Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NOTIFIKASI di aplikasi membuat ciut juga. Terpampang suhu siang itu di Harbin mencapai minus 20 derajat Celsius, jauh lebih dingin dari suhu normal freezer kulkas. Saya tiba di ibu kota Provinsi Heilongjiang, yang terletak di pinggir selatan Sungai Songhua, timur laut Cina, itu pada 4 Januari lalu. Saat itu musim dingin tengah menyergap satu di antara lima kota paling dingin sejagat tersebut. Bagi saya, yang 15 tahun terakhir tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, berada di Harbin dengan suhu anjlok di bawah nol derajat Celsius ibarat menjalani uji nyali—berbeda tipis dengan menyiksa diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana tidak, suhu sehari-hari di Makassar berkisar 33-35 derajat Celsius. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika bahkan mencatat suhu kota ini mencapai 38,2 derajat Celsius pada Oktober tahun lalu, yang membuat Makassar menjadi daerah terpanas se-Indonesia ketika itu. Tentu, sebagai orang tropis, saya sudah membekali diri dengan “peralatan tempur” sebelum tiba di kota paling utara di Cina itu. Ada setelan panjang long john, celana khusus untuk musim dingin, juga syal, kupluk, sarung tangan, dan jaket tebal berbahan bulu angsa. Berbekal barang-barang itu, saya semula lumayan jemawa bisa menaklukkan Harbin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun saya menyesali optimisme berlebihan itu ketika merasakan sendiri serangan dingin di kota seluas 53.068 kilometer persegi tersebut. Saya berangkat ke kota itu pada 3 Januari lalu dengan rute penerbangan Jakarta-Harbin via Shanghai atas undangan China Radio International (CRI)—seperti Radio Republik Indonesia di sini. Saya diundang bersama seorang wartawan Indonesia lain. Bersama kami juga ikut 18 tamu undangan yang berasal dari berbagai negara.
Bangunan es raksasa di kawasan Ice and Snow Grand World saat perhelatan The 36th Harbin International Ice and Snow Festival 2020 di Kota Harbin, Provinsi Heilongjiang, Cina, 5 Januari lalu. Hariandi Hafid
Begitu saya keluar dari Bandar Udara Internasional Taiping Harbin, lutut terasa seperti kram seketika. Hawa dingin menjalar dengan cepat sampai membuat darah seperti berhenti mengalir, menusuk-nusuk tulang, hingga membuat saya seolah-olah disergap. Susah sekali bergerak. Wajah terasa menebal seketika, bibir kering, dan bernapas pun rasanya begitu berat. Saya terakhir kali bersua dengan udara dingin dua tahun lalu, saat datang ke Lorentz, Papua. Namun ini berbeda. Walau saya sudah mengenakan long john dan sepatu tebal, efek kaku di tubuh sungguh tak terhindarkan. Bila setelan tebal ini saja bisa mudah ditembus udara dingin, bagaimana nasib saya malam nanti?
Tapi kecemasan yang berlapis-lapis ini muncul bersamaan dengan rasa penasaran ingin melihat festival akbar yang menjadi salah satu andalan pariwisata kota tersebut, yakni Harbin International Ice and Snow Sculpture Festival, yang salah satu acaranya berupa kompetisi membuat patung salju. Pamor acara ini disebut-sebut tak kalah dibanding festival sejenis, seperti Sapporo Snow Festival di Jepang, Quebec Winter Carnival di Kanada, dan Ski Festival di Norwegia.
Tahun ini, kompetisi tahunan yang sudah 25 kali digelar itu mengambil tema “Ice snow integration, happy to go together”. Berlangsung 5 Januari-20 Februari 2020, festival es inilah yang kemudian dipamerkan tim CRI. “Acara ini kami gadang-gadang menjadi festival musim dingin terbesar di dunia,” kata jurnalis perempuan CRI yang mendampingi kami, Kang Wanying.
Bangunan es raksasa di kawasan Ice and Snow Grand World. Hariandi Hafid
Karen, begitu Kang Wanying meminta kami menyapanya, menjelaskan bahwa acara megah tersebut dihelat sejak 1986 dengan nama Harbin Ice and Snow Festival. Pergelaran itu berlatar budaya lentera tradisional Heilongjiang yang berlangsung sejak 1963. Saban kali festival berlangsung, warga berlomba membuat lentera dari es batu dengan menuangkan air ke dalam ember. Saking dinginnya udara di sana, air di ember membeku dan tercetak menjadi lentera. “Di dalam lentera itulah warga biasa menaruh lilin dan menjadikannya dekorasi di luar rumah,” tuturnya.
Nama festival mulai diimbuhi kata “international” dalam pergelaran ke-17 pada 2001. Saat itu, festival berlangsung bersamaan dengan kejuaraan ski internasional Heilongjiang ketiga. “Sejak itulah emblem internasional ditambahkan ke nama festival es di Harbin,” ujar Karen.
Festival Harbin tak ubahnya Wonderland dengan istana es yang indah. Festival ini berlangsung di tiga area utama, yaitu Sun Island Snow Sculpture, Ice and Snow Grand World, dan Taman Zhaolin. Ketiganya memamerkan atraksi berbeda. Di Sun Island, kita disuguhi sejumlah patung es dan salju dalam berbagai bentuk. Primadonanya tentu patung-patung raksasa yang digarap tukang pahat dari sejumlah negara. Hingga tulisan ini diturunkan, Sun Island masih memegang rekor dunia sebagai pemilik patung es terbesar. Torehan itu dicatat pada 2007 lewat patung berjudul Romantic Feelings. Karya tersebut membentang sepanjang 250 meter dengan tinggi 35 meter.
Pahatan es di salah satu sudut Kota Harbin, Provinsi Heilongjiang, Cina. Hariandi Hafid
Setiap patung umumnya digarap satu tim yang terdiri atas puluhan hingga ratusan orang. Lama pengerjaan bergantung pada tingkat kerumitan dan ukuran patung. Pada tahun ini, sebanyak 28 tim dari sepuluh negara ikut bertarung dalam kompetisi pada 10-13 Januari lalu. Indonesia, yang beriklim tropis, tak mau ketinggalan mengirim wakil. Dua tim berlomba, dan semuanya menjadi juara di kategori berbeda. Tim Indonesia 1, yang dipimpin I Nyoman Sungada, memenangi kategori Best Skill dengan patung salju bertema pengantin Bali. Adapun tim Indonesia 2 pimpinan I Ketut Suaryana menjadi juara kategori Excellent dengan patung garapan mereka, Frog Surfing. Selama tiga setengah hari mereka bekerja merampungkan karya pahatan dan ukiran di balok salju berukuran 3 x 4 meter.
Memandangi pahatan-pahatan di area Sun Island, kawan serombongan saya, Bilal Sabri, tak henti berdecak kagum. “Melihat mereka bertahan dengan cuaca sangat dingin ini saja sudah membuat saya takjub. Terlebih sampai merayakannya dengan membuat festival sebesar ini,” ucap pria asal Pakistan itu.
Adapun di arena Ice and Snow Grand World, pengunjung bisa bertualang ke kota es. Sebutannya begitu karena hampir seluruh bangunan berbentuk istana ini dibikin dari es dan salju. Saya jadi teringat pada istana bikinan Elsa dalam film animasi Disney, Frozen. Waktu terbaik untuk mengunjunginya adalah malam karena istana itu akan diterangi lampu berwarna-warni. Di dalamnya kita bisa menjajal sejumlah wahana, seperti perosotan es sepanjang 200 meter, atau berkeliling istana dengan kereta dan sepeda khusus salju.
Kawasan Zhongyang Street, Kota Harbin, Provinsi Heilongjiang, Cina. Hariandi Hafid
Menurut Karen, pembangunan kawasan ini baru dimulai beberapa bulan sebelum festival berlangsung. Sekitar 10 ribu pekerja dikerahkan untuk mengangkut, memotong, serta memahat es di area seluas 600 ribu meter persegi. “Instalasi ini membutuhkan sekitar 110 ribu meter kubik es dan 120 ribu meter kubik salju,” ujarnya.
Yang juga membetot perhatian adalah pertunjukan di Taman Zhaolin. Di sana, kita dapat melihat lampion-lampion es yang cantik untuk dijadikan latar swafoto. Namun, bila ingin menjajal aktivitas yang ekstrem, ada banyak opsi yang bisa kita pilih. Ada karnaval es dan salju, berseluncur, berlayar, hoki es, sepak bola es, ski, memancing, berenang, juga sederet acara seni, seperti pameran lukisan dan kaligrafi serta pertunjukan tari. “Data menyebutkan ada 15 juta wisatawan lokal ataupun luar negeri yang datang ke festival ini tiap tahun,” kata Karen.
•••
DIBANDING kota berselimut es lain, Harbin tergolong unik karena jumlah populasinya. Sementara kota dingin di dunia seperti Novosibirsk di Rusia dan Winnipeg di Kanada hanya diisi 1-2 juta jiwa, Harbin dihuni 10 juta jiwa, yang didominasi kelompok etnis Han. Kota ini terlihat modern dengan gedung-gedung yang menjulang dan sistem transportasi yang terintegrasi dengan baik. Itu yang membuat Harbin berjulukan kota metropolitan terdingin sedunia.
Sebutan itu bukan kiasan. Sebab, di wilayah bekas jajahan Rusia ini, temperatur pada siang hari mencapai minus 13-30 derajat Celsius. Suhu itu dipengaruhi lokasi Harbin, yang mendapat embusan udara dingin yang kering dari Siberia. Saat musim dingin, matahari biasa terbit pada pukul 07.10 dan terbenam sekitar pukul 16.30. Sedangkan saat musim panas, Karen menjelaskan, suhu kota itu sekitar 21,2 derajat Celsius. “Namun kondisi itu hanya berlangsung singkat. Selebihnya, salju bisa turun lima-enam bulan selama setahun,” katanya.
Hariandi Hafid
Sejumlah literatur mengungkapkan bahwa dulu Harbin dibangun untuk mendukung pembangunan jalur kereta api Cina bagian timur. Kemudian, lambat-laun kota ini menjelma menjadi permukiman pekerja jaringan kereta. Pada awal abad ke-20, Harbin kian ramai. Orang Rusia banyak yang tinggal di sini, membaur dengan penduduk lokal. Tak aneh bila di Harbin kita akan berjumpa dengan bangunan dan sajian kuliner khas Negeri Beruang Merah itu.
Menurut Karen, salah satu area yang kental dengan sentuhan Rusia adalah Zhongyang Street. Kawasan itu bahkan dijuluki Moscow Oriental. Sebab, di sana berdiri bangunan-bangunan bergaya arsitektur khas Eropa, terutama Rusia. Hal ini menjadi daya tarik bagi pelancong yang menggemari arsitektur dan seni. Bangunan itu tak hanya berfungsi sebagai toko, tapi juga menjadi warung sajian kuliner. Contohnya es krim—ya, mereka masih mengudapnya di tengah suhu dingin—sosis bakar, sate buah, dan camilan lain.
Destinasi ini memang menarik. Di sisi kanan-kiri jalan sepanjang 1,4 kilometer dan selebar 21,34 meter di kota ini, saya terpukau melihat paduan dua budaya. Kekhasan Harbin hadir lewat pahatan es dalam berbagai rupa yang ditaruh di pinggir jalan. Petang di sini pun sangat menyenangkan. Lampu-lampu hias yang digelantungkan di pepohonan membuat jalan lebih semarak. Bagi saya, yang menyenangi fotografi jalanan, yang tersuguh di Moscow Oriental seperti berkah, walau tempat itu menjadi jalanan dan ruang potret terdingin yang pernah saya telusuri sejauh ini.
HARIANDI HAFID, KONTRIBUTOR TEMPO (HARBIN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo