Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Bagaimana Heidelberg menjadi Kota Sastra dan Seni

Jejak sastra dan seni terpatri di sekujur sudut Heidelberg. Bukan sekadar kota tujuan wisata yang bersifat turistik.

30 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK awal April 2024, saya berada di Jerman untuk mengikuti program residensi penulis selama tiga bulan yang diorganisasi UNESCO City of Literature Heidelberg bekerja sama dengan Kulturstiftung Rhein-Neckar-Kreis. Selama program itu berjalan, saya tinggal di Kommandantenhaus, Dilsberg, sekitar 13 kilometer dari Heidelberg, dan sesekali melancong ke Heidelberg untuk mengadakan riset di perpustakaan atau sekadar membeli bahan makanan untuk dimasak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski bukan kota besar, Heidelberg adalah kota kosmopolitan. Sekitar 20 persen dari 150 ribu penduduknya berasal dari luar negeri, terutama para mahasiswa Heidelberg University atau Ruperto Carola yang berdiri sejak abad ke-13—tertua di Jerman dan nomor dua di Eropa setelah Charles University di Praha, Republik Cek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Heidelberg menjadi satu dari dua kota di Jerman yang menyandang predikat UNESCO City of Literature. Heidelberg mendapat predikat itu setelah melalui seleksi ketat pada 2014. Artinya, tahun ini genap sepuluh tahun. Sementara itu, Bremen baru memperoleh predikat prestisius tersebut tahun lalu.

UNESCO City of Literature adalah bagian dari jejaring lebih luas yang disebut UNESCO Creative Cities Network dan dibentuk pada 2004 untuk mempromosikan kerja sama berbagai kota di dunia dengan mengedepankan kreativitas sebagai faktor strategis dalam pembangunan kota yang berkelanjutan.

Beberapa kota di Indonesia merupakan bagian dari jejaring internasional ini, antara lain Ambon (City of Music), Surakarta (City of Crafts and Folk Arts), dan Jakarta (City of Literature). Sebagai City of Literature, Jakarta baru bergabung pada 2021 dan merupakan satu-satunya di Asia Tenggara. Saat ini terdapat 53 City of Literature di 39 negara.

Saya terpilih sebagai peserta tunggal residensi penulis di Heidelberg tahun ini dari 55 peminat dari berbagai negara. Program yang diumumkan terbuka melalui jejaring City of Literature di seluruh dunia ini diselenggarakan setiap dua tahun sejak 2018, kecuali pada 2022 karena saat itu dunia masih dirundung pandemi.

Heidelberg layak terpilih menjadi City of Literature (Kota Sastra). Kota ini memiliki jejak historis ratusan tahun yang lekat dengan sastra dan buku. Di perpustakaan Heidelberg University yang menjadi persemaian pemikiran selama berabad-abad, misalnya, tersimpan banyak koleksi berharga, antara lain Codex Manesse—artefak yang tersisa dari Bibliotheca Palatina. Bibliotheca Palatina yang cikal-bakalnya terdapat di Heiliggeistkirche, gereja terbesar di Heidelberg, merupakan perpustakaan terpenting zaman Renaisans Jerman yang didirikan pada 1430-an. Koleksinya mencapai sekitar 5.000 buku cetak dan 3.524 manuskrip. Dalam perang 30 tahun antara kaum Katolik dan Protestan, Heidelberg dihancurkan oleh pasukan Katolik, lalu koleksi perpustakaan diboyong ke Vatikan sebagai rampasan perang pada 1622.

Saya sempat mengunjungi gereja historis yang terletak di jantung Kota Tua, lalu menyaksikan Codex Manesse yang dipajang dalam kotak kaca di perpustakaan Heidelberg University.

Selain itu, di berbagai penjuru kota terdapat banyak toko buku, perpustakaan, museum, tempat pementasan teater, dan ruang aman untuk diskusi sastra. Saya mengunjungi beberapa di antaranya, misalnya Deutsch-Amerikanisches Institut (DAI) International Library di Sofienstraße yang memiliki koleksi ribuan buku sastra berbahasa Inggris.

Pada 3 Juni 2024, saya tampil di sana, berdiskusi dan membaca petikan buku cerpen saya yang dipilih Tempo sebagai salah satu buku sastra terbaik 2023, Nostalgia: Kisah-kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta, bersama Jutta Wagner (Direktur DAI) dan Claudia Kramatschek dari Heidelberg City of Literature. Di tempat itu kerap diadakan diskusi karya sastra. Salah satunya diskusi bersama novelis Jerman terkemuka saat ini, Saša Stanišić, yang dijadwalkan tampil pada 7 Juli 2024.

Di kota ini diselenggarakan pula festival sastra internasional tahunan secara teratur, yakni FeeLit Heidelberg International Literary Festival, yang tahun ini digelar pada 20-30 Juni. Saya dijadwalkan tampil pada 27 Juni dalam satu sesi tentang sastra Indonesia bersama Laksmi Pamuntjak. Ada lebih dari 30 penulis internasional yang diundang. Di antaranya Gerbrand Bakker (Belanda), Irene Vallejo (Spanyol), dan Adeline Dieudonné (Belgia).

Pembacaan karya dan diskusi di Deutsch-Amerikanisches Institut dalam program residensi penulis yang diselenggarakan Heidelberg City of Literature, Juni 2024. Foto: Dorothea Burkhardt

Secara statistik, Heidelberg memiliki rasio literasi yang tinggi. Untuk setiap 10 ribu warga terdapat 1,3 penerbit buku dan 1,5 toko buku. Perpustakaan Umum Kota atau Stadtbücherei memiliki 220 ribu judul buku dan pada 2010 catatan angka peminjamannya mencapai 1,16 juta. Sementara itu, dengan tingkat peminjaman hampir 2 juta setahun, perpustakaan Heidelberg University merupakan perpustakaan kampus yang paling banyak dikunjungi di Jerman.

Minat baca penduduk Heidelberg tampaknya memang cukup tinggi. Saat naik kendaraan umum, misalnya bus atau kereta, saya sering melihat orang membaca buku. Seorang wanita pengemudi bus bernomor jurusan 753, yang kerap membawa saya pulang ke Dilsberg, satu kali saya pergoki sedang membaca novel saat menunggu bus berangkat.

Di sejumlah sudut kota, saya menemukan rak buku terbuka yang bebas diakses oleh siapa saja. Salah satunya saya temukan di satu lorong Kota Tua. “Ini bukunya boleh kita ambil,” kata Hamzah Fansuri, mahasiswa Heidelberg University asal Indonesia, saat kami melintas menuju sebuah toko yang menyediakan bahan makanan khas Asia.

Selain melakukan riset pustaka di perpustakaan pusat Heidelberg University di Kota Tua, saya mengunjungi perpustakaan Center for Asian and Transcultural Studies (CATS) di Bismarckplatz. Koleksi perpustakaan lima lantai itu sangat menarik, terutama buku-buku tentang Asia Selatan. Terdapat satu rak khusus untuk buku-buku Indonesia di lantai bawah tanah, di antaranya novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer terbitan 1950-an. Sayangnya, tak seperti koleksi buku sastra India, misalnya, buku-buku Indonesia di perpustakaan ini ketinggalan zaman. Nyaris tak ada buku terbitan mutakhir.

Di CATS kerap diadakan diskusi dengan mengundang intelektual atau penulis ternama Asia. Yan Lianke, pengarang Tiongkok yang kerap disebut sebagai kandidat pemenang Hadiah Nobel Sastra, tampil di sana pada Mei 2024.

Predikat Kota Sastra yang tak mudah diraih tentu saja bukan sebagai status atau prestise belaka. Namun ini perlu dilanjutkan dengan program-program menarik yang menunjang perkembangan sastra dan iklim kreatif sebagai modal budaya warga. Semua itu membutuhkan dukungan dan pendanaan yang berkesinambungan dari pemerintah kota.

Saat diundang menghadiri pertemuan tahunan para pegiat sastra Heidelberg yang berlangsung di Rathaus (Balai Kota), saya menyaksikan sendiri para pemangku kepentingan sastra di sana antusias berkolaborasi membahas program-program bersama demi keberlanjutan Heidelberg sebagai UNESCO City of Literature.

“Predikat ‘Kota Sastra UNESCO’ saat ini merupakan penghargaan internasional tertinggi bagi Heidelberg. Namun ini juga lebih dari sekadar label. Ini adalah mandat untuk terus menumbuhkan dan mendukung keberagaman serta keunikan lanskap sastra Heidelberg,” tutur Andrea Edel, Direktur UNESCO City of Literature Heidelberg, saat menjawab pertanyaan saya tentang makna status kota sastra.

Lebih lanjut, Edel menyatakan dukungan pemerintah kota berperan penting. “Kota Sastra Heidelberg didukung secara finansial oleh pemerintah kota dan menerima anggaran tahunan sebagai bagian dari anggaran kota. Anggaran ini memungkinkan kami dapat memberikan biaya yang layak kepada para sastrawan dan merealisasi program-program melalui dana hibah,” ujarnya.

Saya membayangkan hal semacam itu juga bisa terwujud di Jakarta.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kota Sastra di Tepi Sungai Neckar "

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus