Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepat pukul 11.00 pada Selasa terakhir Mei 1945, sekitar 60 anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menduduki kursi masing-masing di ruang Gedung Tyuoo Sangi-In (kini Gedung Pancasila) di Jalan Pejambon Nomor 6, Jakarta. Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat, selaku ketua, membuka sidang. Ia lalu menyilakan Muhammad Yamin sebagai pembicara pertama di Sidang BPUPKI hari itu.
Yamin, anggota nomor urut 2, pun berpidato dengan judul "Asas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia". Panjangnya sekitar 20 halaman. Butuh lebih dari satu jam untuk tuntas membacanya. Wakil ketua sidang, Raden Pandji Soeroso, tiga kali menginterupsi agar Yamin menyampaikan pemikiran sesuai dengan tema dasar negara.
Yamin bergeming. "Saya turut, tapi tidak takluk," ujar Yamin menanggapi Soeroso, yang meminta anggota takluk kepada pimpinan.
Cuplikan pidato itu termuat utuh di buku Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yang terbit pada 22 April 1959. Lebih dari tiga dasawarsa buku ini menjadi rujukan tunggal untuk memperlihatkan suasana pergumulan pemikiran para pendiri bangsa dalam melahirkan Undang-Undang Dasar 1945. Presiden Sukarno memberi kata pengantar di buku itu.
Nugroho Notosusanto menjadikan buku itu sebagai sumber primer untuk bukunya, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1981). Ia menyebut Yamin, Supomo, dan Sukarno yang melahirkan Pancasila. Bahkan Orde Baru mengukuhkannya sebagai rujukan utama untuk buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terbitan Sekretariat Negara (1992).
Buku Yamin yang juga menjadi referensi buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI menuai polemik. Panitia Lima—yang dibentuk pada 1975 atas anjuran Presiden Soeharto dan terdiri atas Mohammad Hatta, Achmad SubarÂdjo, A.A. Maramis, Soenario, serta Abdul Gaffar Pringgodigdo—menganggapnya tidak otentik. Terkesan jelas Yamin ingin menonjolkan perannya. Di buku Uraian Pancasila (1977) yang dibuat Panitia Lima, Hatta mengatakan Yamin agak licik, sedangkan Gaffar Pringgodigdo menyebut Yamin pinter nyulap.
Menurut Hatta, seperti diungkap RM Ananda B. Kusuma, 79 tahun, dalam buku Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (2004), Yamin memang berpidato, tapi pidatonya pendek. Peneliti senior pada Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu sejak 1965 hingga 1980 bertugas di Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan khusus menangani pendidikan kewarganegaraan. Menurut dia, banyak dosen yang mempermasalahkan, tapi tak berani mengemukakan.
"Pemerintah Orde Baru melakukan kebijakan de-Sukarnoisasi. Sejak 1968, lahirnya Pancasila tak lagi dirayakan. Pemerintah menyatakan yang pertama melahirkan Pancasila adalah Yamin," ujar Ananda pada pertengahan Juli lalu.
Upaya mengungkap fakta mulai terbuka setelah terbit disertasi J.C.T. Simorangkir, pakar hukum yang juga pendiri harian Sinar Harapan. Sewaktu menyusun disertasi doktor ilmu hukum pada Universitas Andalas (1983), ia melakukan riset ke Algemeen Rijksarchief (kini Nationaal Archief, NA) di Den Haag, Belanda, dan menemukan data mengenai Sidang BPUPKI. Berdasarkan informasi itu, Ananda pada 1991 pergi ke Belanda dengan biaya sendiri untuk memastikannya.
"Saya sampai di sana ternyata hanya ada salinan. Yang asli sudah dikembalikan ke Indonesia," ucap Ananda.
Di NA, arsip itu dinamai "Archivalia van Raden Mas Mr AK Pringgodigdo" atau "Pringgodigdo Archief".
Ada dua dokumen dalam "Pringgodigdo Archief" yang penting dalam mengungkap keotentikan pidato Yamin. Pertama, koleksi nomor 5646 berupa notulen tulisan tangan Karim di atas kertas berkop Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Isinya pidato Yamin yang panjangnya sekitar tiga lembar.
Dokumen lain adalah penjadwalan pidato anggota pada sidang 29 Mei 1945. Yang berpidato di sesi pertama adalah Yamin selama 20 menit, Sumitro (5 menit), Margono (20 menit), Sanusi (45 menit), Sosrodiningrat (5 menit), dan Wiranatakusuma (15 menit). Jika dijumlahkan, ditambah waktu pergantian pembicara dan pengantar dari Ketua, cocok dengan lama sidang yang 130 menit.
Sayangnya, dokumen-dokumen dari "Pringgodigdo Archief" itu kini tak ada di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Padahal dokumen asli telah dikembalikan NA kepada ANRI. "Dokumen aslinya dikirim ke ANRI pada November 1987. Salinannya disimpan di NA, sesuai dengan perjanjian budaya Indonesia-Belanda," ujar anggota staf senior NA, Iris Heidebrink.
Kepala ANRI Mustari Irawan juga berbeda pemahaman tentang muasal arsip ini. Menurut dia, ANRI menyimpan arsip asli dan menamainya "Koleksi Pringgodigdo" dan "Koleksi Muhammad Yamin", yang merupakan koleksi vital sehingga ditempatkan di lemari besi ruang khusus di Gedung O kompleks ANRI di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.
"ANRI memiliki tugas mengakuisisi dokumen yang ada di semua departemen dan lembaga," tuturnya. "'Koleksi Pringgodigdo' kami peroleh dari Sekretariat Negara. Pak Pringgodigdo adalah Sekretaris Negara yang pertama. Yang kami miliki adalah yang asli, sementara yang di Belanda adalah salinan," katanya.
Soal penyerahan "Pringgodigdo Archief" dari NA ke ANRI, Mustari tak mengetahui pasti. "Mungkin saja karena Ibu Soemartini (Kepala ANRI periode 1971-1992) memiliki hubungan baik dengan Arsip Nasional Belanda. Beliau juga berhubungan baik dengan Pura Mangkunegaran dan kenal baik dengan Rahadian Yamin dan istrinya," ujarnya.
Arsip Yamin yang terkait dengan Sidang BPUPK itu semula tercampur dengan koleksi pribadi Yamin yang disimpan di Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran. Rupanya, Gusti Raden Ayu Retno Satuti, istri Rahadian, mengirimkan koleksi buku dan dokumen yang ada di rumah Jalan Diponegoro 10 ke perpustakaan setelah suaminya wafat pada 1979. Pada 1990, Satuti meminta bantuan Suhartono dari Arsip Nasional Daerah di Semarang untuk menata koleksi perpustakaan dan menemukan notulen resmi itu.
"Koleksi Muhammad Yamin" inilah dokumen yang oleh Orde Baru dinyatakan hilang. Dokumen ini merupakan stenogram yang dibuat oleh anggota staf Gaffar Pringgodigdo yang menjabat Wakil Kepala Tata Usaha Tyoosakai. Menurut Saafroedin Bahar, penanggung jawab dan penyunting penyelia buku Risalah Sidang, transkrip itu kompilasi dari stenogram yang dibuat dua stenografer pada sidang BPUPKI tersebut, yakni Netty Karundeng dan Sunarti Simatupang (istri T.B. Simatupang). Saafroedin berhasil menemui keduanya dan menanyakan keberadaan stenogram itu.
"Mereka mengatakan, setelah mengetikkan transkrip, stenogram itu langsung dibakar. Tapi keduanya membuat surat pengakuan setelah membaca arsip yang tersimpan di ANRI itu adalah sama dengan yang asli," Saafroedin, 77 tahun, menjelaskan.
Bundel "Koleksi Muhammad Yamin" berisi sekitar 10 nomor arsip. Tapi tidak ada arsip pidato Yamin pada 29 Mei 1945. Begitu pula dalam bundel "Koleksi Pringgodigdo" yang berisi 38 nomor arsip. Kini arsip pidato Yamin baik berupa transkrip maupun tulisan tangan Karim di kertas berkop Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai itu tak diketahui keberadaannya.
"Yang kami terima dan simpan seperti inilah adanya. Semua berupa ketikan, tidak ada tulisan tangan," ujar Mustari sambil menunjuk dua bundel koleksi penting itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo