Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jatah Pertalite akan habis pada Oktober.
Pertalite lebih banyak dikonsumsi kalangan menengah ke atas.
Pertamina mengusulkan perubahan aturan untuk membatasi konsumsi Pertalite.
AGENDA rapat Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat dengan PT Pertamina (Persero) mendadak berubah. Pada Selasa, 23 Agustus lalu, DPR sedianya menggelar rapat dengar pendapat dengan manajemen Pertamina di Kompleks Parlemen, Senayan, membahas stok bahan bakar minyak jenis Pertalite yang kian menipis. Namun Pertamina dan DPR mengubah rencana itu dengan menggelar rapat tertutup esok harinya di Artotel Mangkuluhur City, Karet Semanggi, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo, Mulyanto, anggota Komisi Energi DPR yang hadir dalam rapat itu, mengatakan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati membeberkan kondisi darurat. Hingga akhir Juli lalu, sisa kuota Pertalite tinggal 6,2 juta kiloliter. Hal tersebut, kata Mulyanto, adalah sinyal bahaya karena tahun ini pemerintah hanya menjatahkan Pertalite, yang penjualannya ditomboki dana kompensasi, sebanyak 23 juta kiloliter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan konsumsi 2,5 juta kiloliter tiap bulan, Pertamina menghitung stok Pertalite bakal habis pada Oktober atau dua bulan menjelang tutup tahun. “Pilihannya adalah menambah kuota. Harapan Pertamina, kuota Pertalite tahun ini bisa ditambah menjadi 29 juta kiloliter,” tutur Mulyanto kepada Tempo, Kamis, 25 Agustus lalu.
Senyampang dengan rapat DPR dan Pertamina, pada Rabu, 24 Agustus lalu, banyak agenda yang membahas upaya menambah stok dan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak. Isu ini menggelinding dengan cepat setelah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan Presiden Joko Widodo bakal mengumumkan keputusan tentang harga baru bahan bakar minyak pada pekan terakhir Agustus.
Anggota Komisi VII DPR Mulyanto. Foto: dpr.go.id
Pernyataan Luhut ini mengemuka saat purnawirawan jenderal Angkatan Darat itu memberikan kuliah umum di Universitas Hasanuddin pada Ahad, 21 Agustus lalu. Publik menangkap omongan Luhut sebagai sinyal kuat langkah pemerintah menaikkan harga Pertalite yang sebagian harga jualnya ditalangi pemerintah melalui skema kompensasi.
Sebelum pertemuan dengan Pertamina, Mulyanto mengatakan, Komisi Energi DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif. Rapat yang awalnya membahas laporan kinerja dan temuan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Kementerian Energi itu malah lebih banyak membahas rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar.
Di waktu yang berdekatan, Komisi VI DPR juga menggelar rapat dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Beberapa anggota Komisi BUMN itu menyinggung nasib Pertamina yang sedang menunggu kepastian tambahan penyaluran Pertalite dan solar. Solar alias bahan bakar diesel dengan angka setana 48 juga mendapat subsidi dari pemerintah.
Selain menyinggung stok yang menipis, anggota parlemen mempertanyakan anggaran subsidi yang harus mengucur karena harga minyak dunia berada di level tinggi. Sebagai contoh, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate pada Jumat, 26 Agustus lalu, berada di level US$ 92 per barel. Ada kenaikan 30 persen jika dibandingkan dengan harga pada periode yang sama tahun lalu. Adapun harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) yang menjadi patokan anggaran mencapai US$ 106,73 per barel pada Juli lalu atau di atas asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2022 yang mencapai US$ 100 per barel.
Saat menyusun APBN Perubahan 2022, pemerintah mengerek asumsi ICP dari US$ 63 menjadi US$ 100 per barel. Revisi harga minyak ini menyebabkan anggaran subsidi dan kompensasi energi membengkak dari semula Rp 152,9 triliun menjadi Rp 208,9 triliun.
Setelah subsidi ditambah, konsumsi Pertalite dan solar terus membengkak. Hal ini terjadi setelah harga Pertamax yang tidak mendapat subsidi naik sejak April lalu. Walhasil, para pengguna Pertamax beralih ke Pertalite, yang lebih murah. Jatah Pertalite pun terancam jebol.
Menurut Mulyanto, di hadapan DPR Pertamina membeberkan kondisi keuangannya sekaligus menyodorkan beberapa opsi untuk mengendalikan konsumsi. Salah satunya merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Rupanya, aturan itu pernah diubah pada 2018 dan 2021. Namun penyaluran bahan bakar bersubsidi tetap saja melampaui jatah. Berdasarkan catatan Pertamina, kepolisian, dan perusahaan konsultan YCP Solidiance, sebanyak 70 persen kuota Pertalite dihabiskan oleh kendaraan roda empat. Dari angka tersebut, sebanyak 98 persen adalah mobil pribadi, 0,6 persen taksi berbasis aplikasi online, 0,4 persen angkutan umum, dan 0,3 persen taksi konvensional.
Temuan tiga lembaga itu mirip dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik. Dari survei itu diketahui bahwa 60 persen masyarakat terkaya Indonesia menikmati kuota Pertalite paling banyak, hingga 80 persen. Sebaliknya, 40 persen masyarakat kelas ekonomi terbawah hanya kebagian 20 persen Pertalite.
Untuk mengatasi persoalan itu, Pertamina mengajukan usul revisi terhadap Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 dengan menambahkan pasal yang mengatur pembatasan konsumsi. Usulannya, Mulyanto mengungkapkan, semua kendaraan roda empat dengan kubikasi mesin 1.400-1.500 cc ke atas dan sepeda motor bermesin di atas 250 cc dilarang menenggak Pertalite.
Hitung-hitungan Pertamina, jika usul itu disetujui, kuota bahan bakar bersubsidi hanya akan terserap 31 persen. “Itu dengan asumsi pembatasan ini dimulai pada Januari lalu. Kalau dimulai pada September, ya, tinggal sisanya,” ujar Mulyanto, politikus Partai Keadilan Sejahtera.
Pembatasan konsumsi ataupun tambahan kuota Pertalite bakal memperpanjang napas Pertamina. Dengan kondisi saat ini, duit kas Pertamina jebol karena dana kompensasi dari pemerintah belum sepenuhnya cair. Pemerintah baru akan membayar kompensasi selisih harga komersial dengan harga eceran Pertalite tahun depan. Tahun ini, pemerintah baru membayar kompensasi selisih harga bahan bakar dan elpiji 2021 yang mencapai Rp 64,5 triliun.
Mundurnya rencana pembayaran kompensasi ini membuat Pertamina saban tahun terpaksa menambal arus kas yang kempis dengan berbagai cara. Tahun lalu, Pertamina menerbitkan dua surat utang dengan nilai US$ 900 juta dan US$ 1 miliar. Setahun sebelumnya, Pertamina menarik utang dari obligasi sebanyak US$ 2,35 miliar. Sedangkan pada 2019, obligasi yang diterbitkan sebesar US$ 1,5 miliar. Hingga akhir tahun lalu, nilai obligasi Pertamina mencapai US$ 16,4 miliar atau 36,6 persen dari total utang perseroan yang mencapai US$ 44,7 miliar. “Ini soal arus kas. Kalau lagi kantong kering, harus tutup sana-sini untuk bertahan hidup,” kata Mulyanto.
Anggota Komisi BUMN DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade, sempat menyinggung soal arus kas Pertamina yang kering. Dalam rapat kerja dengan Menteri BUMN Erick Thohir pada Rabu, 24 Agustus lalu, dia mengatakan pemerintah seakan-akan membiarkan Pertamina bekerja sendiri. “Biar jebol saja kas Pertamina,” ucap Andre.
Selain menggunakan tambalan dana dari obligasi, Pertamina mengandalkan pendapatan dari operasi di sisi hulu atau produksi minyak mentah yang harganya sedang tinggi. Namun cara ini juga tak sehat mengingat konsumsi bahan bakar bersubsidi terus membengkak, sementara anggaran negara makin tipis.
Sekretaris Perusahaan Pertamina Bramantya S. Poerwadi tak memberi konfirmasi mengenai pembicaraan dengan Komisi Energi DPR. Bramantya juga enggan mengomentari rencana kenaikan harga BBM, pengendalian konsumsi, ataupun kondisi kas Pertamina. “Pertamina hanya operator,” tuturnya.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo