Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekalahan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah, ISIS, akhir Maret lalu, berimbas pada Indonesia. Sekitar lima ratus orang Indonesia mantan simpatisan ISIS terkatung-katung di berbagai kamp pengungsi di Suriah. Beberapa dari mereka menghubungi keluarga dan ingin pulang kampung.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Suhardi Alius menyatakan pemerintah menindaklanjuti permintaan itu. Namun itu bukan perkara mudah. Undang-Undang Kewarganegaraan menyebutkan orang yang pernah angkat senjata untuk negara lain otomatis kehilangan kewarganegaraannya. Begitu juga orang yang sudah menghancurkan paspor dengan sengaja.
Masalahnya, simpatisan ISIS asal Indonesia, Suhardi melanjutkan, memiliki kekhasan. Berbeda dengan, misalnya, 5.000-an simpatisan asal Rusia yang semuanya merupakan petempur alias kombatan, “Orang Indonesia berangkat ke Suriah membawa keluarga,” katanya. Para perempuan dan anak-anak itu tidak ikut bertempur dan sebagian masih memegang paspor.
Suhardi, 57 tahun, mengatakan simpatisan ISIS itu memiliki paham radikal yang mesti diwaspadai. BNPT beserta Kementerian Luar Negeri akan memberikan serangkaian penyaringan sebelum memulangkan mereka, termasuk terhadap perempuan. “Pengaruh pada perempuan bisa lebih keras,” ujarnya. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI tersebut mencontohkan bom bunuh diri di Sibolga, Sumatera Utara, Maret lalu, yang dilakukan Solimah setelah suaminya, Abu Hamzah, menyerah kepada polisi. Suami-istri itu adalah simpatisan ISIS.
Dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Arif Zulkifli, Reza Maulana, Hussein Abri, dan Angelina Anjar, Suhardi bercerita panjang-lebar tentang pendekatannya terhadap orang-orang yang kembali dari Suriah. Salah satunya Mutsanna, 14 tahun, yang termasuk 18 warga Indonesia yang kembali ke Tanah Air pada 2017. Setelah didekati Suhardi dan dimasukkan ke pesantren, Mutsanna bisa bersosialisasi dengan kawan sepermainannya. “Padahal dulu tidak mau ngomong sama sekali, tapi bisa bongkar-pasang senapan AK-47.”
Di suatu acara Penanggulangan Terorisme./TEMPO/STR/Fakhri Hermansyah
Apa yang pemerintah lakukan terhadap simpatisan ISIS yang ingin kembali ke Tanah Air?
BNPT sendiri akan melibatkan kementerian yang punya korelasi untuk mereduksi paham mereka, seperti Kementerian Sosial, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kami bergerak sejak bulan lalu dengan rapat lintas kementerian di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Dulu 18 warga negara Indonesia yang kembali dari Suriah pada 2017 dimasukkan ke panti sosial selama satu bulan. Setelah itu, mereka baru bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat. Tapi siapa yang bisa menjamin mereka? Salah satu dari 75 WNI yang dideportasi dari Turki karena ingin masuk ke Suriah pada 2017 saja ada yang terkait dengan kasus bom di Surabaya 2018.
Bagaimana mencegah hal serupa terjadi lagi?
Saya meminta Menteri Dalam Negeri menginstruksikan kepada pemerintah daerah agar merekalah yang menjemput para deporte itu di BNPT. Tujuannya agar pemerintah daerah tahu di mana mereka tinggal. Dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang baru, semua WNI yang kembali dari sana bisa kita seleksi. Menurut saya, kalau nanti ada WNI yang pemikirannya radikal, harus ada tindakan.
Penyaringannya seperti apa?
Kita harus mengidentifikasi mereka lebih dulu, siapa sebenarnya mereka, siapa saja jaringannya. Lalu kita cek wawasan kebangsaan dan keagamaannya.
Identifikasi itu dilakukan di Suriah?
Iya, daripada sudah telanjur masuk ke sini, bisa repot. Karena itu, tim yang nantinya berangkat ke sana harus benar-benar teliti sehingga mereka terpetakan. Bisa saja mereka mengelabui kita. Saya tidak ingin mematahkan harapan mereka. Tapi memang tidak mudah. Paspornya saja kebanyakan sudah dibakar.
Artinya kewarganegaraan mereka sudah hilang?
Stateless. Menurut undang-undang, WNI yang berjuang di negeri orang sudah bisa disebut stateless. Tapi, yang terpenting, kita harus menangani mereka dengan hati-hati karena mereka sudah memiliki paham yang berbeda. Tidak mudah mengembalikan pemikiran mereka menjadi normal lagi.
Bagaimana membuktikan kewarganegaraan tanpa paspor?
Kami cek akta kelahiran atau identitas lain yang menunjukkan bahwa dia adalah WNI. Kami juga cek keluarga mereka di sini. Memang tidak mudah dan perlu waktu. Ada kejadian pada 2017, ketika Turki mendeportasi 75 WNI yang ingin masuk ke Suriah. Begitu dideportasi, ada warga negara asingnya. Kalau tidak salah, Nigeria. Saat diwawancarai, dia mengatakan ingin ke Indonesia karena punya jaringan di sini. Akhirnya kita mendeportasi dia lagi ke negara asalnya.
Artinya perlu komunikasi intensif dengan Turki....
Setelah kejadian itu, saya datang ke Turki. Saya meminta LO (liaison officer) polisi di sana. Saya juga meminta mereka mendeportasi WNI dengan penerbangan langsung, karena mereka bisa kabur saat transit. Informasi deportasi pun jangan sampai terlambat supaya kami bisa bersiap menerima mereka. Kalau tidak, para deporte sudah menyebar ke daerah, bisa-bisa tidak terlacak lagi. Jadi saat ini hubungan kami dengan Turki sudah bagus. termasuk saat pemulangan 18 WNI dari Suriah pada 2017. Beberapa bulan sebelumnya, sudah ada kontak. Mereka mengatakan ingin pulang. Kami tidak bisa masuk ke Suriah. Jadi mereka menyeberangi perbatasan sampai ke Erbil, Irak.
Mereka bercerita tentang kehidupan mereka saat bergabung dengan ISIS?
Dalam testimoni mereka, yang perempuan, kalau paginya diminta untuk kawin, sorenya harus jadi. Lalu, anak-anak, selalu bertengkar. Mereka bilang kalau janji-janji yang bagus itu ternyata bohong. Ada juga yang bilang, “Saya tuh cuma kasihan sama anak-anak.” Ternyata istrinya yang punya pemikiran lebih keras. Dalam beberapa kasus bom, perempuan pun terlibat. Jadi ini menjadi pelajaran buat kami untuk menangani WNI yang nantinya akan pulang dari Suriah.
Ada dua dari 18 WNI eks ISIS tersebut yang masih ditahan, yakni Dwi Djoko Wiwoho dan Heru Kurnia. Apakah karena mereka adalah kombatan ISIS?
Dalam klasifikasi itu karena mereka sudah masuk ke sana.
Apakah mereka bercerita bahwa mereka pernah berperang di mana saja?
Mereka belum sampai berperang. Sebab, begitu tiba, menyesal. Kok, kehidupannya kayak begini? Tapi, di sana, semua laki-laki dewasa wajib menjadi kombatan. Nah, mereka menghindar. Ini juga yang menjadi alasan kenapa WNI yang nantinya akan pulang dari Suriah harus benar-benar diidentifikasi karena mereka pasti sudah disuruh menjadi kombatan.
Kami mendapati Pasukan Demokratik Suriah atau SDF menempatkan semua laki-laki dewasa eks ISIS di penjara, sementara perempuan dan anak-anak di kamp-kamp pengungsian.…
SDF mengambil langkah itu karena mereka ingin berhati-hati. Wajar kalau SDF mengasumsikan semua laki-laki dewasa sebagai kombatan. Awalnya mereka mungkin dipaksa menjadi kombatan. Kan, semua laki-laki dewasa disisir dari rumah ke rumah untuk menjadi kombatan. Tapi, kalau sudah sekian lama, pasti kombatan.
Berapa eks ISIS asal Indonesia yang masih di Suriah?
Menurut data intelijen, sekitar 500 orang. Tapi, menurut informasi, hanya sekitar 200 orang yang berada di kamp-kamp pengungsian. Menurut informasi, sebagian lainnya keluar lewat Iran, menuju Pakistan, lalu masuk ke Afganistan. Jadi, karena pahamnya sudah seperti itu, mereka tidak mau pulang.
Identifikasi eks ISIS di Suriah sudah dilakukan?
Kami memang belum mengirim tim ke sana. Tapi ada perwakilan Indonesia di sana, baik di Damaskus, Turki, maupun negara-negara lain di sekitar situ yang sudah mulai mengurus masalah ini.
Seberapa besar kemungkinan tidak lolos verifikasi?
Segala kemungkinan pasti ada. Ada sisi legalitas yang harus kami lihat. Tapi mungkin ada sisi humanis yang mesti kami pertimbangkan. Misalnya, negara-negara di Eropa, mereka hanya menerima anak-anaknya, ibunya tidak. Itu menjadi pro-kontra. Bagaimana seorang anak hidup tanpa orang tuanya? Tapi itu dipilih karena Eropa tidak mau mengambil risiko. Ini bukan sekadar memulangkan orang. Apa yang mau kita perbuat terhadap mereka? Betul tidak mereka adalah warga negara kita? Lalu yang sudah kawin dengan orang sana dan punya anak di sana mau diapakan? Pemikiran mereka pun sudah berbeda. Kalau mereka akan kembali menjadi bagian dari masyarakat, apakah mampu beradaptasi? Jangan sampai mereka malah mencemarkan yang lain.
Perhatian utama pemerintah adalah masalah keamanan?
Keamanan adalah nomor satu. Bibit-bibit (terorisme) yang baru ini harus kami hindari dan reduksi. Yang benar-benar orang Indonesia memang mesti kita perhatikan. Tapi kita juga mesti menjaga Indonesia secara keseluruhan. Jangan sampai terinfiltrasi oleh nilai-nilai yang tidak baik. Saya keluar-masuk universitas dan bolak-balik tanda tangan nota kesepahaman dengan kementerian terkait itu dalam rangka menyebarkan paham-paham toleransi. Kalau nanti mereka ujug-ujug masuk, lalu kita terinfiltrasi lagi, kan repot.
SDF mengusulkan semua laki-laki dewasa eks ISIS diadili dengan pengadilan internasional yang dibuat di Suriah. Anda setuju?
Itu lebih bagus karena locus dan tempus delicti-nya (tempat dan waktu dilakukannya tindak pidana) di sana. Jadi, dari sisi pembuktian, akan lebih lengkap. Kalau mereka diadili di negaranya kan negara terkait harus berkomunikasi juga dengan para pihak di sana. Jadi lebih repot. Tapi ini pendapat pribadi saya, bukan pemerintah.
Tapi, kalau diadili dengan pengadilan internasional di Suriah, mereka juga akan dipenjara di sana.…
Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Mereka yang berangkat ke sana pun bukan tanpa pencegahan, lho. BNPT banyak menggagalkan orang-orang yang ingin berangkat ke sana. Karena itu, menurut saya, jumlah WNI yang berangkat ke sana tersebut masih dalam batas wajar jika dibandingkan dengan populasi kita. Coba lihat negara yang lain, dari Rusia 5.000 orang, dari Belgia 200 orang, dari Australia 200 orang, bandingkan dengan populasi mereka. Jadi kita masih mampu mengendalikan ini dengan baik.
Apa saja yang dilakukan BNPT kepada orang-orang berpaham radikal?
Kami melakukan pendekatan dengan hati. Kami berempati kepada mantan-mantan teroris. Mereka tidak takut senjata. Karena itu, kalau pendekatannya keras, mereka malah akan makin keras. Jadi kami sentuh sisi mereka yang lain, misalnya, keluarganya. Mereka pun jangan dimarginalkan. Lalu kami beri mereka akses ekonomi.
Contohnya?
Misalnya, kami membukakan warung buat mereka. Mau tidak mau mereka akan terlibat secara emosional dengan kami. Tidak mudah menyadarkan mereka. Kami mengidentifikasi tingkat radikalisme mereka, apakah tinggi, menengah, atau rendah. Nah, kami mendatangkan ulama yang tingkatannya di atas mereka. Jangan sampai ulama yang didatangkan tingkatannya di bawah mereka, bisa dimakan. Setelah keluar dari tahanan pun tidak dilepas, tetap dimonitor. Kami serahkan mereka kepada camatnya.
Siapa yang masuk dalam tingkat radikalisme yang tinggi?
Misalnya Abu Bakar Ba’asyir. Dia menolak (program deradikalisasi). Program itu kan bersifat sukarela. Kalau tidak mau, tidak bisa dipaksa. Karena itu, ke depan, penempatan mereka di tahanan tersebut harus dengan cluster. Saat ini ada sekitar 200 teroris yang ditahan di 198 lembaga pemasyarakatan. Itu tidak bagus karena mereka bisa menginfiltrasi tahanan yang lain, bahkan petugas. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pernah bilang kepada saya bahwa banyak petugas yang terinspirasi. Karena itu, lebih baik disentralisasi, tapi dengan cluster.
Bagaimana dengan 18 WNI eks ISIS yang kembali ke Indonesia pada 2017?
Pemahaman mereka juga keras. Dulu salah satu dari mereka yang bernama Mutsanna tidak mau ngomong sama sekali. Tapi, bongkar-pasang senapan AK-47, ia bisa tutup mata. Padahal usianya masih 14 tahun. Nah, kita dekati dia, dimasukkan ke BNPT, lalu ke pesantren. Sekarang dia sudah mulai mau bersosialisasi.
Anda dekat dengan banyak mantan teroris. Adakah perbedaan antara eks kombatan Afganistan dan Suriah?
Eks Afganistan itu kan Jamaah Islamiyah atau Al-Qaidah. Musuh mereka adalah Amerika dan sekutunya. Mereka pun tidak punya daerah teritorial. Kalau ISIS, musuh mereka adalah siapa pun yang berlawanan dengan mereka. Mereka juga punya daerah teritorial. Karena itu, dulu Indonesia hampir menjadi pusat ISIS di Asia Tenggara, khususnya di Sulawesi Tengah.
Apa perbedaan penanganannya?
Kalau ISIS, kita harus lebih berhati-hati dan teliti karena pahamnya adalah punya daerah teritorial.
Setelah ISIS tumbang di daerah pertahanan terakhirnya, Baghuz, beberapa pihak khawatir sel-sel tidur ISIS di berbagai negara lain bangkit. Bagaimana pemantauan BNPT?
Kita tidak boleh underestimate dengan sel-sel tidur itu. Bukan hanya ISIS, tapi juga paham lain. Karena itu, kami memonitor semuanya. Sel-sel tidur itu bisa tiba-tiba bangkit kalau suasananya tidak kondusif. Nah, yang paling berbahaya adalah penyebaran paham semacam itu lewat media sosial.
Seusai pemilihan presiden 2019, apakah sel-sel tidur itu makin aktif?
Itu adalah wilayah politik. Sebenarnya mereka tidak punya jalur ke sana. Tapi yang kami khawatirkan adalah kemungkinan bahwa mereka akan mengganggu pesta demokrasi. Jadi kami memonitor kelompok-kelompok itu dan juga mantan-mantan teroris. Satu hal yang menggembirakan, saat kerusuhan 21-22 Mei itu, beberapa mantan teroris menelepon saya dan bilang, “Pak, kami ikut Bapak, kami NKRI.”
SUHARDI ALIUS
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 10 Mei 1962 | Pangkat: Komisaris jenderal polisi | Pendidikan: Akademi Kepolisian (1985) | Karier: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (2016-sekarang), Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (2015-2016), Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (2013-2015), Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat (2013), Kepala Divisi Humas Kepolisian RI (2012-2013), Wakil Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (2011-2012), Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (2010-2011)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo