Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH lebih dari dua bulan kompetisi sepak bola di Indonesia, BRI Liga 1, musim 2022/2023 terhenti. Presiden Joko Widodo meminta perbaikan menyeluruh infrastruktur seusai Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang pada 1 Oktober lalu. Chief Executive Officer Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang (PSIS), klub sepak bola, Yoyok Sukawi mengeluhkan ketidakpastian bergulirnya kompetisi telah membuat klub menanggung kerugian finansial. Klub berjulukan Laskar Mahesa Jenar itu, menurut Yoyok, mengalami defisit keuangan sebesar Rp 15 miliar selama kompetisi berhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengeluaran yang lebih besar dari pemasukan itu meliputi biaya untuk menggaji pemain, pelatih, dan ofisial. “Padahal kompetisi enggak jalan, berarti tidak ada pemasukan dari tiket penonton. Sponsor juga menahan pencairan uang,” kata Yoyok saat ditemui Tempo di Jakarta, Rabu, 23 November lalu. Ia menambahkan, jika kompetisi Liga 1 Indonesia akan dilanjutkan, sebaiknya digelar dengan penonton. Menurut Yoyok, sekitar 80 persen klub sepak bola Liga 1 bersandar pada pendapatan dari penjualan tiket pertandingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yoyok, yang juga anggota Komite Eksekutif Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), pendapatan untuk klub seperti PSIS Semarang dari pertandingan berkisar Rp 1-2 miliar. Pendapatan dari tiket dan sponsor itu bisa mendanai operasi klub berkisar 80-90 persen selama semusim. “Tergantung level pertandingan. Untuk PSIS itu paling besar Rp 2 miliar lebih ketika big match. Kalau kayak Persija, jika main di Gelora Bung Karno, sekali main bisa dapat sampai Rp 7 miliar,” tutur anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Demokrat ini.
Yoyok, yang mempunyai nama lengkap A.S. Sukawijaya, menjelaskan, klub besar seperti Persija Jakarta dan Persib Bandung bisa menanggung kerugian Rp 15-20 miliar imbas terhentinya kompetisi. Angka itu meliputi biaya untuk menggaji pemain berlabel bintang, seperti Michael Krmenčík (Persija) dan Marc Klok (Persib). “Gaji pemain itu jutaan dolar. Apalagi pelatih Persija, Thomas Doll, gajinya juga jutaan dolar. Kalau dikonversi ke rupiah bisa berapa miliar jadinya,” ucap Yoyok, yang bertugas di Komisi X yang membidangi olahraga.
Ihwal nasib Liga 1 dan Liga 2, kata Yoyok, jika persyaratan kelayakan dan keamanan infrastruktur stadion belum bisa dipenuhi, sebaiknya kompetisi dihentikan sambil menunggu perbaikan dan renovasi semua stadion klub peserta liga. “Jika (kompetisi) dihentikan, klub bisa mengaktifkan klausul force majeure sehingga kontrak pemain bisa diputus dengan hanya membayar satu bulan gaji,” ujarnya. “Kalau kondisi kayak begini terus, kami harus menombok Rp 3-5 miliar dalam sebulan.”
Selain kehilangan pendapatan dari tiket penonton, Yoyok menyebutkan, semua klub tidak mendapat pembayaran dari sponsor. Ia memberi contoh klubnya yang memiliki 14 sponsor tidak mencairkan dana kerja sama hingga kompetisi kembali bergulir. “Jadi kami harus menalangi. Kalau klub Liga 1 dan Liga 2 masih punya dana talangan karena biasanya pemiliknya pengusaha, tapi kasihan klub Liga 3 yang masih berstatus pelat merah. Karena kompetisi tidak jalan, mereka sebagian besar merumahkan pemain tanpa gaji,” tutur Yoyok.
Yoyok menambahkan, klub harus kehilangan pendapatan dari pembagian hak siar dari PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator pertandingan. Untuk musim 2022/2023, PT LIB mengucurkan dana Rp 5,5 miliar untuk tiap klub. Pembayaran dilakukan setiap bulan, yakni sebesar Rp 550 juta. “Dana itu dibayarkan pas ada pertandingan. Karena tidak ada pertandingan, jadi tidak bisa dicairkan oleh pemegang hak siar,” ucapnya.
Pemegang hak siar BRI Liga 1 musim 2022/2023 adalah Elang Mahkota Teknologi (Emtek) Group. Sejak tahun lalu dan musim tahun depan, Emtek Group memegang kontrak hak siar. Selama ini tak pernah ada penjelasan resmi dari PSSI, PT Liga Indonesia Baru (operator Liga 1), atau Emtek Group tentang nilai kontrak hak siar tersebut. Dalam laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kasus Kanjuruhan terungkap jumlah nilai kontrak tersebut dari wawancara dengan pihak PT LIB dan Indosiar yang dilakukan secara terpisah.
Dalam laporan TGIPF disebutkan nilai kontrak PT LIB dengan stasiun TV Indosiar mencapai Rp 230 miliar. Nilai tersebut meliputi hak untuk menayangkan 306 pertandingan Liga 1. Laporan itu juga menyebutkan ihwal penalti yang diterima PT LIB bila ada perubahan jadwal. Tempo mengkonfirmasi Emtek Group dengan menghubungi dan mengirimkan pesan WhatsApp kepada Harsiwi Achmad, Director of Programming Surya Citra Media, serta Annisa Rizky Amalia, Program Communication SCTV dan Indosiar. Sampai Sabtu malam, 3 Desember lalu, keduanya belum merespons.
Saat dimintai konfirmasi secara terpisah mengenai hak siar BRI Liga 1 musim 2022/2023, baik Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan, Sekretaris Jenderal PSSI Yusri Nusi, maupun Wakil Sekretaris Jenderal PSSI Maaike Ira Puspita memberikan jawaban yang seragam. “Boleh tanya langsung ke Direktur Utama PT LIB Pak Ferry Paulus,” ujar Iriawan melalui pesan WhatsApp, Sabtu, 3 Desember lalu.
Direktur Utama PT LIB Ferry Paulus dan Direktur Operasional PT LIB juga tidak menjawab panggilan telepon Tempo. Pertanyaan melalui pesan WhatsApp pun tidak dibalas. Ferry hanya mengirimkan keterangan tertulis mengenai terbitnya surat rekomendasi dari kepolisian setempat untuk melanjutkan kompetisi Liga 1 musim 2022/2023 dengan sistem bubble. Pertandingan akan dimulai pada 5 Desember 2022 dan digelar di Stadion Sultan Agung, Bantul, dan Stadion Maguwoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta; serta Stadion M. Soebroto, Magelang; Stadion Manahan, Solo; dan Stadion Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah.
Pendanaan lain yang didapatkan PSSI dan PT LIB dalam menjalankan kompetisi sepak bola adalah dari sponsor resmi. Sponsor utama kompetisi Liga 1 musim 2022/2023 adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Nilai kerja sama bank pelat merah itu berkisar Rp 100-150 miliar dalam semusim. “Nilainya hampir sama seperti musim kemarin (musim 2021/2022),” tutur Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan ketika menyepakati kerja sama dengan BRI di kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, 19 Juli lalu.
Ihwal nominal sponsor kompetisi Liga 1 juga pernah diungkapkan oleh Edy Rahmayadi saat menjabat Ketua Umum PSSI. Ketika itu Liga 1 musim 2017/2018, yang menggandeng Go-Jek dan Traveloka sebagai sponsor utama, PSSI mendapat kucuran dana sebesar Rp 180 miliar.
Meski hanya memperoleh kucuran dana Rp 5,5 miliar dari PT LIB dari hak siar, Sekretaris Barito Putera, Ainul Ridha, mengatakan pengeluaran klubnya berkisar Rp 30-40 miliar setiap musim. Ia menyatakan pengeluaran itu meliputi gaji pemain dan operasional tim, seperti tiket pesawat untuk laga tandang dan biaya sewa stadion.
Dalam semusim, Ainul menyebutkan hanya mampu memperoleh pendapatan sebesar Rp 20 miliar. Sisanya, kata dia, harus dikeluarkan dari kocek pribadi pemilik klub Barito Putera, Hasnuryadi Sulaiman. “Komposisi (pendapatan klub) dari pemilik 35 persen, tiket penonton 20 persen, kontribusi komersial 8 persen, sponsor 30 persen, merchandise 5 persen, pendapatan lain-lain 2 persen,” ucap Ainul melalui pesan tertulis, Sabtu, 3 Desember lalu.
Walaupun klubnya masih harus mendapat kucuran dana dari pemilik setiap musim, Ainul yakin sepak bola Indonesia berpotensi mendatangkan cuan ketika mampu memaksimalkan semua sumber pendapatan. Menurut dia, potensi itu bisa terwujud jika ada dukungan besar dari pemerintah dalam membangun industri ini. “Kendalanya, minim dukungan pemerintah dan tata kelola sepak bola yang belum baik,” ujarnya.
Mohamad Prapanca, selaku Presiden Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija), menampik saat diminta memberikan detail pendapatan klubnya karena itu rahasia dapur perusahaan. Yang pasti, menurut dia, kisarannya sama dengan umumnya klub-klub Liga 1, yaitu tembus puluhan miliar rupiah. “Untuk pos pengeluaran terbesar adalah kontrak pemain, karena area itu bagian penting dari sebuah klub,” tutur Prapanca melalui jawaban tertulis, Sabtu, 3 Desember lalu.
Menurut Prapanca, beberapa sumber yang jadi pemasukan klub sepak bola adalah dari sponsor, tiket pertandingan, dan merchandise. Selain itu, klub mendapat dana subsidi atau kontribusi komersial dari operator kompetisi. “Karena pengeluaran kami tembus puluhan miliar, tentu pemasukan kami pun mencapai nominal itu. Yang pasti klub harus mencari pemasukan lebih besar dari pengeluaran,” ucapnya. “Kini, bagi klub, aset digital sangat penting karena bisa menjadi salah satu sumber pemasukan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo