Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BATAVIA, 23-25 Desember 1939. Gedung Permufakatan di Gang Kenari Nomor 15, Batavia, ramai oleh para aktivis dan kaum pergerakan. Mereka mewakili 90 organisasi dan partai politik. Tujuan mereka satu: mengadakan Kongres Rakyat Indonesia. Forum ini membahas sejumlah agenda mendesak: pembentukan parlemen serta penetapan Merah Putih sebagai bendera nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan “Indonesia Raya” sebagai lagu kebangsaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggagas kongres itu adalah Mohammad Hoesni Thamrin lewat organisasi Gabungan Politik Indonesia, yang dikenal dengan sebutan GAPI. Aliansi partai-partai politik ini bertujuan memperjuangkan kemandirian bangsa Indonesia. Thamrin resah terhadap situasi politik saat itu yang makin merugikan Indonesia. “Thamrin lalu memobilisasi partai-partai untuk membentuk GAPI dan melakukan bargaining dengan Belanda,” kata sejarawan J.J Rizal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jejak-jejak Thamrin, GAPI, para aktivis pergerakan, dan kongres tersebut tersimpan di gedung yang kini menjadi Museum M.H. Thamrin itu. Bentuknya berupa dokumen, foto, diorama, juga sejumlah benda bersejarah. Ada pula replika biola Wage Rudolf Supratman yang diapit dokumen lagu “Indonesia Raya” karyanya. “W.R. Supratman tidak sempat melihat pengesahan lagu ‘Indonesia Raya’ menjadi lagu kebangsaan,” kata Maya, pemandu museum. Supratman meninggal di Surabaya, 17 Agustus 1938.
Tapi Maya tidak mengetahui lokasi persis para aktivis pergerakan itu berkongres. Gedung itu terbagi dalam dua bagian besar. Salah satunya menyerupai aula dan menjadi ruang koleksi benda bersejarah. Bagian sayap kanan yang lebih kecil kini disekat-sekat menjadi perpustakaan, ruang rapat, dan lain-lain. “Mungkin di ruangan ini,” ujar Maya ketika berada di ruang pamer koleksi tersebut. Melihat luasnya ruangan yang bisa memuat banyak orang, memang mungkin kongres itu digelar di sana.
Namun ada foto yang memperlihatkan M.H. Thamrin dan para aktivis pergerakan lain dalam kongres itu berada di depan gedung. Menurut Maya, “Mungkin mereka cuma berfoto di sana.”
Mohammad Hoesni Thamrin (duduk paling kiri) bersama para tokoh GAPI. (Koleksi Muspada/ https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/)
Kongres Rakyat Indonesia adalah salah satu peristiwa monumental perlawanan kelompok aktivis yang kooperatif dengan pemerintah kolonial. Dari sanalah gagasan besar “Indonesia Berparlemen” muncul dan menggema ke seantero Indonesia. Ini adalah sebuah upaya mewujudkan parlemen Indonesia dengan anggota-anggota yang dipilih rakyat.
Tentu jalan menuju kongres itu sangat berliku. Sebelumnya, Thamrin dan GAPI mengadakan rapat umum di 98 tempat dengan total peserta sekitar 81 ribu orang. Ia pun terus melakukan berbagai lobi politik dan meyakinkan banyak orang agar mendukung gerakan ini. Buat Thamrin, semangat perlawanan mesti terus digelorakan demi menekan Belanda agar lebih akomodatif terhadap suara kaum pergerakan.
Kala itu pemerintah Belanda membungkam kaum pergerakan dengan berbagai cara. Sejumlah tokoh nonkooperatif, seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, dibuang ke luar Jawa. Bahkan suara yang lebih moderat pun, seperti Petisi Soetardjo, tidak digubris pemerintah kolonial. Petisi itu mendorong diadakannya musyawarah antara wakil Indonesia dan Belanda untuk membentuk pemerintahan Indonesia dalam kerangka konstitusi Belanda.
Penggagas petisi itu adalah Soetardjo Kartohadikoesoemo, Ketua Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra, pada 15 Juli 1936. Petisi tersebut adalah buntut ketidakpuasan bumiputra terhadap pemerintah kolonial akibat kebijakan politik Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge. Petisi ini juga ditandatangani Ignatius Joseph Kasimo, G.S.S.J. Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong.
Namun Belanda menolak petisi itu lewat Dekret Kerajaan pada 16 November 1938. Bob Hering menulis dalam M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme bahwa Mahkota Kerajaan menolak Petisi Soetardjo karena sejumlah pertimbangan menyangkut isu otonomi dan implikasinya. Konstitusi Belanda tidak memuat perihal itu dan tidak memberikan status otonomi kepada Hindia Belanda dalam imperium Belanda.
Dalam sebuah surat, seperti dikutip Bob Hering dalam bukunya, Thamrin begitu kecewa terhadap sikap Belanda yang menolak Petisi Soetardjo. “Saya kecewa dengan perilaku Welter (wakil pemerintah Belanda) dalam menghadapi petisi Soetardjo,” tulis Thamrin. Ia memang tidak sejalan dengan petisi yang cenderung meminta otonomi, bukan merdeka atau menentukan nasib sendiri. Namun Thamrin tetap membela petisi tersebut.
Pada 10 Juli 1939, di Volksraad, Soetardjo mengapresiasi pembentukan Gabungan Politik Indonesia oleh Thamrin. “Ia menyinggung apa yang dilakukan Thamrin merupakan jawaban tepat Indonesia satu-satunya terhadap penolakan Mahkota akan petisi 1936,” ujar Bob Hering. Sebelumnya, pada 9 Juli 1939, Soetardjo memperingatkan dewan bahwa Thamrin akan melakukan aksi jika petisinya ditolak.
Belanda memang takut betul terhadap gerakan Thamrin dan kawan-kawan. Menurut Bob Hering, Petisi Soetardjo ditolak karena penguasa Belanda telah mengetahui permainan pengikut Thamrin dalam menghubungkan perkembangan luar negeri dengan isu internal imperium Belanda. “Pelapor menyimpulkan bahwa Thamrin dan pengikutnya akan terus memecah kepaduan Belanda dengan regenerasi kaum nasionalis yang sedang dalam proses berkembang.”
Intelijen Belanda melapor ke Rotterdam bahwa Thamrin memimpin Fraksi Nasional dan Seksi Propaganda Partai Indonesia Raya (Parindra). “Dan (Thamrin) menjadi orang paling terkemuka, tidak hanya di Parindra tetapi juga di seluruh gerakan nasionalis,” tulis Bob Hering. Thamrin dianggap mempunyai hubungan dengan Jepang dan memusuhi penguasa Belanda. Pejabat di “pusat” pun mempercayai laporan itu.
Museum M.H. Thamrin di Gang Kenari, No.15, Jakarta, yang dulunya bernama Gedoeng Permoefakatan tempat berlangsungnya Kongres Rakyat Indonesia, 9 Juli 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Ide Kongres Rakyat Indonesia berawal dari pembentukan GAPI pada 21 Mei 1939 dalam sebuah pertemuan di Gang Kenari 15, Batavia. Organisasi ini menjadi forum aliansi partai politik seperti Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Parindra, Pasundan, Perserikatan Minahasa, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Indonesia. Pertemuan itu dihadiri tokoh-tokoh partai tersebut.
Selain Thamrin, ada Soekardjo Wirjopranoto yang mewakili Parindra. Ada juga Abikoesno Tjokrosoejoso, Sjahboedin Latif, Mohammad Sjafii, Atik Suardi, Soedarma Soeradiredja, Oekar Bratakoesoema, Sanoesi Pane, Amir Sjarifuddin, Wilopo, dan tokoh lain. I.J. Kasimo dari Partai Politik Katolik Indonesia tidak bisa hadir, tapi menyatakan mendukung konsentrasi nasional itu.
Sebetulnya GAPI adalah kelanjutan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) besutan Sukarno dan dr Soekiman. Perhimpunan partai politik itu dibentuk pada 17 Desember 1927, menjelang kelahiran Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. “Thamrin ikut mendukung PPPKI yang digagas Sukarno,” ucap sejarawan dari Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Bondan Kanumoyoso.
Namun, sebelum PPPKI berjalan jauh, pemerintah kolonial menangkap Sukarno dan teman-temannya. Kala itu, pada 1930-1933, terjadi pembungkaman dan represi terhadap tokoh-tokoh pergerakan yang tak kooperatif dengan Belanda. Mereka berbeda dengan Thamrin yang berada dalam sistem pemerintahan Belanda, yakni Volksraad. Karena berjuang lewat jalur resmi, Thamrin tidak bisa dibungkam ataupun ditangkap.
Hal itu membuat posisi Thamrin sangat strategis karena ia bisa menyuarakan perjuangan kemerdekaan dari dalam struktur pemerintahan Belanda. “Thamrin melakukan pembelaan-pembelaan di Volksraad terhadap tokoh-tokoh itu,” tutur Bondan. “Ia bergerak dengan cara-cara konstitusional sehingga tidak bisa diperkarakan oleh pemerintah kolonial.” Jadi, meskipun Sukarno dan Thamrin berbeda jalan perjuangan, tujuan mereka sama.
Seperti halnya Sukarno, Thamrin sangat ingin menyatukan semua kekuatan politik untuk menekan pemerintah kolonial. Karena itu, Belanda menganggapnya sebagai tokoh berbahaya. “GAPI penyatuan kekuatan-kekuatan kooperator yang berada di dalam sistem,” ujar Bondan, yang juga Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Namun aliansi ini mengartikulasikan keresahannya di luar sistem karena langkahnya di Volksraad tidak lagi efektif.
Gerakan Indonesia Berparlemen dari GAPI terus menguat. Beberapa pekan sebelum Kongres Rakyat Indonesia, 6 Desember 1939, Thamrin bersama Parindra menggelar rapat umum di gedung Bioskop Rex, Medan. Pertemuan itu dihadiri oleh 1.500 orang. Namun, ketika Thamrin tengah berpidato, polisi masuk ke gedung dan menghentikan pidatonya. Meski begitu, Thamrin aman, tidak mengalami tindakan apa pun dari pemerintah kolonial.
Puncaknya adalah Kongres Rakyat Indonesia itu. “Thamrin sangat taktis. Itu capaian yang luar biasa. Jalur yang ia tempuh sangat berbahaya bagi pemerintah kolonial,” kata Bondan. Adapun JJ Rizal mengatakan, “Thamrin menjadi sosok—dalam istilah Bob Hering—yang menyelamatkan dunia pergerakan dari kematian suara, kematian artikulasi, karena proses pembungkaman dan pembuangan yang masif.”
Tentu saja semua hasil kongres itu ditolak Belanda. Namun Thamrin dan kawan-kawan tak peduli. Mereka terus membangun aliansi hingga tingkat internasional. Apalagi kala itu Belanda hampir bangkrut. Thamrin mencari kekuatan baru untuk memperkuat tekanan terhadap pemerintah kolonial. GAPI juga terus mempopulerkan Indonesia Berparlemen.
Setelah kongres itu, mereka membentuk komite parlemen Indonesia di berbagai daerah. Adapun penolakan terus terjadi dari sejumlah partai di luar aliansi GAPI hingga pers Belanda. Mereka beralasan belum saatnya tuntutan itu diwujudkan. Namun Thamrin bersama GAPI tak tinggal diam.
Pada 18 Januari 1940, Thamrin bersama Abikoesno dan Amir Sjarifuddin menerbitkan pengumuman Kongres Rakyat Indonesia. Mereka mengajak para pemuda Indonesia menjadi propagandis Indonesia Berparlemen serta mengadakan komite, tempat studi, dan arak-arakan umum untuk memuluskan rencana pelaksanaan Indonesia Berparlemen.
Seruan Indonesia Berparlemen terus menggema di mana-mana. Kongres PSII ke-25 di Palembang pada 20-25 Januari 1940 juga didominasi pengumuman Kongres Rakyat Indonesia. Bahkan kongres itu memutuskan “hari mobilisasi spiritual dengan berpuasa dan berdoa” guna mempercepat pencapaian gerakan Indonesia Berparlemen.
Hal itu membuat pejabat kolonial ketakutan karena mereka dianggap mencampurkan politik dengan agama sehingga melayangkan peringatan kepada Ketua PSII Abikoesno. Namun Abikoesno tidak menggubrisnya. “'Hukum dan agama membolehkan jalan untuk memperdalam dan memperluas aksi bagi parlemen,” tutur Abikoesno seperti ditirukan Bob Hering.
Berbagai gerakan GAPI itu muncul karena sikap negatif Staten-Generaal atau Dewan Negara Belanda yang memandang rendah aliansi itu. Pejabat Belanda, A.M. Joekes, menyatakan GAPI pada dasarnya adalah organisasi revolusioner. Merespons hal itu, GAPI menyatakan loyal dan siap bekerja sama dengan Belanda jika mereka menyetujui Indonesia Berparlemen.
Selain itu, GAPI kecewa karena Menteri Welter menyatakan organisasi itu sebagai kelompok kecil yang melakukan agitasi untuk reformasi politik tapi tidak mendapat dukungan mayoritas pemimpin intelektual dan masyarakat Indonesia. Sebagai respons, pada 18 Januari 1940, GAPI mengeluarkan maklumat yang menyebutkan semua pemimpin intelektual dan organisasi rakyat mendukung tujuan Indonesia Berparlemen dan membentuk komite parlemen di seluruh kepulauan.
Aliansi itu lalu mengadakan pertemuan pada 23 Februari 1940 dan terbentuklah 120 komite parlemen Indonesia. Mereka pun menyatakan akan segera ke Belanda untuk menjelaskan tindak lanjut gerakan itu. Kongres sejumlah partai yang menyatakan mendukung ajakan Indonesia Berparlemen memperkuat isu tersebut.
Pada 9 November 1940, Thamrin menyampaikan pidato di Volksraad yang antara lain mengkritik sikap pemerintah kolonial yang begitu menentang, menolak penggantian “Hindia Belanda” menjadi “Indonesia”, dan menganjurkan penggunaan “Indonesia” untuk inlander. “Masa boleh orang menjeboet nama Indonesier dan Indonesisch kalaoe tidak ada nama Indonesia!” Ia melanjutkan, “Adakah teloer, djikalau tidak ada ajamnya.”
Setelah pemerintah kolonial makin terdesak secara politik, dengan terjadinya invasi Nazi Jerman ke Belanda, pada Agustus 1940 GAPI kembali mengeluarkan resolusi untuk mengganti Volksraad dengan parlemen yang anggota-anggotanya dipilih rakyat Indonesia. Mereka juga mendorong perubahan fungsi kepala-kepala departemen menjadi menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
Demi memuluskan langkah itu, GAPI meminta dukungan rakyat serta organisasi sosial, politik, dan ekonomi. Pemerintah Hindia Belanda merespons resolusi itu dengan membentuk komisi yang dipimpin Frans Herman Visman atau Komisi Visman. Namun Thamrin dan GAPI tidak menyetujui pembentukan komisi tersebut. Anggota Volksraad pun tidak merespons dengan baik.
Pada 10 Desember 1940, GAPI mengadakan rapat di Batavia dan memutuskan membentuk satu tim kerja untuk terus mengkampanyekan Indonesia Berparlemen. Tim ini beranggotakan M.H. Thamrin dan Soekardjo Wirjopranoto (Parindra), Abikoesno Cokrosoerjo (PSII), A.K. Gani dan Sartono (Gerindo), serta Ratulangi (Perserikatan Minahasa). Mereka mendapat mandat menyusun konsep Indonesia Berparlemen.
Rencananya, konsep itu akan dikirim ke Komisi Visman sebagai contoh tuntutan konstitusional GAPI. Mereka juga berencana mengadakan Kongres Rakyat Indonesia II. Gerakan politik para aktivis ini berlangsung cepat.
Lalu, dalam rapat Parindra di Yogyakarta pada 28-29 Desember 1940, Thamrin memotivasi teman-temannya untuk terus memperjuangkan terwujudnya Indonesia Berparlemen. “Jangan melepaskan harapan dan jangan putus asa meskipun dalam kenyataannya kampanye Indonesia Berparlemen kita telah ditolak di Volksraad.”
Lebih lanjut, Thamrin mengatakan, “Kita harus percaya dan kita harus pasti dengan kenyataan bahwa tujuan akhir kita akan dilaksanakan suatu hari nanti sepanjang kita meneruskan tugas kita tanpa kehilangan harapan. Tujuan akhir tidak pernah tercapai dalam jangka waktu pendek. Kita hanya dapat menyadari tujuan-tujuan kita dengan terus maju setapak demi setapak.”
Namun, sebelum misi Indonesia Berparlemen terwujud, Thamrin meninggal pada 11 Januari 1941. Walau begitu, perjuangan sahabat-sahabat Thamrin di GAPI tidak berhenti. Pada 14 September 1941, GAPI kembali mengadakan konferensi, kali ini di Yogyakarta. Pertemuan itu mengubah Kongres Rakyat Indonesia menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI).
MRI diketuai oleh Sartono. Kepemimpinannya terdiri atas perwakilan organisasi politik (GAPI), organisasi agama (Majelis Islam A'la Indonesia), serta federasi serikat pekerja dan pegawai negeri (PVPN). Sartono belakangan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Amin Rahayu dalam bukunya, MRI: Majelis Rakyat Indonesia, 1941-1942, menyebut MRI sebagai parlemen tandingan Volksraad.
M.P.B. Manus dan kawan-kawan dalam manuskrip setebal 196 halaman berjudul Tokoh-tokoh Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1993 menjelaskan bahwa Kiai Haji Mas Mansoer juga pernah ditunjuk sebagai Ketua MRI. Namun ia menolak dan tetap memilih memimpin Muhammadiyah.
Pada 1942, Jepang masuk ke Indonesia. Belanda terpaksa hengkang. Situasi politik berubah total. Hal itu memorak-porandakan agenda majelis dan kaum pergerakan. Mereka pun terpaksa menyusun strategi baru untuk melanjutkan perjuangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mengenang Tuntutan GAPI: Indonesia Berparlemen"