Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nelayan khawatir PP tentang pengelolaan sedimen laut mengancam habitat ikan.
Pendapatan ribuan nelayan menurun akibat kerusakan ekosistem laut.
Pemerintah berdalih pengisapan sedimen bertujuan menjaga ekosistem laut.
DUA dekade tak cukup untuk memulihkan kerusakan akibat pengerukan pasir laut di Kabupaten Tanjung Balai Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Bukan cuma pesisir yang koyak, banyak pulau kecil mengalami abrasi lantaran pasir laut terus dikeruk. Amirullah, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Provinsi Kepulauan Riau, mengaku resah setelah terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada Senin, 15 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Amirullah, regulasi itu akan mengizinkan kembali ekspor pasir laut yang dilarang sejak 2003. Dia mengatakan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut sangat terasa. Koyaknya pantai memaksa para nelayan berlayar jauh ke tengah laut karena habitat ikan bergeser. "Dulu hanya pakai perahu kecil sudah bisa dapat banyak ikan, sekarang susah. Tapi kami bisa apa,” ujar Amirullah, yang tinggal di Kecamatan Meral Barat, Kabupaten Karimun, kepada Tempo, Rabu, 7 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amirullah masih ingat, Megawati Soekarnoputri semasa menjabat presiden menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Aturan ini diperkuat oleh Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Kebijakan ini terbit guna mencegah kerusakan laut akibat pengerukan pasir besar-besaran untuk ekspor.
Suasana di Pulau Putri, salah satu pulau yang terancam tenggelam di Kota Batam, Kepulauan Riau, 3 Maret 2022. Tempo/Yogi Eka Sahputra
Kini peluang ekspor pasir laut kembali terbuka melalui PP tentang pengelolaan sedimen laut. Pasal 9 ayat 2 huruf d peraturan ini menyebutkan pasir laut digunakan untuk ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan. Bagi nelayan seperti Amirullah, klausul ini menakutkan karena bisa memicu penambangan pasir besar-besaran yang merusak pesisir.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan menunjukkan pada 2018 ada 250 nelayan yang kehilangan pekerjaan karena jumlah tangkapan ikan menurun. Salah satu penyebabnya adalah aktivitas penambangan pasir laut. Adapun sebanyak 6.474 nelayan mengalami penurunan pendapatan hingga 80 persen. “Karena itu, masyarakat pesisir adalah pihak yang paling menentang tambang pasir laut,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin, Sabtu, 10 Juni lalu.
Padahal Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan PP tentang pengelolaan sedimen laut terbit justru bertujuan melindungi ekosistem laut dari sedimen atau endapan material di dasar laut. Titik berat regulasi ini, menurut Trenggono, adalah pengelolaan sedimen supaya tidak merusak ekosistem laut. “Sedimen ini datang terus-terusan,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 9 Juni lalu. Trenggono yakin, jika tidak disedot, sedimen seperti pasir dan lumpur bakal merusak ekosistem bawah laut hingga mengganggu jalur pelayaran.
Tapi hal ini dibantah oleh Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Mohammad Abdi Suhufan, yang menyebutkan pengambilan sedimen bakal mengganggu ekosistem yang sudah terbentuk di dasar laut. Pengisapan sedimen berupa pasir dan lumpur bakal mengganggu ekosistem laut. Bahkan, menurut Abdi, sedimen bisa berfungsi menahan gelombang laut. “Kalau diangkut, pesisir dan pulau terancam abrasi,” tuturnya.
Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University, Bogor, Jawa Barat, mengatakan ada kerawanan dalam pengambilan sedimen laut dengan kapal isap. "Ada potensi terumbu karang ikut terisap," katanya, Jumat, 9 Juni lalu. Studi IPB University pada 2003 menemukan biaya pemulihan lingkungan kerusakan laut sebesar 5 persen dari setiap 1 persen pendapatan eksploitasi pasir laut. Penyebabnya adalah hilangnya lokasi penangkapan ikan serta terjadinya perubahan pola arus, struktur sedimen, dan abrasi.
Pengisapan sedimen laut juga bertentangan dengan pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan. Laporan United Nations Environment Programme tahun lalu menyebutkan eksploitasi sedimen seperti pasir laut bisa berdampak muncul dan makin parahnya krisis ekologis di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Banyak pulau kecil terancam tenggelam. Di Indonesia, penambangan pasir laut sejak 1970 hingga awal 2000-an menenggelamkan pulau kecil di Provinsi Riau dan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Adapun data yang dihimpun inisiatif GreenFacts.org—proyek nirlaba yang dikelola dewan ilmiah independen—pada 2014 menyatakan ekspor pasir ke Singapura menjadi penyebab hilangnya sekitar 24 pulau pasir di Indonesia. Hingga 2014, Singapura mengimpor 517 juta ton pasir, paling banyak dari Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin mengatakan PP tentang pengelolaan sedimen laut bakal memperburuk kualitas hidup masyarakat pesisir. “Aturan ini tidak relevan dengan kebutuhan di Indonesia. Ini harus jadi pemikiran serius, bagaimana menyelamatkan desa pesisir yang terancam,” tutur Parid dalam sebuah diskusi, Jumat, 9 Juni lalu.
Ihwal potensi eksploitasi yang menyebabkan kerusakan, Menteri Trenggono mengatakan ada mekanisme pencegahannya. Menurut dia, pemanfaatan sedimen laut harus didasari dokumen yang disusun oleh tim kajian yang dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah. Tim ini berisi semua pemangku kepentingan, termasuk akademikus dan pemerhati lingkungan. "Kalau tim kajian sudah dibentuk lalu mereka katakan satu titik bukan sedimentasi atau pemanfaatannya bisa merusak lingkungan, ya enggak bisa. Para ilmuwan bisa beradu argumen di situ, semua harus berdasarkan sains," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Erwan Hermawan dan Yogi Eka Sahputra dari Batam berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mengisap Endapan, Mengusik Nelayan"