Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JABATAN Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) membuat Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terlibat dalam sejumlah masalah kendaraan listrik. Salah satunya soal perangkat pengisi daya atau charger kendaraan listrik buatan Wuling yang beredar di pasar tapi tak memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moeldoko disebut-sebut menyurati sejumlah pejabat untuk meloloskan charger GB/T yang dipakai Wuling dalam daftar produk yang memenuhi syarat SNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika ditemui di Kantor Staf Presiden, Gedung Bina Graha, kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, pada 21 Desember 2023, Moeldoko memaparkan aneka persoalan dalam industri kendaraan listrik, termasuk alasannya membantu Wuling.
Moeldoko mengajak sejumlah stafnya serta Sekretaris Jenderal Periklindo Tenggono Chuandra Phoa ketika bertemu Fery Firmansyah, Retno Sulistyowati, Aisha Shaidra, Khairul Anam, dan fotografer Subekti dari Tempo:
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di SPKLU Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, 21 Desember 2023. Tempo/Subekti
Seperti apa persoalan yang terjadi pada sistem charger kendaraan listrik?
Soal SPKLU (stasiun pengisian kendaraan listrik umum) memang menjadi perdebatan. Mengapa kita mesti pusing karena ada dua aliran (charger kendaraan listrik), Eropa dan Cina? Eropa memakai CCS2 dan Cina GB/T. Masing-masing punya teknologi. Tidak bisa juga kita paksa mereka masuk ke Indonesia dengan charger jenis tertentu saja. Inilah persoalannya.
Mengapa Periklindo malah memperjuangkan charger GB/T, seperti yang dipakai Wuling?
Ada beberapa sebab. Satu, masalah populasi, karena Wuling paling banyak penggunanya. Populasi Wuling (Air ev) sudah 20 ribu. Yang baru meluncur (Wuling Binguo), SPK-nya (surat pemesanan kendaraan) sudah sekitar 3.000. Karena itu, Periklindo memperjuangkan GB/T masuk SNI. Masalah kedua ada pada harga. Charger CCS2 cukup mahal. Perbandingannya, GB/T berkapasitas daya 180 kilowatt biayanya US$ 15 ribu, sedangkan CCS2 berkapasitas 80 kilowatt bisa mencapai US$ 19 ribu. Perbandingan harga ini saja sudah jauh sekali. Ini untuk charger CCS2 buatan Cina. Kalau yang benar-benar buatan Eropa bisa lebih mahal. Kalau mau membangun infrastruktur ekosistem kendaraan listrik, saya akan memilih GB/T karena lebih banyak penggunanya.
Sejak kapan Anda dan Periklindo membicarakan persoalan ini dengan pemerintah?
Sebetulnya persoalan ini sudah lama. Sejak rapat-rapat awal soal kendaraan listrik di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi sudah saya perjuangkan.
Tenggono Chuandra Phoa: Di Cina, semua mobil listrik memakai charger GB/T. Karena produksinya di Cina, makin banyak yang memakai, harganya makin murah. Di sana penggunaan mobil listrik masif luar biasa. Ini juga yang akan mempengaruhi investor.
Benarkah Anda dan Periklindo mengirim sejumlah surat, antara lain kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk meloloskan charger GB/T ini dalam persyaratan SNI?
Toh, kondisi di lapangan, pengguna charger GB/T sudah masif seperti ini. Kenapa tidak bisa masuk SNI? Itulah sebabnya Periklindo bersurat ke mana-mana. Kita harus realistis. Populasi Wuling sudah sekian banyak, nanti bisa dikomplain banyak orang. Ingat, karena populasinya banyak.
Benarkah Anda mempersoalkan ini karena bus buatan PT Mobil Anak Bangsa atau MAB (perusahaan milik Moeldoko) memakai charger GB/T?
Bus MAB memang memakai GB/T karena baterainya buatan CATL (Contemporary Amperex Technology Ltd), perusahaan Cina. Di sana, soket charger-nya cuma satu. Tapi kalau kami tidak ada persoalan. Toh, charging station untuk bus kami ada milik sendiri, jadi enggak ada urusan dengan SPKLU.
Charger mobil listrik yang dominan digunakan secara global adalah CSS1 dan CSS2. Ini yang menjadi pertimbangan pemerintah ketika menjadikan sistem tersebut acuan SNI?
Saya tidak mengikuti pembahasan soal ini. Tapi saya ingat betul, dalam sejumlah pertemuan dan rapat bersama pemerintah saya katakan, kenapa kita harus menghambat yang sudah ada? Di satu sisi, kita kan ingin memasyarakatkan kendaraan listrik, tapi kenapa soal charger ini saja dihambat? Sewaktu rapat di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi bersama Pak Luhut (Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan) saya juga teriak soal ini. Sekali lagi, ini menyangkut berbagai kepentingan. Lha, sekarang definisi kendaraan listrik saja mulai dibiaskan. Mobil hybrid yang masih memakai bensin saja akan masuk kategori kendaraan listrik yang bisa lolos aturan pelat nomor ganjil-genap. Apakah ini benar?
Menurut Anda, seberapa besar masalah charger ini akan berpengaruh pada pasar dan industri kendaraan listrik?
Pasti akan berpengaruh, terutama pada investor yang akan membangun SPKLU. Kalau hanya satu jenis charger yang berlaku dalam SNI, semua akan dipaksa menambah investasi baru. Kalau begitu, apakah semua yang mau jual kendaraan listrik di Indonesia harus pakai satu jenis charger?
Awal bulan ini, Anda berangkat ke Cina dan bertemu dengan perusahaan-perusahaan kendaraan listrik, termasuk Wuling. Benarkah ada pembicaraan soal charger GB/T?
Tidak. Isu yang dikemukakan adalah bahwa mereka sudah membangun pabrik di Indonesia. Harus ada perlakuan adil. Jangan sampai ada perusahaan lain yang cuma datang bawa produk, muncul begitu saja, eh, dapat insentif yang sama. Apa bedanya dengan Wuling yang sudah berinvestasi?
Tapi Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 yang baru terbit memperbolehkan perusahaan mengimpor utuh kendaraan listrik....
Saya juga pernah mengemukakan hal ini di rapat bersama Pak Luhut. Saya bertanya, Kita punya keinginan bangun brand nasional apa enggak, sih? Kalau begini caranya, brand nasional ada di mana? Kalau begini, apa bedanya dengan masa lalu? Pelaku industri dalam negeri pasti akan terkena dampak. Saya kasih perbandingan. Di Cina, produsen lokal seperti Seres dan Wuling sering meluncurkan model baru. Industrinya jalan, semua proses dilakukan dengan sistem robotik. Lha kita, brand nasional ada di mana? Antara pesimistis dan optimistis. Contoh lagi, saya ke pabrik Wuling isinya anak-anak muda semua. Ada 4.000 pekerja, yang memimpin anak muda. Mereka bisa bangun pabrik di lahan ratusan hektare, investasi miliaran dolar, dan sudah berpikir besar. Lha, kita kok masih ribut soal charger.
Peraturan presiden yang baru juga memundurkan target pemenuhan kewajiban tingkat kandungan dalam negeri, apa tanggapan Anda?
Orang yang mengimpor kendaraan utuh itu ada dua jenis. Yang memang punya keinginan membangun pabrik tapi butuh kelonggaran dan fasilitas yang memudahkan serta yang memang tidak mau bikin pabrik sama sekali. Ada lagi perusahaan yang mengimpor mobil secara utuh tapi tidak membuat pabrik sendiri, melainkan menumpang produksi di pabrik orang. Tapi, apa pun aturannya, intinya jangan sampai investor yang sudah eksis malah dipersulit. Misalnya Wuling sama Hyundai yang sudah punya pabrik kendaraan listrik di sini, jangan sampai mereka kabur.
Bagaimana kondisi pasar kendaraan listrik saat ini menurut Periklindo?
Banyak produk baru yang masuk dan market-nya akan sangat besar. Tapi saat ini ada ketidakseimbangan antara supply dan demand. Ada aturan yang mewajibkan pemerintah daerah dan pusat bertransformasi menggunakan kendaraan listrik. Kenyataannya mana? Yang di bawah juga belum pas. Pemerintah sudah mengawali, tapi, ya, sekali lagi, ekosistemnya bagaimana?
Mengapa ekosistem kendaraan listrik sampai sekarang belum terlalu berkembang?
Hambatan yang pertama adalah masalah keuangan, karena banyak bank yang belum memberikan kemudahan untuk leasing. Hambatan kedua, ketersediaan fasilitas charging-nya bagaimana? Setelah ketemu soal charging mikir lagi, pasca-penjualannya seperti apa. Inilah rangkaiannya.
Apa solusinya menurut Anda?
Sebetulnya sudah terlihat. Saat Wuling (Air ev) meluncur, ada tiga kekuatan besar ekosistem. Perusahaan Listrik Negara hadir, Bank Mandiri selaku pihak leasing juga hadir, dan ada Telkomsel selaku penyedia konektivitas. Tiga ini yang menjadi kekuatan ekosistem kendaraan listrik. Baru masuk soal perbengkelan dan lainnya. Solusinya, ya, leasing dipermudah, PLN menyediakan listrik untuk SPKLU.
Apa tanggapan Anda tentang adanya pandangan konflik kepentingan ketika Anda memegang dua jabatan, ketua asosiasi industri yang mewakili pengusaha dan pejabat pemerintah, sebagai Kepala Staf Kepresidenan?
Anda sebelum ke sini pandangannya kan juga sama. Ketika saya jelaskan persoalan ini, mudah-mudahan jadi jelas. Saya juga ingin menjelaskan bahwa ini kepentingan publik, ini kepentingan user. Semua berawal dari keinginan memberikan pelayanan kepada publik. Di sini pemerintah harus cawe-cawe. Jangan dibiarkan, ketika ada masalah, industri jalan sendirian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kok, Kita Masih Ribut Soal Charger"