Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Mengejar Gelar di Jantung Eropa

Diterima studi doktoral di Universitas Zurich meski berijazah sekolah menengah atas. Meyakinkan kampus dengan curriculum vitae.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT belas berkas dokumen yang disodorkan petugas gedung Pusat Arsip Kanton Zurich itu tampak usang. Hampir satu abad usianya. Di dalamnya tersimpan rekam akademik Ernest François Eugène Douwes Dekker selama mengenyam pendidikan di Universitas Zurich. Tak hanya menggambarkan perkembangan pemikiran, dokumen itu menunjukkan perjuangan meraih gelar doktor.

Pada Juli lalu, Tempo mendatangi gedung arsip yang berada di area kampus baru Universitas Zurich di daerah Irchel, Swiss, itu. Gedung yang berdiri sejak 1984 ini salah satu pusat arsip terlengkap di kota yang merupakan jantung Eropa itu. Semua arsip Zurich sejak abad ke-9 tersimpan di sana.

Salah satu dokumen berupa formulir pendaftaran mahasiswa tahun ajaran 1914-1915. Nama Douwes Dekker tercatat sebagai satu dari 464 mahasiswa baru tahun itu. Ia mendaftar di Fakultas Ilmu Negara Universitas Zurich pada 30 November 1914, dengan nomor induk mahasiswa 23412. Bidang studinya Ekonomi Politik.

Dalam formulir pendaftaran itu, ia menyebutkan berasal dari Bandung, Jawa. Pendidikan terakhirnya Hogere Burger School setingkat sekolah menengah atas. Dalam formulir yang ditandatangani rektor Max Cloetta itu ia mencantumkan alamatnya di Zeltweg 53, Zurich, Distrik 7, bersama keluarga.

Dalam dokumen itu, Tempo juga menemukan curriculum vitae yang disajikan dengan unik. Tak seperti daftar riwayat hidup umumnya, Douwes Dekker membuat tulisan 10 halaman, dengan tujuan agar pihak fakultas menerimanya di studi doktoral. "Untuk diizinkan melamar studi doktoral di bawah persyaratan normal," tulisnya pada paragraf awal. Biasanya, kandidat doktor berlatar belakang pendidikan perguruan tinggi.

Ia menyatakan terlahir dengan latar belakang keturunan berbagai bangsa. Lulus HBS, ia bekerja di perkebunan karena kondisi keuangan ayahnya tak memungkinkan ia belajar ke perguruan tinggi. Pekerjaan itu tak bertahan lama karena ia menentang perilaku tak adil terhadap para pekerja, yakni rakyat Jawa.

Ia lalu memilih bertualang dan bergabung dengan militer dalam Perang Boer. Sejak itu, ia mulai membulatkan tekad memperjuangkan persamaan hak rakyat Jawa dari penindasan politik dan ekonomi Belanda. Ia mengidentifikasi dirinya sebagai orang Jawa.

Ia juga menceritakan seluruh pengalamannya di berbagai media cetak hingga menerbitkan surat kabar De Expres. Begitu juga pengalamannya mendirikan Indische Partij. Ketika pemerintah Belanda menjatuhinya hukuman pengasingan, ia mulai memusatkan perhatiannya menulis karya ilmiah. Ia juga menyebutkan sejumlah judul karyanya, dan melampirkannya terpisah. Tampaknya, karena curriculum vitae itu, pihak kampus mengabulkan permohonannya.

Dokumen lain berisi catatan evaluasi sejumlah ujian akhir. Salah satunya hasil penilaian ujian ilmu keuangan, sebanyak tiga halaman kertas A5, ditulis oleh Prof E. Grossmann tertanggal 10 Juli 1915.

Dalam catatannya, Grossmann memuji karya ilmiah Douwes Dekker yang bertema "Pinjaman Perang atau Pajak Perang". "Prestasi yang cukup menarik," tulisnya. Dia juga memuji akurasi Douwes Dekker dalam menyebut angka-angka nilai obligasi pemerintah.Dia sempat curiga Douwes Dekker membawa kertas sontekan. Namun, dalam kalimat berikutnya, Grossmann menulis bahwa Douwes Dekker hafal angka-angka itu di luar kepala.

Douwes Dekker juga memiliki banyak kelemahan. Grossmann menilai ia belum cukup kuat menjelaskan metode finansial yang ia gunakan. Ia terburu-buru melontarkan kritik dan banyak dipengaruhi pemikiran Marxistis. Meski begitu, ia sepakat dengan pendapat Dekker yang menyatakan perang merupakan sarana mencari keuntungan. Pada akhir evaluasi, Grossmann memberi nilai "magna cum laude". Evaluasi itu ditandatangani Grossmann dan disetujui enam profesor lainnya.

Tempo juga menemukan hasil ­evaluasi disertasi doktoral Douwes Dekker yang juga ditulis oleh Grossmann sebagai penguji utama. Dalam catatan empat halaman itu, sekali lagi sang dosen menyanjungnya. Douwes Dekker dinilai sudah mengalami banyak hal, banyak membaca, dan banyak berpikir.

Grossmann melanjutkan, Douwes Dekker pelajar otodidak yang tak mendapatkan pendidikan ilmiah. Gaya bahasanya terlalu bombastis sehingga kurang nyaman dibaca, dan kerap melontarkan kritik tanpa ditopang data memadai.

Meski begitu, Grossmann tetap meluluskannya dengan syarat, Douwes Dekker mesti merevisi disertasinya. Surat itu ditandatangani Grossmann dengan persetujuan lima penguji lainnya, tertanggal 4 Agustus 1915.

Douwes Dekker tak pernah menyerahkan naskah disertasi yang direvisi. Ia bertolak ke Belanda melanjutkan pergerakan. Tempo menemukan surat Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yang ditujukan kepada salah satu profesor pada 1917. Ditulis dalam bahasa Prancis, isinya memohon agar anaknya diberi kelonggaran waktu mencetak disertasi yang telah direvisi. Ia menjamin Douwes Dekker akan mencetak disertasinya setelah dibebaskan dari penjara. Namun Douwes Dekker tak pernah kembali ke Zurich.

Sebelum meninggalkan kampus, ia mengambil sejumlah mata kuliah. Ia tercatat mengikuti beberapa ujian akhir, antara lain teori ekonomi nasional, praktek ekonomi nasional, ilmu keuangan, statistik, ilmu ekonomi perdagangan, ilmu hukum dagang, ilmu hukum tata usaha negara Swiss, dan geografi perdagangan, yang semuanya berupa ujian lisan. Ia juga mengikuti ujian akhir tertulis ilmu hukum tata usaha negara dan ilmu keuangan. Masing-masing memperoleh nilai genugend atau cukup, dan magna cum laude atau lulus dengan nilai sangat bagus.

Perjuangan Douwes Dekker untuk mencapai prestasi akademis itu tak mudah. Keterbatasan ekonomi menjadi kendala ­utama. Pada salah satu dokumen terselip surat Douwes Dekker meminta kemurahan hati fakultas agar mengizinkannya segera ikut ujian akhir. Alasannya, situasi keuangannya sudah tidak cukup untuk tinggal lebih lama di Zurich.

Dari gedung arsip, Tempo melakukan penelusuran jejak Douwes Dekker di kota yang dalam bahasa Romawi bernama Turicum itu. Rumah di Jalan Zeltweg 53, Zurich, Distrik 7, itu kini sudah tak ada, diruntuhkan pada 1932. Sebagian lahannya menjadi lintasan Jalan Beustweg, lainnya menjadi gedung rumah susun berlantai empat.

Di rumah itu, pada akhir Oktober, 98 tahun lalu, Douwes Dekker bersama istrinya, Clara Charlotte Dieje, dan tiga anak gadisnya—Louisa Erna Adeline, Hedwig Olga Hildegard, serta Sieglinde Ragna Sigrid—menyewa satu kamar sempit di pojok bangunan. Dalam buku alamat Kota Zurich terbitan 1915 dinyatakan rumah itu milik keluarga Wethli dan ahli warisnya. Di seberang rumah yang dibangun pada 1853 itu berdiri rumah keluarga pelukis Louis Wethli yang masih kukuh hingga kini, dan menjadi salah satu situs bersejarah kota.

Dari lokasi bekas bangunan rumah Zeltweg 53, Tempo mencoba menapak tilas perjalanan Douwes Dekker ke kampus. Berjalan kaki menuju gedung utama Universitas Zurich di Ramistrasse 71, jaraknya sekitar satu kilometer. Tapi, karena lokasi kampus di lereng bukit, jalan menuju ke sana menanjak miring sekitar 45 derajat.

Douwes Dekker mengawali studi pada November 1914, tatkala musim dingin mulai mengunjungi Zurich. Dia tiap hari berjalan kaki dari tempat kos ke kampus.

Persoalan keuangan yang makin membelit membuat istri dan anak Douwes Dekker hanya mampu bertahan selama empat bulan. Pada Februari 1915, ia memulangkan mereka ke Jawa. Bukan persoalan mudah menjalani studi di tengah kondisi yang serba kekurangan itu. Namun ia pantang menyerah.

Sepeninggal istri dan anaknya, ia sering menghabiskan waktu belajar di sebuah rumah makan dekat tempat kosnya. Tak hanya mengisi perut, tapi sekaligus mencari tempat lebih hangat dibanding kamarnya yang dingin karena tungku tak menyala.

Ia makan di rumah makan Zum Pfauen dan kesulitan membayar. Kala itu Gross­mann, dosen pengajar Douwes Dekker, meminta anggota stafnya membayari makanan Dekker.

Ketika Tempo mendatangi tempat itu, ternyata rumah makan tersebut bernama Pfauen, dalam bahasa Jerman berarti burung merak, yang dulu merupakan bagian dari gedung teater Pfauen Zurich pada 1914-1916. Rumah makan itu beralamat di Zeltweg 1, tepat di sudut pertemuan Jalan Zeltweg dan Ramistrasse.

Bangunan tempat makan itu masih berdiri dan menjadi rumah makan hingga kini. Tapi namanya sudah berganti menjadi Terroir dan alamatnya berubah menjadi Ramistrasse 32.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus