Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

George Quinn: Saya Terpesona oleh Penghormatan kepada Para Wali

Ketika singgah di makam para wali, saya seketika terpesona oleh segala hal yang berkaitan dengan penghormatan kepada mereka. Baik riwayat, legenda, mitos, ritual penghormatan, wujud makam, latar belakang para peziarah, maupun peran makam keramat dan para wali pada masa kini,” ujar George Quinn.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Quinn pertama kali datang ke Indonesia pada 1966, atau saat huru-hara pembubaran Partai Komunis Indonesia. Ia kembali datang untuk kuliah sastra di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ikatannya dengan Indonesia bertambah kuat setelah ia mengawini Emmy Oey, perempuan asal Banyumas, Jawa Tengah. Setelah menikah, Quinn melanjutkan studinya tentang Indonesia di Wellington, Selandia Baru, dan meraih gelar doktor di University of Sydney, Australia.

“Sikap ‘tak masuk akal’ tidak pernah luntur dalam masyarakat modern, malah dalam beberapa hal makin menjadi,” ia menambahkan. Berikut ini petikan wawancaranya dengan Isma Savitri dari Tempo.

Mengapa Anda tertarik meneliti wali-wali nyeleneh di Jawa?

Sebenarnya ini kebetulan. Pada 1980-an, saya meneliti nasib bahasa dan sastra Jawa di zaman modern (abad ke-20 atau pasca-Kemerdekaan). Ternyata ada novel, juga cerita pendek, dalam bahasa Jawa yang kerangka dan kaidahnya terangkat dari kisah-kisah lama. Di antaranya cerita tentang para wali yang diteruskan turun-temurun melalui tempat-tempat keramat. Saya terkesan oleh sifat makam sebagai wadah dan khazanah yang mengandung ragam sejarah di luar yang hidup di sekolah, universitas, ideologi nasional, dan buku ilmiah.

Ini terkait dengan Islam Nusantara yang sudah lama langgeng di Jawa?

Tentu ada. Banyak makam keramat yang dibangun di atas situs-situs yang dikeramatkan orang sejak sebelum kedatangan Islam. Kisah-kisahnya pun banyak yang memancarkan motif dan kaidah-kaidah penceritaan yang berakar dari sejarah Jawa sejak zaman ratusan, bahkan ribuan, tahun lalu. Sebagaimana saya ceritakan dalam Bandit Saints of Java, cerita lama yang diwariskan melalui makam-makam keramat sedang berubah, sejalan dengan berubahnya lingkungan keislaman yang sedang berlangsung di Jawa saat ini. 

Apa pertimbangan Anda memilih kata “bandit” untuk judul buku?

Ha-ha-ha…. Kata “bandit” dalam bahasa Inggris agak berbeda artinya dengan dalam bahasa Indonesia. Bandit dalam bahasa Indonesia cenderung menunjukkan peraga yang garang, kejam, jahat. Sedangkan dalam bahasa Inggris istilah “bandit” kurang-lebih sepadan dengan “berandal” dalam bahasa Indonesia, yaitu tokoh yang urakan, pembangkang, nakal, nyentrik, nyeleneh. Seperti Jack Sparrow, tokoh berandal tapi baik hati dalam film Pirates of the Caribbean. Menurut saya, para wali dan tokoh lain yang dikeramatkan masyarakat Jawa banyak yang seperti berada di luar lingkup praktik keagamaan yang ketat dan taat. Atau seolah-olah di luar kaidah ibadah yang ditetapkan para ulama yang berkiblat ke Islam “kearab-araban” sehingga para wali berandal itu semacam menjadi “bandit”, yaitu penodong lokal yang menantang kita mengakui keberagaman purba yang senantiasa menandai Islam di Indonesia.

Apa pendekatan penelitian yang Anda pakai?

Pada dasarnya, pendekatan saya bersifat kesastraan. Artinya titik tolak saya selalu adalah cerita, legenda, dongeng, mitos, juga manakib. Dalam Bandit Saints of Java, saya mengangkat berbagai cerita kewalian yang sebagian besar dari sumber-sumber berbahasa Jawa. Cerita-cerita itu kemudian saya teropong dengan analisis sosiologi kesastraan. Tentu saja saya juga memanfaatkan alat-alat analisis historiografi dan antropologi, selain “menenggelamkan diri” (personal immersion) dalam kunjungan ziarah yang berulang kali saya lakukan ke semua makam yang dikisahkan dalam Bandit Saints of Java.

Kisah para tokoh ini kadang tak masuk akal, seperti kisah Nyai Ageng Bagelen yang anaknya tergiling oleh suaminya....

Kisah itu saya dengar di makam Nyai Ageng Bagelen. Anak-anak Nyai Ageng tidak sengaja digiling oleh suaminya bersama kedelai dan beras, lalu jasad anak yang hancur itu tersebar di wilayah Bagelen bersama kedelai dan beras hasil penggilingan itu. Inilah yang menjadikan daerah Bagelen subur dan memakmurkan masyarakat setempat. Mitos adalah cerita yang tidak terbuktikan kebenarannya, seperti halnya mitos “kemajuan” yang mendasari masyarakat saat ini. Mitos memungkinkan masyarakat mengerti asal-usulnya serta menjaga identitas dan kesinambungan kebudayaannya.

Sikap rasional dibutuhkan bagi perkembangan masyarakat modern, termasuk Indonesia. Apakah Anda melihat ziarah-ziarah di petilasan yang sering tak masuk akal itu sangat positif bagi kekuatan kultural masyarakat Nusantara?

“Rasionalitas” senantiasa bertolak-tarik dengan sikap tidak rasional. Lihat saja perkembangan Internet yang menjadi ajang timbulnya aneka fantasi, hoaks, pendewaan selebritas, juga teori konspirasi yang kadang ditelan bulat-bulat dan berdampak dahsyat di masyarakat. Sebagaimana saya paparkan dalam Bandit Saints of Java, bagi sebagian masyarakat Jawa, tempat-tempat keramat merupakan sejenis suaka sosial dan suaka agama. Bahkan ada yang menganggap dukungan pemerintah bagi ziarah lokal adalah upaya mengimbangi timbulnya Islam ekstrem. Di samping itu, ziarah ke makam-makam keramat adalah “bisnis besar”, yaitu upaya niaga yang sangat menguntungkan. Semua ini bersifat rasional, bukan “tidak masuk akal”. 

Ada banyak wali menarik di luar Jawa, seperti Imam Lapeo di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, yang konon masih sering muncul dan menghilang tiba-tiba. Apakah Anda juga akan menulis soal mereka?

Menarik sekali. Baru sekarang nama mereka saya ketahui. Memang wali dan makam keramat juga terdapat di luar Jawa, tapi saya belum sempat menengok mereka. Saya harap ke depan ada peneliti Indonesia yang menjajaki gejala ziarah lokal di luar Jawa. Sebetulnya sudah ada upaya ke arah itu dari sejumlah peneliti muda Indonesia, misalnya Syaifudin Zuhri mengenai makam keramat Islam di Bali. Berikutnya saya akan menyorot para wali perempuan dalam lingkup budaya Jawa, Sunda, dan Madura. Seperti Waliyah Zainab, Ratu ­Kalinyamat, Raden Ajeng Kartini, Nyai Ageng Pinatih, Sharifah Ambami, Nyi Ageng Serang. Saya sudah cukup tua, semoga diberi umur beberapa tahun lagi untuk menyelesaikan penelitian ini.

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus