Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Novel Lebih Senyap dari Bisikan menjadi Buku Sastra Pilihan Tempo 2021 Kategori Prosa.
Novel karya Andina Dwifatma ini bercerita tentang kehidupan domestik dari sudut pandang seorang perempuan.
Andina Dwifatma matang dalam bercerita dan menggunakan bahasa.
BILA dibaca selintas, novel Lebih Senyap dari Bisikan (Gramedia Pustaka Utama, 2021) sebenarnya bercerita tentang hal yang sangat sederhana, personal, yaitu pengalaman seorang istri, sebagai satu-satunya pusat pengisahan, dalam perjuangannya untuk memperoleh seorang anak dari perkawinannya yang benar-benar didasari perasaan cinta yang tulus di antara kedua pihak. Bahan cerita yang demikian mungkin sudah banyak dipakai dalam novel populer dan buku sastra mengenai kehidupan rumah tangga atau keluarga atau bahkan dalam berbagai rubrik konsultasi kesehatan medis ataupun psikologis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beragam persoalan yang menjadi semacam pola umum dari bahan cerita seperti ini pun sudah tertanam dalam pikiran pembaca: kesulitan dan perjuangan medis, komentar keluarga, tetangga, teman-teman, kolega, berbagai usaha teknis dan pengobatan alternatif, nasihat-nasihat, harapan, serta frustrasi sebagai pola yang katakanlah datang dari fase pra-natal. Pola natal atau pasca-natal pun sudah menjadi pengetahuan umum, misalnya ketakutan, rasa sakit, kecemasan, kelelahan, kebahagiaan, proses menyusui, peningkatan beban ekonomi keluarga, pengurangan penghasilan karena urusan anak harus didahulukan bagi perempuan, dan keretakan hubungan suami-istri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andina Dwifatma, penulis novel "Lebih Senyap Dari Bisikan" di rumahnya di Tangerang Selatan, 6 Januari 2022. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Yang membuat novel karya Andina Dwifatma ini istimewa, dengan demikian, tentu saja bukan bahannya itu, melainkan cara subyek, sang istri, mengalami, menghayati, dan memberikan respons terhadap semua proses yang seakan-akan berpola tersebut, beserta persoalan-persoalan sertaannya. Pertama, sebagai pengalaman personal, novel ini menukik dalam ke relung-relung kejiwaan seorang perempuan, sebagai istri, sebagai ibu, ataupun sebagai anak yang sebenarnya penuh pergolakan, tapi tidak terlalu meledak-ledak. Ia menjadi semacam serangkaian rintihan tanpa tangisan, rasa kecewa yang dibayangi harapan, rasa takut yang ditemani kepercayaan diri.
Memang ada satu saat ledakan kemarahan, puncak keputusasaan, baik yang muncul sebagai bentakan atau makian maupun tindakan kekerasan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain. Tapi hal itu ditempatkan pada momen yang benar-benar puncak, yang tampak sudah sangat diperhitungkan dengan cermat, untuk kemudian diredakan kembali ke dalam suasana sedih dan harapan yang sangat terjaga.
Yang membuat novel ini lebih istimewa adalah hal kedua, yaitu bagaimana persoalan proses yang meliputi berbagai fase kelahiran itu sekaligus merupakan sebuah pengalaman sosial. Sejak semula novel Lebih Senyap dari Bisikan mengandung persoalan sosial yang sensitif setidaknya untuk Indonesia. Perkawinan antara tokoh istri, Amara, dan Baron adalah perkawinan lintas agama yang dilangsungkan dengan dukungan keluarga yang minim dan tetap menyisakan potensi masalah dalam perjalanannya.
Suami-istri tersebut juga memperlihatkan perbedaan latar belakang kultural yang cukup tajam. Pihak perempuan memperlihatkan budaya yang relatif moderat dari segi gender, sementara pihak laki-laki berkultur maskulin dan cenderung patriarkis. Novel ini tampak sadar mengangkat kedua masalah sosial yang terhitung sensitif tersebut, tapi untuk dengan segera meredam dan menihilkannya. Andina seperti menuliskannya dengan tebal untuk kemudian mencoretnya.
Andina Dwifatma, dan novelnya, "Lebih Senyap Dari Bisikan" , 6 Januari 2022. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Perpisahan Amara dengan ibunya karena perkawinannya, kecenderungan ibunya terpengaruh oleh cara berpakaian hijab yang lebar, dan intervensi ibunya dalam acara akikah anaknya yang oleh Baron justru hendak dibaptiskan tidak menghapus kecintaan Amara kepada sang ibu, juga tidak mengurangi cintanya kepada Baron. Begitu juga sikap Baron yang makin angkuh justru karena ia makin gagal mengatasi persoalan ekonomi keluarganya, dengan menyerahkan semua urusan keluarga dan anak kepada istrinya yang makin mengalami tekanan batin, membuat keduanya akhirnya berpisah tapi bukan terputus sama sekali.
Dengan memusatkan pengisahan pada diri seorang perempuan, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai anak, sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga, sebagai tokoh yang terus-menerus ditimpa berbagai kemalangan dan tekanan hingga bahkanhampir gila dan histeris, novel ini jelas hendak bercerita mengenai perempuan dalam beragam impitan sosial, ekonomi, dan gender. Tapi perempuan yang ditampilkan bukanlah perempuan yang heroik, yang memang berani melanggar larangan keluarga dalam perkawinan lintas agama tapi tidak membangun tembok pemisahan yang tak bisa diterobos kembali. Tokoh perempuan ini meninggalkan sang ibu, tapi kemudian mengontak kembali ibunya; sangat jengkel karena merasa diperlakukan tidak adil oleh budaya patriarki, tapi selalu dapat melihat sisi lain yang bisa membuatnya tidak menentangnya secara mutlak.
Cara pandang perempuan yang demikian dinamakan cara pandang feminisme filosofis. Amara selalu cenderung berpikir ganda, doubling, sehingga konstruksinya mengenai hubungan antara diri dan liyan tidak pernah menjadi tunggal, hierarkis. Cara berpikir Amara itu dilandasi suatu ontologi feminis yang menempatkan yang ada, sumber dari segala kehadiran adalah perempuan, dengan model bibir vagina yang dobel dan saling menyentuh, berbeda dengan ontologi maskulin, patriarkis, yang menempatkan yang ada itu sebagai laki-laki, tunggal, dengan model lingga. Karena tunggal, ontologi laki-laki ini membangun relasi antara diri dan liyan sebagai hierarki, liyan sebagai obyek yang harus dikuasai oleh dan sekaligus menegaskan ketunggalan sang subyek.
Karena subyek feminisme filosofis itu ganda, ia menjadi lebih terbuka kepada orientasi seksual di luar hetero. Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma ini bisa dikatakan sebagai novel dari dunia perempuan sebagaimana yang tampak di akhir ceritanya. Dalam rumah keluarganya, Amara tinggal bersama empat perempuan. Tokoh perempuan lain yang menyelamatkannya dari bencana yang menimpa anaknya dan mengembalikannya kepada ibunya, Yani, juga menjadi bagian dari kehidupan mereka dan dibayangkan akan tinggal bersama mereka pula. Laki-laki yang pernah muncul, mempunyai pengaruh negatif ataupun positif terhadap kehidupan Amara, sudah ditempatkan di luar walaupun posisinya bukan sebagai “Other” yang dipertentangkan dan dipisahkan secara hierarkis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo