Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA pekan sebelum dilantik sebagai presiden, Prabowo Subianto menerima kunjungan dua putri bekas presiden Soeharto. Pada Ahad, 29 September 2024, putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, dan adiknya, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, menyambangi rumah Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dalam pertemuan itu, keluarga Cendana--sebutan untuk keluarga Soeharto--memberi selamat kepada Prabowo yang telah terpilih menjadi presiden. “Benar ada ucapan selamat atas terpilihnya Pak Presiden,” kata Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad kepada Tempo, Jumat, 4 Oktober 2024.
Prabowo didampingi adiknya yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, dan sahabatnya sekaligus bekas Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin. Putra Prabowo dan Titiek Soeharto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo, juga hadir di Kertanegara.
Selain memberi selamat, keluarga Cendana bercerita sudah menerima surat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat. Isinya soal pengkajian ulang nama Soeharto dalam Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan keluarnya surat tersebut, MPR membersihkan nama Soeharto.
“Soal ketetapan MPR, mereka menceritakan ke Pak Prabowo bahwa sudah ketemu dengan Bambang Soesatyo dan pimpinan MPR lain,” ujar Dasco. Bambang Soesatyo, politikus Partai Golkar, adalah Ketua MPR periode 2019-2024.
Hubungan Cendana dengan Prabowo merenggang setelah Soeharto lengser pada Mei 1998. Keluarga Cendana menuding Prabowo, saat itu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR yang memicu mundurnya Soeharto, yang telah 32 tahun berkuasa. Hubungan Prabowo dengan Titiek juga terputus.
Seorang narasumber di lingkaran Istana dan seorang petinggi partai di Koalisi Indonesia Maju menyebutkan bahwa Prabowo pernah menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo soal keluarga Cendana yang belum mengucapkan selamat. Padahal Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Menteri Pertahanan itu sebagai presiden terpilih pada 24 April 2024.
Istana kemudian ditengarai berkomunikasi dengan Bambang Soesatyo dan mendorong agar nama Soeharto dicabut dari ketetapan MPR. Senyampang dengan munculnya dorongan tersebut, Fraksi Partai Golkar di MPR mengirimkan surat kepada pimpinan Majelis soal peninjauan ulang status Soeharto di tap MPR pada 18 September 2024.
Dua petinggi MPR menyebutkan Bambang kemudian mengumpulkan anggota fraksi partai beringin di MPR dan membahas percepatan pencabutan nama Soeharto. Dalam pertemuan itu, peserta rapat mendapat penjelasan bahwa pembersihan nama Soeharto di ketetapan MPR telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo dan Prabowo.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi tak menanggapi permintaan wawancara yang diajukan Tempo lewat sambungan telepon ataupun pesan teks hingga Sabtu dinihari, 4 Oktober 2024. Begitu pula Bambang Soesatyo tak merespons pesan dan panggilan telepon Tempo.
Sehari sebelum pertemuan di Kertanegara, Bambang Soesatyo merekomendasikan Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional. “Memperhatikan besarnya jasa dan pengabdian selama tiga dekade, rasanya tidak berlebihan,” ucap Bambang dalam sambutannya pada pertemuan dengan keluarga Cendana di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu, 28 September 2024.
Keputusan MPR membersihkan nama Soeharto menuai kritik deras dari berbagai lembaga pegiat antikorupsi dan hak asasi manusia. Salah satunya Indonesia Corruption Watch, yang menilai MPR berupaya mencuci dosa pemerintahan Orde Baru yang ditengarai terlibat dalam berbagai kasus korupsi dan pelanggaran HAM.
Sebelum mencuci nama Soeharto, MPR lebih dulu membersihkan nama Sukarno dengan menerbitkan surat soal Ketetapan MPR Sementara atau Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Tap MPRS itu menuding Sukarno terlibat dalam aktivitas Partai Komunis Indonesia.
Pembersihan nama Sukarno merupakan permintaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Partai yang dipimpin putri Sukarno, Megawati Soekarnoputri, itu telah lama mengajukan permintaan tersebut. Namun, menurut sejumlah narasumber, Presiden Jokowi tak kunjung memberikan restu. Pada Senin, 9 September 2024, MPR menyerahkan surat pembersihan nama Sukarno kepada Megawati.
Seorang petinggi Gerindra menyebutkan Prabowo turut mendorong agar MPR menyetujui permintaan PDI Perjuangan. Prabowo meminta Sekretaris Jenderal Gerindra yang saat itu menjadi Wakil Ketua MPR, Ahmad Muzani, dan kader Gerindra, Supratman Andi Agtas, mempercepat pembahasan. Tujuannya, pertemuan dengan Megawati bisa segera berjalan.
Merujuk pada Pasal 6 Ketetapan MPR Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Tap MPRS dan MPR Tahun 1960-2002, status tap MPRS soal Sukarno sebenarnya masuk kategori tidak berlaku. Artinya, berbagai tuduhan terhadap Sukarno otomatis gugur. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Sukarno pada 2012 juga menegaskan status tersebut.
Namun Fraksi PDI Perjuangan menilai ada pelurusan sejarah yang belum diselesaikan oleh MPR. “MPR sebagai pembuat tap MPRS-nya belum melakukan apa pun untuk menindaklanjuti keputusan itu. Makanya kemudian dirasa perlu untuk buat surat ini,” kata Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah, saat ditemui Tempo, Jumat, 4 Oktober 2024.
Menurut Basarah, usulan itu bermula dari surat yang diajukan oleh kader PDIP, Yasonna Laoly, pada 13 Agustus 2024. Dalam suratnya, Laoly yang saat itu masih menjabat Menteri Hukum dan HAM meminta MPR menindaklanjuti tidak berlakunya Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967. Surat ini menjadi pintu masuk MPR membuat pemaknaan ulang terhadap status Sukarno.
Cara PDIP tersebut diikuti oleh Golkar untuk membersihkan nama Soeharto. Dalam surat pengantarnya, Golkar menyinggung pencabutan tap MPRS tentang Sukarno sebagai landasan awal permohonan pengkajian ulang atas ketetapan yang menyangkut nama Soeharto.
Empat hari setelah Golkar mengajukan surat permohonan, atau pada 22 September 2024, Partai Kebangkitan Bangsa mengirimkan surat dengan format yang nyaris sama. Bedanya, partai itu meminta pernyataan sikap soal Tap MPR Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Gus Dur salah satu pendiri PKB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua MPR Bambang Soesatyo (kedua kiri) menyerahkan berkas surat penegasan sikap MPR kepada istri mantan presiden Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 29 September 2024. Antara/Dhemas Reviyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tap MPR itu menyatakan Gus Dur telah melanggar haluan negara karena tak hadir dan menolak memberikan laporan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR. Seperti tap MPRS tentang Sukarno, ketetapan MPR soal Gus Dur sebenarnya sudah masuk kategori tak berlaku lagi.
Perintah untuk membuat surat permohonan agar MPR menegaskan status Gus Dur datang langsung dari Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. “Ketua Umum minta untuk dikaji dan diperjuangkan agar status Gus Dur mendapat penegasan,” ujar Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid, Selasa, 1 Oktober 2024.
Keluarga Gus Dur menilai keputusan MPR yang membersihkan nama cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu janggal. Mereka khawatir MPR memiliki motif politik tertentu. “Ini situasi politis dan sikap kami terhadap isu ini akan jadi keputusan politis juga. Jadi harus berhati-hati,” tutur salah satu putri Gus Dur, Alissa Qotrunnada atau Alissa Wahid, kepada Tempo, Jumat, 4 Oktober 2024.
Gus Dur terpental dari PKB setelah kalah dalam perseteruan dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menjelang Pemilihan Umum 2009. Menurut Alissa, keluarganya sama sekali tak mengetahui proses pembahasan tap MPR tentang Gus Dur. Surat permohonan oleh PKB juga diajukan tanpa pemberitahuan kepada keluarga.
Pada akhirnya keluarga Gus Dur memutuskan untuk mengapresiasi penegasan sikap MPR. Keluarga menilai surat tersebut menjadi momentum untuk meluruskan sejarah tentang Gus Dur. Tuduhan bahwa Gus Dur melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta melanggar konstitusi masih muncul di buku pelajaran.
“Perlu ada momentum untuk menghapus tuduhan tak berdasar tersebut,” kata putri Gus Dur lain, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, Jumat, 4 Oktober 2024.
Meski begitu, keluarga Gus Dur tetap memberi sejumlah catatan. Mereka menyoroti dugaan motif rekonsiliasi nasional di balik pembuatan surat tersebut. “Rekonsiliasi tetap harus berdasarkan prinsip keadilan agar bisa efektif diterapkan, bukan sekadar basa-basi politik,” ucap istri Gus Dur, Sinta Nuriyah, saat bertemu dengan pimpinan MPR, Ahad, 29 September 2024.
Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, Sjarifuddin Hasan, tak membantah motif rekonsiliasi nasional di balik mulusnya upaya pembersihan nama para mantan presiden. Politikus Partai Demokrat ini mengatakan pemaknaan ulang dari MPR membuat peluang Gus Dur ataupun Soeharto diajukan sebagai pahlawan nasional menjadi terbuka lebar.
“Tokoh-tokoh ini kan ada persoalan yang belum jelas statusnya,” kata Sjarifuddin kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2024.
Pembahasan tentang pembersihan nama bekas presiden ditengarai berjalan kilat. Anggota Badan Pengkajian MPR periode 2019-2024, Benny Kabur Harman, menyatakan pembahasan itu dilakukan di tingkat pimpinan MPR saja. “Kami tak pernah ikut membahas,” tuturnya pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Mantan Ketua Fraksi MPR Partai NasDem, Taufik Basari, juga sempat mengingatkan soal pembahasan yang berjalan cepat dalam rapat gabungan pada 23 September 2024. “NasDem minta agar persoalan ini dikaji dengan mendalam, kalau perlu di periode MPR berikutnya baru dibahas,” ujar Taufik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Erwan Hermawan, Francisca Christy Rosana, dan Hussein Abri Dongoran berkontribusi dalam tulisan ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit dengan judul "Rekonsiliasi di Ujung Jabatan".