Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kiprah M.H Thamrin di Gemeenteraad Batavia: Mengangkat Derajat Rakyat Miskin Kota

Saat menjadi anggota Gemeenteraad, M.H. Thamrin memberikan beragam gagasan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat kecil.

18 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAAT memulai kiprahnya di dunia politik, Mohammad Hoesni Thamrin menemukan wadah untuk menyalurkan gagasannya di Gemeenteraad Batavia. Dia mengangkat berbagai masalah sosial ketika aktif di dewan kota tersebut. Sejumlah foto kiprahnya ketika menjadi anggota Dewan Kota Batavia terpampang di Museum M.H. Thamrin di bilangan Kenari, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ide Thamrin selalu jadi pembahasan. Banyak isu yang ia angkat, dari perbaikan lingkungan Batavia, sarana, fasilitas umum, hingga persediaan air,” kata Maya Ilalang, pemandu Museum M.H. Thamrin, kepada Tempo, Rabu, 31 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gemeenteraad Batavia adalah dewan kota tertua di Indonesia. Lembaga yang setara dengan dewan perwakilan rakyat daerah ini dibentuk pada 1905 saat Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz berkuasa. Gemeenteraad menjadi lembaga perwakilan pertama yang dibangun oleh birokrasi kolonial yang diilhami Politik Etis.

M.H. Thamrin sebetulnya tak langsung menjadi anggota Gemeenteraad. Lulus sekolah, ia mengawali kerja dengan bermagang di kantor Kepatihan Betawi. Lalu ia dipindahkan ke kantor Residen Batavia.

Meski mendapat penghasilan yang cukup di kantor pemerintahan tersebut, Thamrin merasa tidak betah. Dalam buku Melawan dalam Volksraad karya Toto Widyarsono disebutkan ia bekerja di instansi tersebut lantaran memenuhi harapan orang tuanya.

Thamrin kemudian mengundurkan diri dan pindah ke perusahaan pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Ia bekerja di bagian pemegang pembukuan (boekhouder). Sambil bekerja, ia belajar tentang politik secara otodidaktik dan terus mengikuti perkembangan di masyarakat. 

Pertemuan Dewan Kota Batavia pada tahun 1930. (foto: Dok. Tropenmuseum)

Di KPM, ia berkenalan dengan Daan van der Zee, seorang nasionalis berkebangsaan Belanda yang menjabat Sekretaris Gemeenteraad yang cukup terkenal di Batavia. Sama-sama meminati isu kemasyarakatan, Thamrin dan Van der Zee kian dekat. Thamrin kerap datang ke rumah Van der Zee untuk berdiskusi dan berdebat tentang berbagai masalah politik. 

Pengetahuan politik Thamrin terus bertambah. Sebagai timbal balik, Van der Zee pun membutuhkan berbagai gagasan Thamrin mengenai masalah yang dihadapi masyarakat Betawi untuk selanjutnya dibawa ke forum persidangan Gemeenteraad. 

Salah satu gagasan Thamrin yang disampaikan Van der Zee ke forum adalah usaha menanggulangi banjir akibat luapan air Sungai Ciliwung yang kerap melanda. Gagasan tersebut mendapat tanggapan positif dari Gubernur Jenderal.

Selain dekat dengan Van der Zee, Thamrin bersahabat dengan sejumlah tokoh sosialis Belanda, seperti Sam Koperberg dan Douwes Dekker. Persahabatan dengan mereka turut memantapkan langkah Thamrin terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota Dewan Kota Batavia.

Berkat dorongan Van der Zee, Thamrin maju dan mendapat persetujuan asosiasi pemilih Batavia menjadi calon anggota Dewan. Pada 27 Oktober 1919, Thamrin yang saat itu berusia 25 tahun diangkat sebagai anggota Dewan Kota. 

Setelah masuk Dewan Kota, Thamrin makin getol menyampaikan berbagai ide perbaikan kondisi sosial dan sanitasi bagi masyarakat Betawi. Ia pun berkembang menjadi legislator dengan kemampuan pidato dan gaya berdebat yang membangkitkan rasa hormat serta kagum kawan ataupun lawan. 

D.M.G. Koch dalam bukunya, Om de Vrijheid: De Nationalistische Beweging in Indonesia, menulis bahwa kebijaksanaan dan ketajaman otak Thamrin dalam berdebat kerap menyudutkan pemerintah ke posisi yang sulit sehingga mereka kewalahan memberi jawaban.

Tahun kedua di Dewan Kota, Thamrin mulai menunjukkan kalibernya sebagai anggota yang militan. Dalam biografi berjudul M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia, Bob Hering menulis bahwa Thamrin ikut dalam beragam rencana bagi kepentingan penduduk miskin Betawi. Ia menyarankan perbaikan pengelolaan distribusi beras, pengadaan fasilitas drainase yang layak, serta penyediaan pasokan air bersih ke kampung-kampung. 

Banjir di salah satu bagian Kota Batavia pada masa kolonial Belanda.. (Wikimedia Commons)

Dalam salah satu notula rapat Gemeenteraad Batavia disebutkan bahwa Thamrin meminta penyiraman diadakan setiap hari bagi kampung yang berdebu dengan pemasangan pompa. Keberadaan pompa-pompa ini juga akan mempermudah pemadaman kebakaran.

Thamrin pun mengangkat isu ketenagakerjaan saat itu. Ia menuntut perbaikan kondisi kerja penarik kereta, sopir, dan pengelola warung makan kecil serta bantuan untuk pendampingan pengemis dan gelandangan, juga pendirian sekolah perempuan pribumi. 

Sayangnya, usulnya tentang sekolah perempuan itu dikalahkan dengan perolehan suara 4 berbanding 9 dalam sidang di Dewan Kota. Thamrin juga menyampaikan keluhan mengenai buruknya penerangan jalan di kampung.

Thamrin pun masih bertemu dengan Van der Zee membahas gagasan pembangunan suatu kanal besar untuk mengatasi banjir. Ia menyarankan pembangunan itu menghubungkan Sungai Ciliwung dengan Sungai Krukut untuk mengatasi banjir yang secara periodik terjadi pada daerah rendah di pinggir Batavia.

Selanjutnya, Van der Zee menggelar pertemuan dengan Hendrik van Breen, wali kota sementara Batavia, pada awal 1920-an. Saat itu Van Breen mendapat tugas membangun fasilitas pengontrol banjir di dalam kota dan sekitarnya. 

Thamrin juga segera mengarahkan perhatian Dewan Kota pada masalah-masalah di kampung Betawi. Dalam pertemuan pada 7 Maret 1921, ia mengkritik keras pendekatan Dewan. 

Thamrin, yang mendapat dukungan dari Van der Zee dan Roelof Schotman, seorang sosial demokrat, menilai para anggota Dewan mengidap penyakit “kurang peduli pada masalah sosial, karena menurut mereka perhatian Dewan berhenti di pinggir kampung saja”. 

Thamrin juga berani berbeda pendapat dengan wali kota demi menjaga kepentingan penduduk pribumi. Delapan tahun sebelum dia menjadi anggota Dewan Kota, para pemilik tanah partikelir secara berkala mengeringkan daerah kampung yang terendam air tapi kemudian hal itu tidak dilakukan. 

Pembangunan pintu air Manggarai pada tahun 1922 atas dasar ide Mohammad Hoesni Thamrin untuk menanggulangi masalah banjir di Jakarta (Repro: Tempo/M Taufan Rengganis)

Perbaikan kampung itu di daerah Kramat dan Kwitang ditunda dan dialihkan ke kawasan Menteng, tempat kediaman eksklusif orang Eropa. Daerah permakaman pribumi pun selalu terkena banjir pada saat musim hujan sehingga tidak mungkin melakukan penguburan.

Lalu Thamrin menyoroti perbedaan harga tanah di permakaman orang Eropa di Landhof yang seharga 10 gulden dan bisa menjadi hak milik. Kondisi ini berbeda dengan harga tanah di permakaman pribumi di Mangga Dua yang sebesar 4,5 gulden tanpa hak milik. 

Dalam notula rapat pada 1921, wali kota saat itu menyatakan akan segera dilakukan penyelidikan atas berbagai masalah kampung dan permakaman yang jomplang itu. 

Gagasan Thamrin tentang perbaikan kampung dan kerajinannya mengkritik wali kota pun mendapat dukungan anggota Dewan Kota lain, V.J. van Marle. Dalam sidang 28 Oktober 1921, Van Marle melaporkan bahwa jalan raya Batavia yang lebar kontras dengan gang-gang di kampung. 

“Jalan raya yang bagus hanya menyembunyikan kampung-kampung jorok dengan lorong yang tidak dapat dilewati,” tutur Van Marle. 

Marle juga mengkritik wali kota yang banyak menghabiskan waktu senggangnya dengan melakukan perjalanan ke luar Jawa. Ada kesan wali kota enggan memperbaiki kampung selama tanah itu milik tuan tanah. 

Thamrin setuju dengan Van Marle. Thamrin menilai Batavia masih tetap seperti lukisan dengan pigura bagus, berhias vila yang luas dan jalan yang lebar, sementara kampung-kampung terwakili pada kanvas tak berharga. Thamrin mengingatkan, ada ratusan ribu penduduk yang setiap hari hidup dalam ancaman wabah penyakit bila sanitasinya buruk. 

Ia kemudian menyarankan penyediaan dana 100 ribu gulden dari pemotongan berbagai pos anggaran Dewan untuk dialokasikan ke anggaran perbaikan umum dan kebersihan kampung. Ia juga menyarankan percepatan pelaksanaan program dengan menyewa 100 kuli dari kampung-kampung. 

Sayangnya, wali kota saat itu, A. Meyroos, menolak menyisihkan dana yang disarankan Thamrin. Ia berkukuh tetap menganggarkan 30 ribu gulden bagi sektor pribumi dan hendak menunggu hasil perbaikan kampung. 

Semangat Thamrin membela warga, gang, dan kampung terus menular ke anggota Dewan lain. Di antaranya Zainoel Arifin dan Raden Goernita Soebrata. Mereka meminta Wali Kota Meyroos dan para anggota Dewan lain menempatkan diri mereka sejenak dalam posisi kaum pribumi untuk merasakan kepahitan.

Thamrin dan kawan-kawannya juga mengusulkan kepala bagian tanah permakaman diganti karena pejabat saat itu menunjukkan ketidakcakapan ketika menjelaskan masalah banjir di Karet. 

Para pengurus dan anggota Kaum Betawi, pada tahun 1928. https://dinaskebudayaan.jakarta.go.id/

Akhirnya Thamrin bersama Arifin dan Soebrata mengajukan mosi agar tambahan anggaran 1923 bagi keperluan tersebut diambil dari peningkatan pendapatan bangunan. Setelah mendengarkan persetujuan Roelof Schotman dan P.F. Dahler ihwal suara lantang anggota Dewan dari kalangan pribumi tersebut, Wali Kota setuju membicarakannya dalam sidang berikutnya. 

Thamrin dan teman-temannya kian menyadari perlunya mengambil langkah bersama guna lebih mengedepankan kepentingan spesifik kaum miskin di pinggiran Betawi. Pada akhir 1923, mereka mendirikan organisasi Kaoem Betawi yang dipimpin Thamrin. 

Sejak itu, Thamrin kian getol memperjuangkan anggaran untuk mengatasi masalah kampung dalam berbagai sidang Dewan Kota. Dalam sidang akhir 1923, ia mendapat persetujuan tambahan anggaran sebesar 30 ribu gulden yang dialokasikan untuk mengatasi masalah kampung. 

Tahun berikutnya, ia masih mengangkat isu gawatnya keadaan kaum miskin di pinggiran Betawi. Mereka sering kekurangan makan atau tinggal berjubel di pondok tanpa ventilasi dengan anggota keluarga empat-lima orang. Para pemilik rumah sewa harus mendapatkan sekitar 65 gulden per tahun, sementara mereka juga harus membayar pajak 10-25 gulden per tahun. 

Agar para pejabat lebih memahami kondisi masyarakatnya, Thamrin mengundang wali kota dan anggota Dewan blusukan meninjau kampung agar menyaksikan sendiri keadaan fisik dan sosial warga setempat. Ia bertanya apakah sikap wali kota dalam menaikkan pajak penduduk masuk akal. 

Kaoem Betawi yang didirikan Thamrin dan M. Masserie itu merupakan organisasi kecil yang menghimpun masyarakat Betawi. Kelompok ini berkegiatan mulai 11 Juli 1924. 

Salah satu capaian utama Thamrin adalah soal kebijakan distribusi air gratis. Ia mengutip rencana kota praja menjual air bersih dari hidran kota. Melihat contoh kasus di Bangkok, Thailand, Thamrin menyarankan distribusi air bersih secara gratis. Hal ini menjadi bagian dari langkah perbaikan sanitasi dalam memerangi epidemi. 

Dalam berbagai perdebatan, sebagian besar anggota Dewan, juga wali kota, setuju dengan Thamrin. Hanya dengan jaringan pipa air yang merambah kampung, persoalan kurangnya pasokan air bersih dengan hidran dan tukang pikul air dapat teratasi. 

Selama Thamrin duduk di Gemeenteraad, pekerjaannya sebagai pemegang perbukuan di Koninklijke Paketvaart Maatschappij dijalankan dengan baik. Namun hubungan Thamrin dengan atasannya di KPM mulai tidak harmonis. Sikap Thamrin yang keras di forum Dewan Kota memunculkan pandangan tidak simpatik dari atasannya yang memandang bawahannya itu telah menjadi tuan besar di luar kantor KPM. 

Petinggi KPM pernah menawari Thamrin pindah ke kantor cabang di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dengan pangkat dan gaji lebih tinggi. Namun Thamrin menolaknya. Ia merasa atasannya bermaksud menyingkirkannya. Pada 17 September 1924, Thamrin mengundurkan diri sebagai pegawai di perusahaan pelayaran tersebut.

Setelah status Gemeente Batavia diubah menjadi Stadsgemeente, Dewan mengusulkan pembentukan wethouders. Anggota wethouders diangkat oleh Dewan. Lembaga ini dibentuk untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintah daerah. Wethouders antara lain bertanggung jawab di bidang pekuburan, urusan golongan pribumi, usaha pasar, pelelangan ikan, dan perumahan rakyat.

Pada 1929, terjadi polemik dalam Gemeenteraad ketika jabatan locoburgemeester II (wakil II wali kota) diserahkan kepada seorang anggota wethouders Belanda yang masih muda. Thamrin sebagai anggota yang lebih senior dan berpengalaman dengan dukungan orang Indonesia yang duduk di Dewan Kota mengajukan protes. Akhirnya pemilihan ulang dilangsungkan. 

Tidak lama kemudian, pada Januari 1930, Thamrin diangkat menjadi locoburgemeester II. Hanya dalam tempo enam bulan sesudah itu, Thamrin dipercaya menduduki jabatan locoburgemeester I (wakil I wali kota). Kenaikan jabatan itu menunjukkan kapasitas dan prestasinya sebagai anggota Dewan. 

Pada masa itu, Thamrin juga mencari cara agar perjuangannya lebih bermakna dan bisa membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia, tak sebatas di Batavia. Kesempatan berkiprah di gelanggang perjuangan yang lebih luas pun terbuka ketika Thamrin diangkat menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat pada usia 33 tahun.*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mengangkat Derajat Rakyat Miskin Batavia"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus