurut Olly, dalam salah satu rapat TPN Ganjar Pranowo, para ketua umum partai sepakat memberikan kewenangan kepada Megawati Soekarnoputri untuk memutuskan calon pendamping Ganjar.
Olly menuturkan, Megawati lalu mengundang sejumlah elite PDIP ke rumahnya pada Kamis, 12 Oktober lalu. Dua anak Megawati, Prananda Prabowo dan Puan Maharani, ikut hadir. Begitu juga Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto, Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Said Abdullah, Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Dengan menu mi kangkung, rapat itu membahas data empat calon wakil presiden di peringkat teratas, yakni Mahfud; Sandiaga Uno; mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil; dan Khofifah Indar Parawansa.
Presentasi itu menampilkan data elektabilitas yang dihimpun oleh partai banteng. Elektabilitas Mahfud sebagai calon wakil presiden terbilang tinggi. Hasil sigi Poltracking periode 25 September-1 Oktober 2023 menampilkan elektabilitas Mahfud 15,7 persen, Sandiaga 4,6 persen, Ridwan Kamil 7,4 persen, dan Khofifah 14,3 persen.
Menurut Olly, rapat itu juga membahas sisi positif dan negatif tiap calon. Mahfud, misalnya, dinilai positif dalam hukum, tapi kekurangannya suka berbicara ceplas-ceplos. Sedangkan Sandiaga bagus dalam ekonomi, tapi suka berpindah partai. Sandiaga, kini Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Persatuan Pembangunan, sebelumnya menjadi kader Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra.
Adapun Ridwan Kamil, Olly melanjutkan, dinilai bagus dalam memimpin Jawa Barat, tapi dianggap terlalu dominan. Misalnya, Ridwan sempat menyatakan bakal ada kejutan setelah ia tak menjadi gubernur. Saat itu nama Ridwan disebut akan menjadi pendamping Ganjar. “Dikhawatirkan kalau sama Ganjar akan overlapping,” tutur Olly.
Terakhir, Khofifah yang dianggap mumpuni memimpin Jawa Timur terganjal masalah penerimaan masyarakat. Masih ada anggapan bahwa sebagian besar penduduk negeri ini belum menerima jika perempuan menjadi pemimpin nasional. Pengurus partai banteng lalu menyerahkan keputusan kepada Megawati.
Artikel lain:
- Bagaimana Anwar Usman Mengatur Putusan Mahkamah Konstitusi
Siapa Calon Wakil Presiden yang Dipilih Prabowo Subianto?
Mahkamah yang Kehilangan Muruah
Krisis Demokrasi Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam proses penjaringan, Megawati juga bertemu dengan sejumlah kandidat. Pada 3 Oktober lalu, Mahfud mengaku berjumpa dengan Megawati dan membahas konstitusi serta ideologi. Tapi Mahfud membantah jika disebut ada pembahasan mengenai posisi calon wakil presiden. Seorang kolega Mahfud bercerita, Megawati memberikan buku tentang presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Berbeda dengan saat pemilihan presiden 2019, Mahfud kali ini lebih senyap. Ia tak lagi membentuk tim pemenangan dan menghindari tampil di depan umum dengan tujuan menggalang dukungan. Narasumber yang sama bercerita, Mahfud masih mengalami trauma dengan kegagalannya menjadi calon wakil presiden pada 2019.
Toh, sejumlah kolega Mahfud kerap berdiskusi dengan lingkaran Ganjar Pranowo ataupun petinggi PDIP. Pesan dari mereka: Mahfud tak sering tampil di depan publik, apalagi memperlihatkan ambisi menjadi calon wakil presiden. Orang dekatnya bercerita, Mahfud lalu membatasi tampil dalam wawancara khusus dengan media.
Hingga Sabtu malam, 21 Oktober lalu, Mahfud tak menjawab pertanyaan yang dikirimkan Tempo. Kepada sejumlah wartawan di kantornya pada Rabu, 19 Oktober lalu, Mahfud mengakui adanya lobi-lobi itu. “Lobi sudah dilakukan, sering antarstaf, bukan saya sendiri,” katanya. Seorang kolega Ganjar mengakui adanya lobi itu.
Setelah Megawati memutuskan duet Ganjar-Mahfud, petinggi PDIP pun bertemu dengan Sandiaga Uno. Dalam pertemuan di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan, petinggi PDIP itu menjelaskan keputusan Megawati. Sandiaga menerima keputusan tersebut.
Dalam Rapat Pimpinan Nasional PPP di Ancol, Jakarta Utara, Kamis, 19 Oktober lalu, Sandiaga menceritakan bagaimana ia menerima kabar pengumuman Mahfud pada Selasa sore. Ia pun langsung bersujud bersama istrinya, Nur Asia, di rumahnya seusai salat magrib. “Ada rasa plong, lega, karena yang dipilih sosok Pak Mahfud. Buat saya, malam itu sudah selesai,” ujarnya.
Deklarasi Ganjar-Mahfud digelar saat Presiden Joko Widodo berdinas ke Cina dan Riyadh, Arab Saudi. Saat PDIP mendeklarasikan Ganjar di Istana Batutulis, Jokowi hadir menemani Megawati. Seorang politikus PDIP mengatakan sikap partainya bertujuan memberikan sinyal kepada Jokowi, yaitu ke mana arah dukungan Jokowi saat deklarasi hingga pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum.
Olly Dondokambey, Bendahara Umum PDI Perjuangan, tak membantah informasi tersebut. “Kira-kira begitu, lah. Kalau ada yang mau gabung, mari,” tuturnya.
Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengatakan ia juga ingin tahu ke mana arah dukungan Jokowi dalam pemilihan presiden 2024, apakah Ganjar-Mahfud atau pasangan calon presiden lain. “Tolong ditanyakan, masih mendukung Pak Ganjar Pranowo atau punya pilihan lain. Tolong ditanyakan, saya juga mau tahu jawabannya,” katanya, Rabu, 18 Oktober lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Francisca Christy Rosana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Trauma Sebelum Deklarasi"