Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengimbau masyarakat berhati-hati terhadap pesan WhatsApp (WA) yang beredar mengatasnamakan pimpinan, yakni Ketua Mahkamah Agung, Wakil Ketua MA Bidang Non-yudisial, Ketua Kamar Pembinaan, Ketua Kamar Agama, dan Ketua Kamar Pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesan ini tertuang dalam surat nomor 4334/SEK/HM.1.1/XI/2024 yang diteken Sekretaris Mahkamah Agung, Sugiyanto, pada 15 November 2024. Surat itu ditujukan kepada para pejabat pimpinan tinggi madya dan pratama di lingkungan MA, serta kepala pengadilan tingkat banding dan pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sugiyanto mengatakan, pesan WhatsApp yang beredar itu bertujuan meminta sejumlah uang untuk ditransfer ke rekening tertentu. "Bisa dipastikan bahwa pesan WhatsApp itu bentuk penipuan yang sasarannya masyarakat yang sedang berperkara, pengacara, warga pengadilan di empat lingkungan peradilan," ujarnya dalam surat tersebut, dikutip Tempo pada Sabtu, 16 November 2024.
Adapun empat lingkungan peradilan di bawah MA itu adalah peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Oleh sebab itu, Mahkamah Agung mengimbau seluruh pihak agar selalu berhati-hati, waspada, dan tidak terpengaruh pesan WhatsApp tersebut. "Apabila ada warga peradilan di empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, masyarakat umum, serta para pengacara yang mengalami atau menemukan hal-hal mencurigakan atau patut dicurigai, agar segera melapor ke pihak berwajib," ujarnya.
Masyarakat juga bisa mengonfirmasi kebenaran pesan tersebut kepada Kepala Biro hukum dan Humas Mahkamah Agung. Caranya melalui nomor handphone 082122021758 atau alamat email hukumhumas_ti@mahkamahagung.go.id.
Penipuan dengan modus pencatutan pimpinan MA bukan kali pertama ini terjadi. Sebelumnya pada 2023, MA menemukan kasus penipuan dengan modus memanfaatkan informasi status penanganan perkara di website Kepaniteraan Mahkamah Agung. Informasi itu lalu dimanfaatkan oknum untuk mengelabui pihak berperkara.
"Modusnya dengan menghubungi pihak berperkara dan menyampaikan dokumen yang seolah-olah produk Mahkamah Agung," bunyi keterangan MA di laman kepaniteraan.mahkamahagung.go.id.
Dokumen itu dilengkapi kop surat MA, berstempel, bahkan ditandatangani oleh pejabat Mahkamah Agung. Dokumen tersebut juga berisi informasi penanganan perkara, serta permintaan menghubungi panitera pengganti atau pejabat MA lainnya.
Mahkamah Agung menyatakan tidak pernah berkorespondensi langsung dengan pihak berperkara. Semua korespondensi ihwal penanganan perkara dilakukan melalui pengadilan tingkat pertama. Itu juga terbatas pada pemberitahuan registrasi perkara, salinan putusan, atau perintah untuk melengkapi kekurangan berkas.
Pilihan Editor: Korban Dugaan Pelecehan Seksual Lewat Manipulasi Foto AI Lapor ke Polda Metro Jaya