Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH realitas menarik: di kala ada pandemi corona, karya seni yang menghiasi Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, “diam-diam” direstorasi. Yang melaksanakan restorasi adalah Michaela Anselmini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya restorasi ini sungguhlah tepat waktu. Pertama, lantaran karya-karya warisan tahun 1960-an itu memang jarang disentuh perbaikan, bahkan ketika Hotel Indonesia diremajakan dan sekalian berubah nama menjadi Hotel Indonesia Kempinski pada 2009. Kedua, karena pada masa pandemi corona yang berlangsung sejak Maret 2020, tamu hotel cenderung tidak ada. Maka kegiatan restorasi, yang merupakan “aktivitas hening”, menemukan momentum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika merancang keberadaan Hotel Indonesia (HI), 70 tahun silam, Presiden Sukarno telah meletakkan konsep bahwa hotel harus menjadi rumah kebudayaan. Sebab, Indonesia, kata dia, merupakan penjelmaan dari Nusantara Swarna Dwipa (Negeri Emas), penghasil kebudayaan yang tak alang kepalang luhurnya. Negeri yang menurut dia: kaceluk ka awun-awun (bahasa Sunda) atau termasyhur di seluruh dunia!
Bagian dari lukisan Arjunawiwaha karya Sudarso di Hotel Indonesia. Dok. Agus Dermawan T
Itu sebabnya, ketika arsitektur HI didesain oleh Abel Sorensen dan Wendy Sorensen, dalam waktu bersamaan dirancang pula komponen-komponen artistiknya. Dan semua komponen itu merefleksikan kekuatan kesenian Indonesia yang berwatak khas, berlatar belakang nun jauh, serta beraspirasi dalam menyongsong kemajuan.
Maka di HI bisa dilihat relief batu andesit karya Harijadi Sumodidjojo dan Sanggar Selobinangun yang bertema kehidupan masyarakat Bali. Sehampar karya yang diagulkan sebagai gambaran lompatan bakat dari nenek moyang: pencipta seni batu Borobudur dan Prambanan. Ada pula mozaik karya Gregorius Sidharta yang bercerita tentang tari nasional berbagai daerah Indonesia. Lalu mural (lukisan dinding) karya Soerono yang bertema perempuan Indonesia yang tak lelah mengejar kemajuan, sehingga sanggup melayang-layang di atas pohon kelapa. Dan tentu mural Lee Man Fong dan kawan-kawan, Margasatwa dan Puspita Indonesia. Sebentang lukisan yang sangat diperhatikan, mungkin lantaran ketinggian nominalnya.
Dari tahun ke tahun sampai hampir tujuh dasawarsa kemudian, agaknya hanya karya-karya itulah yang sering terceritakan ke publik, bahkan kemudian diangkat sebagai komponen seni HI yang paling ikonik. Padahal di HI ada satu karya yang tidak kalah menarik dari semuanya. Dan itu adalah lukisan Arjunawiwaha, yang berukuran sangat besar, karya pelukis kelahiran Ajibarang, Purwokerto, Sudarso (1914-2006).
Menurut Sudarso, tema Arjunawiwaha datang dari Sukarno sendiri. “Pada 1961, Bung Karno datang ke kediaman saya di Sentulrejo, Yogyakarta. Di situ Bung Karno menceritakan Arjunawiwaha. Kisah itu diminta dilukis untuk dipasang di Hotel Indonesia yang sedang dibangun.”
Sudarwoto, putra Sudarso yang kala itu berusia 11 tahun, ingat benar kisah wayang yang dituturkan sang Presiden. Diceritakan bahwa Arjuna sedang bertapa di Gunung Semeru, pengindonesiaan dari Gunung Mahameru. Untuk menguji Arjuna, para dewa mengirimkan tujuh bidadari buat menggoda, dengan dipimpin si mahaayu Dewi Supraba dan Dewi Tilotama. Karena Arjuna tidak juga tergoda, Batara Indra turun ke lapangan. Ia menyamar sebagai brahmana tua. Lantaran Arjuna tak juga terganggu, Batara Siwa maju sebagai penggoda berikutnya, dengan menyamar sebagai pemburu renta yang berusaha membunuh seekor babi yang akan menyerang gua pertapaan. Arjuna tetap tak goyah.
“Karena begitu kuat mentalnya dan begitu khusyuk bertapanya, para dewa menghadiahkan tujuh bidadari yang semula menggoda itu kepada Arjuna. Seneng to? Luar biasa to?” kata Bung Karno. Presiden meyakini bahwa kakawin Arjunawiwaha itu dikarang Empu Kanwa yang hidup pada masa Airlangga di Jawa Timur, abad ke-11. Jadi bukan dari India.
Itu sebabnya, begitu Bung Karno dan rombongan pulang, Sudarwoto segera mendesak ayahnya untuk tidak menolak opdracht itu. Sudarso dengan tegas menjawab: “Mosok aku nolak pesenan Persiden. Edan, po!” Tapi, di balik antusiasme mengerjakan, sesungguhnya Sudarso langsung kelabakan. Ukuran lukisan yang dipesan termasuk luar biasa, sekitar 7 meter panjangnya. Sementara itu, ruangan di rumahnya tidak cukup luas untuk itu. Maka, apa boleh buat, Sudarso harus menjebol dinding rumahnya.
Bukan hanya itu yang membuat Sudarso puyeng. Ia juga ditugasi menjadi koordinator berbagai proyek yang berkaitan dengan Asian Games di Jakarta. Misalnya pembangunan patung Selamat Datang di depan HI, Monumen Dirgantara di kawasan Pancoran, dan patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng.
“Eeee, belum cukup dengan itu. Bung Karno juga memesan lukisan berjudul Pesta Rakyat berukuran sangat panjang kepada saya. Pecah ndasku. Saya masih ingat janji Bung Karno: So, kalau Pesta Rakyat jadinya bagus dan tepat waktu, tak belehke pithik. Saya potongkan ayam,” Sudarso mengisahkan.
Untuk mengerjakan lukisan itu, Sudarso dibantu oleh pelukis J. Soedhiono. Dan, untuk penggambaran para bidadari dalam Arjunawiwaha, ia menggandeng tiga model perempuan muda cantik, yang kebetulan sekali semuanya bernama depan Jum. “Saya panggil mereka Jum gede, Jum cilik, Jum duwur,” kata Sudarso, lalu terkekeh.
Lukisan Arjunawiwaha bisa diselesaikan dalam waktu yang ditentukan: enam bulan. Begitu juga lukisan Pesta Rakyat, yang disiapkan untuk Bandar Udara Kemayoran (yang kemudian dipindahkan ke Bandara Halim Perdanakusuma). Begitu lukisan itu dilaporkan selesai dan Bung Karno puas melihatnya, komentar pun muncul. “So, cap dua jempol,” ujar Bung Karno.
Arjunawiwaha kemudian dipajang di lobi Hotel Indonesia. Sebuah foto koleksi Hotel Indonesia Natour merekam Bung Karno sedang bercakap akrab dengan para tamunya di depan lukisan tersebut. Joop Ave, budayawan dan mantan menteri, yang pada 5 Agustus 1962 menjadi master of ceremony pembukaan Hotel Indonesia, mengatakan: “Arjunawiwaha merupakan karya terpenting dari Sudarso dan ikon untuk Hotel Indonesia.”
Bung Karno (kiri) dengan latarbelakang lukisan Arjunawiwaha karya Sudarso, di Hotel Indonesia, 1962. Dok. Agus Dermawan T
Sudarso dan Bung Karno memang punya hubungan yang saling percaya sejak dulu. Keterlibatan Sudarso dalam perang kemerdekaan sebagai pembuat poster perjuangan diingat benar oleh Bung Karno. Ketelatenannya dalam membimbing banyak seniman revolusioner di Sanggar Pelukis Rakyat juga sangat dicatat. Bung Karno bahkan pernah mengutus Sutan Sjahrir untuk “menyuruh” Sudarso mendekati Tjokorda Gde Sukawati di Bali, berkaitan dengan misi kebudayaan. Karena itu, ketika Indonesia memasuki era pascaperang, Sudarso acap diundang ke Istana untuk berbicara seni dan sebagainya. Maka Istana kadang dianggap seperti rumahnya saja.
Seperti ditulis dalam buku The World of Sudarso (2004), suatu kali Sudarso pernah hampir ditembak penjaga lantaran menyelinap begitu saja ke Istana Bogor. Bung Karno yang kebetulan melihat kejadian itu langsung berteriak: “Jangan tembak! Dia teman saya!” Kala itu, tampilan Sudarso memang tidak selayak orang bertandang, tapi seperti maling yang celingukan.
Tak terhitung Sudarso makan semeja dengan Bung Karno dan keluarga. Sampai ada adegan ini: pada 1954, ketika makan bersama, ada serbet yang jatuh dari meja. Sudarso yang pernah jadi loper susu itu mendadak sontak ingin mengambilnya. Bung Karno buru-buru melarang. “Biar Mega yang ngurusi,” katanya. Megawati pun, yang kala itu berusia 7 tahun, menjumput serbet di bawah meja tersebut.“Ketika Megawati jadi presiden, saya selalu ingat soal serbet itu,” tutur Sudarso.
Kedekatan Bung Karno seperti itulah yang menyebabkan ia diserahi menggarap proyek-proyek besar, di antaranya lukisan raksasa Arjunawiwaha di Hotel Indonesia. Adakah buah proyek itu sampai sekarang di Hotel Indonesia? Andai pun masih ada, aman dan nyamankah pertapaannya? Di manakah display-nya? Selebihnya, apakah ia terpelihara?
AGUS DERMAWAN T., PENGAMAT SENI, PENULIS BUKU DARI LORONG-LORONG ISTANA PRESIDEN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo