Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ERNEST François Eugène Douwes Dekker buru-buru menghubungi Residen Priangan M.F. Tijdeman, Jumat, 24 Juli 1936. Dia kesal dan ingin bertemu untuk menyampaikan protes. Hari itu, berbekal surat perintah kejaksaan, Kepala Intelijen Politik Bandung mendatangi Ksatrian Instituut dan menyita naskah-naskah tentang sejarah Asia Timur yang ditulis DD—panggilan Douwes Dekker.
Keduanya baru bertemu keesokan paginya. Dalam pertemuan yang diikuti Johanna Petronella Mossel itu, Tijdeman mengaku telah membaca naskah tersebut. Dia tertarik dan tak keberatan jika catatan itu diajarkan di kelas.
Tapi, semua berubah ketika catatan itu telah keluar dalam bentuk buku. "Dia (Tijdeman) tak bisa berbuat apa-apa karena Jaksa Agung telah menuntut," kata Johanna dalam suratnya empat hari kemudian kepada E. Gobee, kolega Douwes Dekker, yang juga penasihat pemerintah untuk urusan pribumi.
Babak baru perseteruannya dengan pemerintah kolonial itu bermula beberapa waktu sebelumnya, ketika Douwes Dekker, yang bermaksud tak mau lagi mencari masalah, mengirim naskah-naskah yang telah dan akan dipakai oleh Ksatrian Instituut kepada Tijdeman. Termasuk di antaranya bagian pertama buku tentang sejarah Asia Timur.
Semua berlanjut hingga Juli 1936, ketika ulasan tentang Asia Timur dikirimkan kepada 20-an surat kabar berbahasa Melayu dan Cina-Melayu. Salinan gratis juga dikirimkan ke departemen pemerintah, seperti Kantor Pendidikan dan Kejaksaan Agung.
Membaca buku itu, pemerintah Hindia Belanda meradang. Sedikitnya 16 bagian—terdiri atas 27 kalimat dan 54 baris dari sekitar 270 halaman—dalam buku itu dinilai tak layak karena berbau propaganda anti-Barat dan pro-Jepang. Pemerintah lalu mengirim Wakil Jaksa Agung T.M. de la Parra dari Batavia ke Bandung menyelidiki kasus DD.
Interogasi berlangsung lima hari. Sebulan kemudian, Kejaksaan menuntut DD. Dia dituding menyebarkan permusuhan, kebencian, dan penghinaan. Penuntut umum beranggapan buku Asia Timur mempertentangkan "Barat" sebagai kelompok yang ternoda dan mementingkan diri sendiri dengan "Timur", yang simpatik dan indah.
Penuntut umum membuka lagi kasus lama Douswes Dekker, lebih dari dua dasawarsa sebelumnya, ketika bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat dicap pemerintahan Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg sebagai orang yang membahayakan negara. Jaksa ingin membuktikan penulis masih memiliki mental yang sama dan diragukan bakal berubah.
Dibantu pengacara P.A. Ursone, ia menyesalkan tindakan penuntut umum yang alih-alih mencari fakta untuk menyanggah bukunya, malah mendakwanya hanya dengan kecurigaan perlawanannya terhadap pemerintahan kolonial. Untuk membuktikan tak berat sebelah, dia menyodorkan beberapa bagian buku yang menyanjung "Barat". Dia juga menampilkan 138 kalimat yang mengkritik Asia.
Usaha itu sia-sia. Pengadilan menghukumnya pada 5 Desember 1936. Upaya banding tak lebih baik karena pada 1 Juni 1937 Pengadilan Tinggi hanya mengganti hukuman tiga bulan kurungan dengan denda 300 gulden plus biaya perkara. DD, yang tahun itu genap 58 tahun, tak bisa menghindari hukuman terberatnya: pemusnahan semua karyanya.
Sekitar 505 buku yang disita dari Bandung dimusnahkan. Paul W. van der Veur dalam buku The Lion and the Gadfly menulis: "Mungkin hanya sedikit orang melihat cahaya aneh di sebagian langit Batavia pada suatu malam di pertengahan 1937. Ketika ratusan salinan buku DD tentang Asia Timur dibakar hingga menjadi abu. Asap menggelung ke atas, menggelapkan bulan yang pucat."
Pembakaran itu melengkapi serangan bertubi-tubi terhadap DD. Sebelumnya, pada 20 Februari 1937, Gubernur Jawa Barat L.G.C.A. van der Hoek melarangnya mengajar untuk waktu yang tak terbatas. Direktur Pendidikan A.D.A. de Kat Angelino juga memerintahkan sekolah-sekolah bersubsidi agar tidak menyebarkan aneka naskah Ksatrian Instituut.
Akibatnya, Douwes Dekker terancam bangkrut. Menjelang akhir 1940, harapan baru muncul dari Mohammad Hoesni Thamrin, kawan lama sekaligus Ketua Dewan Pengawas Ksatrian Instituut yang duduk di Volksraad. Thamrin menawari mentornya pekerjaan memasok hasil survei ekonomi Hindia kepada Sato Nobuhide, pengusaha yang oleh intelijen Belanda diduga sebagai mata-mata Jepang.
Pada masa itu, kekuatan Jepang merangsek ke Indonesia. Lewat misi ekonomi untuk meminta pasokan minyak mentah dan karet, delegasi Jepang dipimpin Menteri Perdagangan dan Industri Jepang Ichizo Kobayashi datang ke Batavia pada 16 September dan 12 November 1940. Namun Frans Glissenaar, penulis buku biografi Douwes Dekker, menyebutkan delegasi Jepang yang telah datang sebelumnya juga menemui kaum nasionalis Indonesia, seperti Hoesni Thamrin, P.F. Dahler, dan DD.
Tokoh-tokoh nasionalis mulai kepincut Negeri Matahari Terbit karena dianggap bisa membantu membebaskan Indonesia. Terlebih setelah pemerintahan Ratu Wilhelmina takluk di tangan Jerman. Bob Hering dalam biografi Mohammad Hoesni Thamrin mengutip surat kabar Soeara Oemoem: "Mekah merupakan kota suci umat Islam, tapi Tokyo di masa depan akan menjadi magnet kaum intelektual kita."
Setelah mendapat restu Pejabat Direktur Pendidikan Hoesein Djajadiningrat, Douwes Dekker menerima tawaran Thamrin. Laporan berkalanya kepada Sato disampaikan melalui Joesoef Hasan, calon suami Hadidjah Thamrin, keponakan sekaligus sekretaris kedua Thamrin. Hasan, yang fasih berbahasa Jepang karena pernah belajar di Tokyo, diminta Thamrin membantu Douwes Dekker.
Rupanya, berbagai aktivitas Douwes Dekker dan Thamrin dengan Jepang sejak awal terekam radar dinas rahasia politik, Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Senin pagi, 6 Januari 1941, tiga reserse PID menggeledah rumah Thamrin di Jalan Sawah Besar Nomor 32, Batavia.
Thamrin masih terbaring di atas tempat tidurnya karena sakit ketika intelijen menemukan sejumlah dokumen. Termasuk di antaranya salinan survei ekonomi Douwes Dekker untuk Sato. Malam itu juga PID menggeledah rumah Ratulangie, Dahler, dan kantor koran Hong Po, yang disponsori Jepang. DD ditangkap di rumah Dahler, tempat dia selalu menginap di Batavia. Penggeledahan berlanjut di kediaman Douwes Dekker di Bandung.
Lima hari kemudian Thamrin, yang menjadi tahanan rumah, wafat. Adapun Douwes Dekker, yang telah sepekan dibui dan diinterogasi, dikirim ke Penjara Ngawi, Jawa Timur. Dia bergabung bersama 683 tahanan, yang di antaranya simpatisan Nationaal Socialistische Bond (partai fasis Belanda yang pro-Nazi), keturunan Jerman, dan Austria, serta orang-orang yang dituduh berhubungan dengan Jepang.
Dua bulan di penjara, ia mendadak mengalami kebutaan—mata kirinya sama sekali tak bisa melihat, sedangkan yang kanan sangat kabur—sehingga harus dirawat beberapa bulan di Rumah Sakit Magelang. Banyak yang ragu akan kebutaan ini dan menganggap Douwes Dekker hanya ingin melarikan diri dari kondisi penjara yang buruk.
Menjelang akhir 1941, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh mempunyai ide memindahkan 100-an tahanan paling fanatik. Pada 21 Januari 1942, sekitar 130 tahanan digiring ke bus dalam penjagaan ketat menuju Madiun untuk selanjutnya ke Surabaya menggunakan kereta bersama 17 tahanan lain dari Batavia dan Cirebon. Di Pelabuhan Surabaya telah menunggu kapal Tjisadane, yang kelak selama 40 hari perjalanan menuju Suriname. DD di antara mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo