Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara banyak bangunan yang menghampar di Kampung Harapan, Sentani Timur, Jayapura, Stadion Papua Bangkit paling mentereng. Stadion berkapasitas 40 ribu orang ini berbentuk oval dengan ornamen honai, rumah adat Papua. Bangunannya mencolok karena didominasi cat kuning dan putih gading. Menghadap Danau Sentani, stadion ini menjadi pusat kegiatan warga Jayapura untuk berolahraga pada pagi atau sore.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan stadion ini selesai pada Juni 2019. Gubernur Papua Lukas Enembe yang meresmikannya. Karena itu, namanya waktu itu Stadion Lukas Enembe. Pemerintah Papua mengeluarkan Rp 1,3 triliun untuk stadion yang memunggungi Pegunungan Cycloop itu. “Namanya berubah setelah Pak Lukas terkena masalah hukum,” kata Tajuddin, pengendara taksi yang mangkal di sekitar stadion. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Lukas sebagai tersangka korupsi pada September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak era pemerintahan kolonial Belanda, area stadion itu merupakan kawasan pusat lembaga pendidikan. Karena itu, nama area ini terkenal sebagai Kota Nica. "Nica" di situ merujuk pada Nederlandsch Indische Civiele Administratie alias NICA. Di sekeliling stadion masih ada sekolah dan asrama. Di antaranya Sekolah Dasar Negeri Inpres Kampung Harapan, Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Sentani, Sekolah Menengah Atas Lentera Harapan, dan asrama Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Dua. Namun sekolah bestuur atau sekolah pamong praja sudah tak tampak.
Frans Kaisiepo salah satu alumnus sekolah bestuur. Ia lulus pada 1 Januari 1945. Ketika lulus, Frans berusia 24 tahun. Sebelum meneruskan studi ke sekolah bestuur, ia bersekolah guru di Miei di dekat Manokwari—terpisah hampir 850 kilometer. Manokwari kini menjadi ibu kota Papua Barat, sementara Jayapura masih ibu kota Papua. Setelah lulus dari sekolah guru pada 1936, Frans menjadi guru di Sekolah Rakyat Biak, tempat kelahirannya, yang berjarak 215 kilometer.
Putra Putri Irian Barat menytakan sumpah setiia kepada Republik Indonesia di depan Presiden Soekarno, di Jakarta, 1961. Dok Perpustakaan Nasional
Di sekolah bestuur, Frans bertemu dengan siswa lain yang kelak menjadi aktivis Papua: Silas Papare, Marthen Indey, Lukas Rumkorem, dan Corinus Krey. Di sana juga Frans berjumpa dengan Soegoro Atmoprasodjo, orang Yogyakarta yang dibuang ke Boven Digoel oleh pemerintah kolonial.
NICA mengangkat Soegoro, guru Tamansiswa, sebagai penasihat direktur pendidikan dan agama di Papua. NICA kepincut oleh gagasan Soegoro yang menulis pamflet "Pendidikan dan Pengajaran Sebelum Perang Tak Berguna Selama dan Sesudah Perang". NICA memintanya mempraktikkan gagasan itu. Lantas berdirilah sekolah pamong pada 1945.
Alih-alih mengajar kepamongan, Soegoro memberi murid-muridnya pengetahuan tentang kolonialisme, nasionalisme, patriotisme, hingga perlunya bebas dari penjajahan Belanda. Dalam buku Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Soegoro diceritakan aktif bertemu secara rahasia dengan para pemuda Papua, bukan hanya siswa sekolah bestuur.
Soegoro mendoktrin para pemuda Papua tentang pentingnya penyatuan Nederlands Nieuw-Guinea atau Papua Barat dengan Indonesia. Waktu itu gagasan tentang Nusantara yang bersatu kian mengerucut menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Soegoro, menurut Buku Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo, juga melatih pemuda Papua menyanyikan lagu "Indonesia Raya".
Frans termasuk pemuda Papua yang pertama kali mengumandangkan lagu itu di Kota Nica pada 14 Agustus 1945. Pada 31 Agustus, ketika Ratu Belanda Wilhelmina berulang tahun, para pemuda Papua mengibarkan bendera Merah Putih di kota itu.
Untuk menyatukan para pemuda secara lebih luas, Soegoro membentuk Dewan Purwa Kelan Suku. Anggotanya para pemuda dari berbagai suku di Papua. Lembaga informal ini tak hanya mendiskusikan urusan belajar di sekolah, tapi juga bertukar pikiran tentang kemerdekaan. Frans salah satu pemuda yang aktif di lembaga tersebut.
Meski Sukarno-Hatta telah memproklamasikan Indonesia di Jakarta, Belanda masih bercokol di Papua. Karena itu, para pemuda bersatu menghalaunya. Dalam biografi Marthen Indey dan Silas Papare, para pemuda sepakat mengangkat senjata mengusir Belanda pada 25 Desember 1945.
Untuk menambah kekuatan, para pemuda mendekati batalion Papua. Batalion ini dibentuk sebelum kedatangan tentara Sekutu. Intens melobi kanan-kiri, dalam catatan Frans Kaisiepo, pemuda yang bergabung hendak mengusir Belanda berjumlah 250 orang. Angkat senjata belum dimulai, NICA mencium rencana itu. Memakai bantuan tentara Rabaul dari Papua Nugini, Belanda menangkap Soegoro dan para pemuda pengikutnya.
Penangkapan itu membuat para pemuda mengubah strategi. Mereka tak akan lagi memakai jalan kekerasan dengan mengangkat senjata. Mereka akan mengusir Belanda dengan cara diplomasi melalui organisasi dan partai politik. Sekeluar dari penjara, Silas Papare mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian pada 29 November 1946 di Serui. Lukas Rumkorem dan Frans Kaisiepo mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak pada 10 Juli 1946.
Samuel Manggaprouw, suami Susana Kaisiepo, anak kedua Frans dari istri pertama, mengatakan mertuanya kerap menceritakan kisah hidupnya di Jayapura, terutama suka-dukanya mendirikan Partai Indonesia Merdeka. Menurut Samuel, Frans bercerita bahwa pengorganisasian partai di masa itu begitu sulit. Belanda menolak keinginan para pemuda yang meminta Papua bergabung dengan Indonesia.
Selain memimpin partai bersama Lukas, Frans bekerja sebagai Kepala Distrik Biak Utara yang bermukim di Warsa. Dalam buku Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo, Frans menceritakan misi Partai Indonesia Merdeka adalah memberi pemahaman kepada masyarakat Papua Barat tentang tujuan Indonesia merdeka. Karena dipantau Belanda, anggota partai acap bertemu secara sembunyi-sembunyi.
Para elite partai lalu turun ke masyarakat untuk meraih dukungan bagi keinginan menggabungkan Papua ke Indonesia agar lepas dari cengkeraman Belanda. Di partai, Frans kembali ke strategi lama, yakni melawan dengan mengangkat senjata. Karena itu, anggota partai dipersenjatai.
Lagi-lagi rencana Lukas Rumkorem dan Frans Kaisiepo terendus NICA. Tentara Belanda menciduk Lukas dan membawanya ke penjara Jayapura. Waktu itu 1947. Lukas menghuni bui selama setahun. Aktivitas Frans memobilisasi masa agar mendukung integrasi Papua ke Indonesia membuat pemerintah Orde Baru menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 1993—14 tahun setelah kematiannya.
Anak-anak Frans menolak jenazah ayah mereka dikuburkan di taman makam pahlawan. “Kami menolak meski ada tawaran dari pemerintah,” tutur Antonius Victor Kaisiepo, anak keempat Frans Kaisiepo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berhimpun Melawan Belanda"