Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang pukul sepuluh malam. Empat orang menyusuri sebuah kompleks makam di Kelurahan Panggung, Tegal, Jawa Tengah, Sabtu, 18 Mei lalu. Setelah berjalan sekitar 50 meter dari masjid di area kompleks, mereka memasuki sebuah bangunan berukuran 4 x 4 meter yang berisi dua makam. Tempo ikut bersama empat orang itu. Saat semua orang sudah masuk ke bangunan makam, seorang ustad—satu di antara empat orang itu—meminta lampu dimatikan. Lalu sang ustad mulai membaca doa dan ayat-ayat Al-Quran.
Tak lama berselang, ustad tersebut meminta tiga orang lainnya memanjatkan hajat masing-masing di depan makam. Sesekali sang ustad menyebut nama Mbah Panggung. “Mbah Panggung, anta waliyullah. Mbah Panggung, anta waliyullah,” katanya. Ritual selama sekitar setengah jam itu kemudian ditutup dengan pembacaan doa yang disusul menyalanya lampu bangunan makam.
Mbah Panggung adalah orang yang dikuburkan di salah satu makam dalam bangunan itu. Dikenal juga dengan nama Sayyid Syarif Abdurrahman, Mbah Panggung atau Sunan Panggung adalah ulama yang menyebarkan ajaran Islam di Tegal. Ia hidup pada masa Kesultanan Demak (1475-1548). Babad Cirebon, yang dikutip George Quinn, menyebut Sunan Panggung sebagai putra Sunan Kalijaga. Namun, menurut sejarawan Brebes, Wijanarto, Mbah Panggung adalah salah satu anak Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Ibunya Dewi Murdi Ningrum asal Campa, negeri di kawasan Indocina. “Mbah Panggung memiliki pertalian yang sangat lekat dengan Raden Patah di Demak,” ujarnya. Raden Patah adalah pendiri Kesultanan Demak yang juga salah satu anak Brawijaya V.
Makam Mbah Panggung berdampingan dengan kuburan yang diyakini sebagai pusara istrinya. Batu nisan kedua makam itu dibalut kain beludru berwarna hijau. Di atas makam, ada kain kelambu putih yang bisa dibuka kapan saja. Bukan cuma makam Mbah Panggung dan istrinya yang berada di kompleks itu. Ada tujuh kuburan lain yang disebut-sebut sebagai pusara keluarga dan kerabat Mbah Panggung di sebuah bangunan berbeda di area kompleks makam. Selain itu, ada ratusan kuburan yang mengelilingi makam Mbah Panggung dan istrinya. Makam-makam itu berisi jasad orang terdekat dan keturunan Mbah Panggung.
Setiap malam saat Ramadan, para peziarah rutin menggelar ritual itu—yang oleh masyarakat setempat disebut tahlilan—di makam Mbah Panggung. Di luar Ramadan, tahlilan hanya dilakukan setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon. Juru kunci makam, Hasbi, mengatakan para peziarah datang dari berbagai kota. “Paling ramai malam Jumat Kliwon. Bisa sampai seratus orang lebih,” ucap pria 42 tahun itu.
Di Sumenep, Madura, Jawa Timur, makam Pangeran Jimat juga rutin dikunjungi peziarah. Pangeran Jimat, yang dikenal pula dengan nama Raden Ahmat, memimpin Kadipaten Sumenep pada 1721-1744. Makam Pangeran Jimat berada di Asta Tinggi, sebuah kompleks makam khusus keluarga Kerajaan Sumenep. Lokasinya di puncak bukit Desa Kebunagung, sekitar 30 menit sebelah barat pusat Kota Sumenep. Pusara Pangeran Jimat diapit dua makam adik perempuannya, Rato Ari atau Raden Ayu Arya Adipati Saccadiningrat dan RA Wirawangsa. Ketiga makam itu berada di satu cungkup yang sama.
Di depan ketiga makam tersebut ada dua kuburan kecil yang dipercaya sebagai pusara dua orang kerdil yang menemani keseharian Pangeran Jimat. Pangeran Jimat hidup membujang sepanjang hidupnya. Menurut Ketua Yayasan Penjaga Asta Tinggi, R.B. Roeska Pandji Adinda, Pangeran Jimat memilih membujang lantaran merupakan ahli tirakat. “Tirakat itu menjauh dari hal-hal keduniaan, termasuk menjauhi wanita.” Kendati rutin dikunjungi, makam Pangeran Jimat terhitung sepi peziarah saat Ramadan. Menurut Roeska, kurang-lebih hanya seratus orang per hari yang berziarah selama bulan puasa. Padahal, pada bulan lain, jumlah peziarah bisa mencapai 5.000 orang per hari. “Terutama pada bulan Maulid (Rabiulawal),” tuturnya.
Makam Ki Boncolono di puncak Bukit Maskumambang, Desa Pojok, Kediri, Jawa Timur./ Adhi Kusumo
Tak berbeda dengan dua makam sebelumnya, kuburan Mbah Jugo di lereng Gunung Kawi, Desa Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, kerap didatangi peziarah. Mbah Jugo juga dikenal dengan nama Kiai Zakaria II. Ia dianggap sebagai anak Kiai Zakaria I, ulama besar keraton Solo. Ketika Tempo mendatangi makam itu pada pertengahan Mei lalu, terlihat sejumlah orang Tionghoa tengah berziarah. Kuncen makam, Iwan Suryandoko, memimpin doa menggunakan bahasa Jawa dan Arab. Sementara itu, peziarah Tionghoa berdoa sesuai dengan agama dan keyakinannya. “Kami memandu sesuai dengan keyakinan kami. Tak ada masalah,” ucap pria 45 tahun itu.
Tak banyak peziarah yang datang ke makam Mbah Jugo saat Ramadan. Hanya beberapa orang Tionghoa dan penduduk lokal yang berziarah. Di luar Ramadan, makam Mbah Jugo ramai pengunjung. Peziarah paling banyak datang setiap Jumat Legi atau bulan Sura menurut penanggalan Jawa. Banyak juga yang datang saat Ahad malam.
Harianto, peziarah asal Jember, Jawa Timur, mengungkapkan, ia mendatangi makam Mbah Jugo untuk berdoa agar pekerjaan dan usahanya selalu lancar. Ia telah lima kali berziarah ke makam itu untuk bertawasul agar rezekinya tak seret. “Kami berdoa kepada Allah. Ziarah ini perantara saja,” katanya. Agus Subiyanto, warga Desa Wonosari, mengatakan kampungnya pernah mendapat seekor sapi sumbangan seorang peziarah makam Mbah Jugo. “Biasanya peziarah yang berhasil atau rezekinya lancar memang bernazar untuk bersedekah.”
Di Kediri, Jawa Timur, makam Ki Boncolono di puncak Bukit Maskumambang, Desa Pojok, juga tak pernah sepi peziarah. Lokasi makam Ki Boncolono masuk kawasan obyek wisata Gua Selomangleng. Selain makam Ki Boncolono, di puncak bukit itu terdapat kuburan Tumenggung Poncolono dan Tumenggung Mojoroto—keduanya sahabat Ki Boncolono. Ketiganya berada di bawah rimbunnya pohon bendo yang diperkirakan berusia sangat tua. Setiap nisan makam itu terbungkus kain putih yang mulai kumal. Di dekat makam, tersisa sesajen yang agaknya baru ditinggalkan peziarah, lengkap dengan bunga-bunga yang masih segar.
Juru kunci makam, Mbah Darno, menyebutkan pusara Ki Boncolono paling sering dikunjungi peziarah setiap Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, dan Jumat Legi. Menurut dia, banyak pejabat yang ingin naik pangkat, pedagang yang ingin barang dagangannya laris, atau orang yang punya banyak utang, ingin sembuh dari sakit, serta mencari jodoh datang ke pusara Ki Boncolono. Mbah Darno mengklaim, hajat para peziarah itu selalu terwujud. Dia pernah menyaksikan sendiri tiga pemuda datang menggunakan sepeda motor ke makam beberapa bulan lalu. “Mereka bilang ingin kehidupannya lebih baik,” ujarnya.
Dua kali rombongan pemuda itu berziarah. Pada kesempatan ketiga, perubahan tampak. Mereka sudah mengendarai mobil, tak lagi menggunakan sepeda motor. Kepada Mbah Darno, ketiganya mengaku sudah memiliki bisnis angkutan truk. “Mereka datang lagi untuk syukuran dengan membawa seekor ayam ingkung (ayam utuh yang dimasak),” katanya. Anehnya, menurut dia, “keberuntungan” itu tak berlaku bagi warga sekitar makam. Bahkan Mbah Darno, yang setiap hari menjaga makam, selalu gagal ketika mengajukan permintaan kepada Ki Boncolono agar kehidupannya membaik. “Enggak tahu kenapa saya yang minta sejak dulu enggak pernah dikabulkan,” tuturnya. “Hidup saya sejak dulu ya begini-begini saja.”
Sejarawan Kediri, Achmad Zainal Fachris, menganggap kisah Ki Boncolono hanyalah fiksi yang hidup di tengah masyarakat Kediri sejak dulu. “Dalam sejarah, tidak pernah ada kisah Ki Boncolono. Bisa jadi itu adalah makam seseorang yang kemudian diklaim sebagai makam Ki Boncolono,” tuturnya.
PRIHANDOKO, IRSYAM FAIZ (TEGAL), MUSTHOFA BISRI (SUMENEP), EKO WIDIANTO (MALANG), HARI TRI WASONO (KEDIRI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo