Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ibu Kota kembali dilanda banjir besar yang melumpuhkan sebagian besar aktivitas perekonomian warga.
Banjir Jakarta meluas sampai ke titik-titik yang sebelumnya tak pernah dilintasi air bah.
Untuk pertama kalinya, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo kebanjiran dan peralatan medisnya terendam.
AGUS Wijayanto menghilang di tengah banjir pada Selasa pagi, 25 Februari lalu. Anak 15 tahun, santri Pondok Pesantren Daarul Ishlah Assalafy, Kalibata, ini awalnya iseng bermain di Kali Mampang, dekat Pancoran, Jakarta Selatan, bersama kawan-kawannya.
Kebetulan, aliran Kali Mampang melewati area pesantren. Bosan bermain di pekarangan sekolah yang terendam air setinggi dengkul orang dewasa, Agus dan santri-santri lain pindah berenang di kali. Begitu dia melompat ke dalam sungai, arus yang deras langsung menggulung tubuhnya.
Jenazah Agus baru ditemukan tujuh jam kemudian, sekitar 4 kilometer dari titik tempat dia melompat. Sekujur tubuhnya penuh lebam dan luka. Dia dikuburkan di kampung halamannya di Pekalongan, Jawa Tengah, pertengahan pekan lalu.
Selain Agus Wijayanto, ada delapan orang yang tewas di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang Selatan akibat banjir pekan lalu. Hujan deras memang mengguyur Ibu Kota selama tujuh jam tanpa putus, sejak Senin malam, 24 Februari, hingga Selasa dinihari, 25 Februari lalu. Meski curah hujannya lebih rendah daripada peristiwa serupa awal tahun ini, banjir tetap tak terelakkan.
Kali ini, banjir merendam 255 rukun warga dengan ketinggian air 10-180 sentimeter. Beberapa daerah yang sebelumnya tak terkena banjir sekarang dilanda air bah. Tercatat 9.890 orang menjadi pengungsi dan ribuan orang lain terkena dampak banjir.
Jenazah Agus ditemukan di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada Selasa sore, 25 Februari, oleh warga setempat, Mardani. “Saya temukan badannya tertelungkup di pinggir kali,” katanya.
Kampung tempat tinggal Mardani di Gang Pocong, RT 2, RW 3, Kelurahan Tegal Parang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, hari itu juga terkena banjir. “Di sini memang langganan banjir, setahun sekali pasti kena,” ujar Mardani, 54 tahun.
Pada 2015, Mardani sempat meninggikan rumahnya dan menambah satu lantai bangunan. “Saya uruk dua meter,” katanya mengenang. Malang tak dapat ditolak, tahun ini, air tetap menerobos masuk rumahnya. Mardani hanya bisa tersenyum kecut. “Banjir setinggi 40 sentimeter di dalam rumah,” ujarnya soal musibah pekan lalu. Mardani tidak mengungsi. Dia hanya memindahkan keluarga dan harta bendanya ke lantai dua.
Selepas banjir, area di sekitar rumah Mardani dikepung lumpur basah yang ditinggalkan aliran air Kali Mampang. Lumayan dalamnya, sampai 10 sentimeter. Di sanalah mayat Agus Wijayanto ditemukan. “Dulu, walaupun banjir, lumpur cepat dikeruk di sana,” ujar Mardani sambil menunjuk hulu Kali Mampang. Kini pembersihan sungai dari lumpur hanya menjadi cerita masa lalu.
Camat Mampang Prapatan Djaharuddin mengakui pengerukan Kali Mampang di wilayahnya tak lagi rutin dilakukan. Dia hanya punya 20 orang untuk menyisir kawasan Kali Mampang, yang lumayan panjang, dengan waktu kerja yang singkat. “Petugas kami di Tegal Parang hanya bisa bekerja dua jam per hari,” tuturnya. Khusus untuk wilayah di dekat rumah Mardani, “Alat berat kami tidak bisa masuk.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Jakarta Utara, banjir bukan kisah baru, tapi kali ini lebih sering terjadi. Ari, warga RT 06, RW 05, Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, mengaku tahun ini rumahnya sudah empat kali terendam banjir. Yang pertama terjadi pada awal tahun lalu, selanjutnya berturut-turut pada 8, 23, dan 25 Februari lalu. “Saya sekeluarga capek, ini banjir kok terjadi setiap minggu,” ujar Ari, yang tinggal di kawasan tersebut sejak 1985.
Ketika hujan deras terjadi pada Senin malam, 24 Februari lalu, Ari tak bisa menutup matanya. Tidurnya gelisah. Ia membangunkan tiga anaknya karena waswas air bakal masuk ke rumahnya. Anaknya yang terkecil baru berusia tujuh tahun. Benar saja, menjelang pukul 03.00 keesokan harinya, air masuk setinggi lutut. “Jadi selalu deg-degan kalau hujan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banjir yang melanda kawasan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, 25 Februari lalu./Tempo/Tony Hartawan
Ketua RT 06 Ariyani menuturkan, biasanya banjir hanya terjadi di daerahnya sekali dalam satu tahun. Tak kurang dari 200 orang di wilayahnya terkena dampak banjir. Saat Tempo berkeliling perumahan itu pada Kamis, 27 Februari lalu, banyak warga yang menjemur barang di gang-gang. Kasur, kursi, dan pakaian yang terkena banjir berderet menunggu kering. “Kami lelah terkena banjir,” ujar Ariyani.
Selain membuat warga biasa kelabakan, banjir memukul perekonomian dan penyelenggaraan pelayanan publik di Jakarta. Pengusaha angkutan barang termasuk yang kalang-kabut. Selain jalan jadi tak bisa dilintasi, sejumlah depo penampungan kontainer terendam banjir pada 25 Februari lalu.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman mengaku kerugian para pengusaha truk akibat banjir pekan lalu mencapai Rp 30 miliar. Angka itu berasal dari 20 ribu truk besar di Jakarta yang berhenti beroperasi. “Kalau dipaksakan, truk rusak. Garasi juga terendam, kendaraan rusak,” kata Kyatmaja.
Selain itu, banyak pengusaha truk harus menanggung biaya kerusakan komponen akibat armadanya terendam banjir. “Perbaikan satu truk, kalau rusaknya parah, bisa habis Rp 20-30 juta,” ujar Kyatmaja.
Banjir setinggi 30 sentimeter juga merendam kompleks Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, akibat hujan deras pada Minggu dinihari, 23 Februari lalu. Ini pertama kalinya air menerobos masuk ke sana. Akibatnya, tujuh alat medis terendam air. Mesin X-ray, perangkat CT simulator, simulator, dan tomotherapy kebanjiran, padahal tomotherapy itu satu-satunya alat terapi kanker yang ada di Indonesia.
Direktur Utama RSCM Lies Dina Liastuti menuturkan, banjir terjadi karena saluran pembuangan air di rumah sakitnya kecil dan tidak kuat menampung debit air akibat hujan deras. “Drainase kami perlu diperbesar,” ujarnya.
Kamis, 27 Februari lalu, lima petugas sibuk menjebol beton yang menghalangi saluran air serta memperlebar parit tersebut. Mereka berharap pelebaran bisa selesai sebelum hujan besar berikutnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, GANGSAR PARIKESIT, ADI WARSONO (BEKASI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo