Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Karnaval sahur di sebuah daerah di Malang.
Pesertanya mengusung sound system bersuara keras.
Adu kencang volume sound system seperti konser.
SEBUAH truk bertulisan "Adhelia" di kacanya terlihat mengangkut seperangkat sound system. Dak, duk, dak, duk, duk.... Bunyi house music dengan volume suara sangat tinggi keluar dari sound system tersebut. Pendar sorot empat lampu warna-warni yang biasa ditemui di panggung konser pun ikut menyertai badan truk. Truk Adhelia laksana panggung konser berjalan. Terlihat anak-anak muda mengikuti truk itu. Truk tersebut berjalan pelan dan sesekali berhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya truk Adhelia, sebuah truk lain bertulisan "WR Audio" ikut menggeber musik bervolume tinggi. Bedanya, sound system di truk ini lebih sedikit ketimbang Adhelia dan tak disertai lampu warna-warni. Di belakangnya terlihat truk bertulisan "PD Audio" mengusung seperangkat sound system dan lampu sorot yang nyaris menyamai Adhelia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada pula truk Dinamis-Media Project, AL 26 Audio, Sonata Sound System, dan beberapa truk lain. Semua truk ini menggeber musik jedag-jedug (house music) dengan beberapa sound system lengkap dengan gensetnya. Lampu sorot bahkan ada yang terlihat mengarah ke seorang DJ. Truk-truk ala konser berjalan ini adalah para peserta Karnaval Sahur on the Road di Kasin, Gondanglegi, Malang, Jawa Timur. Sebuah kebisingan yang luar biasa di waktu sahur di daerah Malang selatan. Mereka menamakan musik yang dipasang keras-keras itu sebagai musik horeg (musik yang bisa menggetarkan tanah).
Truk peserta Karnaval Sahur On the Road di Kasin, Gondanglegi, Malang. Youtube Arkas SM
Dua tahun belakangan ini polisi di beberapa tempat membubarkan kelompok-kelompok yang menggunakan sound system untuk membangunkan warga bersahur. Pada April 2021, jajaran Kepolisian Resor Tulungagung, Jawa Timur, melarang kegiatan sahur on the road yang menggunakan kendaraan dan sound system dengan volume suara yang sangat kencang. Polisi juga menindak tiga kendaraan bak terbuka dengan sound system yang mengganggu di daerah Gumukmas, Jember, Jawa Timur.
Kegiatan truk tongtek saat menjelang sahur yang diiringi house music dan dangdut dengan pelantang suara di seputar Kabupaten Pati, Jawa Tengah, juga sempat dirazia aparat pada Ramadan tahun lalu. Masyarakat melaporkan kebisingan dan kegaduhan dari truk-truk yang berkeliling saat jam istirahat menjelang sahur. Ada pula larangan penggunaan pelantang suara melalui masjid atau musala untuk membangunkan warga bersahur.
Sebuah jurnal menyajikan penelitian yang cukup menarik oleh 11 peneliti dari jurusan arsitektur dan fisika lintas perguruan tinggi. Mereka meneliti kebisingan dan penanganannya di Indonesia. Mereka menyimpulkan di Indonesia rata-rata masyarakat dan aparat tidak peduli atas penanganan kebisingan, terutama di perkotaan. Padahal pemerintah telah menetapkan batas kebisingan terendah di daerah, yakni 55 desibel. Hasil penelitian itu menunjukkan kasus kebisingan yang dilaporkan di Indonesia sangat kecil dibanding di negara lain dengan populasi yang sama. Mereka mencatat hanya ada 112 kasus dan 68 kasus khusus dari aduan selama 2008-2021. Dari 41 kasus yang diadili, 23 kasus menang dan 18 kalah di tingkat pertama.
Kebanyakan masyarakat yang mengadukan kebisingan memprotes polusi suara dari pabrik, usaha perbaikan mobil, karaoke, atau tempat hiburan di dekat tempat tinggal mereka. Satu kasus yang dikaitkan dengan agama adalah kasus Meliana di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Alih-alih kepolisian mengusut gangguan kebisingan dari musala, Meliana yang terganggu suara azan malah dipenjara satu tahun enam bulan dengan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena didakwa menistakan agama. Tak ada satu pun kata "bising" disebutkan dalam kasus ini.
Angka ini sangat kecil dibanding aduan di negara lain. Seperti di Inggris tercatat ada lebih dari 399 ribu kasus dilaporkan pada 2011; di New York, Amerika Serikat, tercatat 2,9 juta kasus selama 2010-2018; di Milan, Italia, terdapat 100-150 kasus pada 2007; dan di Singapura tercatat rata-rata 70 ribu kasus. “Hal ini mungkin menjadi alasan sikap apatis masyarakat Indonesia terhadap penyelesaian aduan kebisingan oleh pemerintah kota dan pengadilan,” demikian tertulis di jurnal Vilnus Tech, sebuah jurnal ilmu arsitektur dan urban.
Musikus Malang, Redy Eko Prastyo, yang tengah menempuh studi S-3 sosiologi di Universitas Brawijaya, mengamati fenomena musik horeg di Malang selatan yang memang memiliki penggemar tersendiri. Betapapun demikian, dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan bukannya tidak ada. "Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dari fenomena ini," ujarnya kepada Tempo, Jumat, 7 April lalu. Di antaranya dampak kebisingan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan gangguan kesehatan pada mereka yang tinggal di wilayah itu. “Dapat mengganggu pendengaran dalam jangka panjang,” tuturnya.
Dia menjelaskan, tidak seperti di luar negeri, penggunaan sound system di ruang publik di Indonesia belum diatur secara tegas. Ini termasuk penanganan oleh aparat. Fenomena musik horeg, patrolan, atau sahur on the road dengan penggunaan sound system yang besar bagaimanapun perlu mempertimbangkan dampak terhadap orang lain, keselamatan, hukum, dan lingkungan sekitar. Ia melihat ada fenomena gegar budaya di ranah teknologi. Etnomusikolog Endo Suanda urun suara ihwal fenomena ini. "Dulu di masa kecil saya sering melihat musik obrog-obrog di perdesaan dengan alat-alat sederhana, sekarang ditambah berbagai sound system yang keras suaranya, mulanya mungkin untuk senang-senang," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo