Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISIONER Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2021, Choirul Anam, menuding penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat kerap terhambat di Kejaksaan Agung. Ia mengatakan sering berdebat dengan jaksa. Dalam beberapa kasus, Komnas HAM sudah mengajukan dua alat bukti. Tapi jaksa selalu menganggap kurang. “Itulah yang sering terjadi antara Komnas HAM dan kejaksaan,” katanya kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anam menyebutkan perdebatan itu juga terjadi saat Komnas menangani kasus pelanggaran HAM Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis, Aceh, yang terjadi pada 1998-1999 hingga pembunuhan dukun santet pada 1998-1999. Ada juga kasus HAM di Paniai, Papua, yang meletus pada 7 September 2014. Perkara ini sudah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar pada 2022. Tapi majelis hakim memvonis bebas satu-satunya tersangka. Akibatnya, hak korban dan keluarganya juga tak bisa dipenuhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komnas HAM saat ini, Anis Hidayah, mengatakan, selain kasus Paniai, ada tiga kasus pelanggaran HAM berat yang sudah disidangkan, yakni peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Timor Timur pada 1999, dan Abepura pada 2000. Namun semua pelakunya juga divonis bebas karena dianggap kurang bukti. “Pengadilan HAM kesulitan membuktikan aspek tanggung jawab komandonya,” ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat harus berdasarkan unsur pembuktian. Menurut dia, hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. “Jadi kami tidak boleh mereka-reka,” ucap Harli.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya Saputra, menuturkan, baik Komnas HAM maupun Kejaksaan Agung memiliki pandangan berbeda dalam penuntasan kasus HAM masa lalu. Sesuai dengan peraturan, Komnas HAM menjadi penyelidik kasus HAM. Mereka selalu mengklaim sudah mengantongi dua alat bukti.
Sementara itu, Kejaksaan menganggap Komnas HAM tidak memenuhi kualifikasi penyelidikan sesuai dengan hukum formil. Pemikiran itu mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. “Belum ada aturan khusus hukum acara yang mengatur persidangan kasus HAM masa lalu,” kata Dimas.
Selain Choirul Anam, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan periode 2019-2024, Mohammad Mahfud Md., mengakui perbedaan pandangan itu menjadi salah satu penghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. “Itu masalah lama,” tuturnya.
Menjelang dilantik sebagai menteri, Mahfud mengklaim Presiden Joko Widodo mengamanatkan empat hal yang mesti diperhatikan, yaitu korupsi, radikalisme, penegakan hukum, dan pelanggaran HAM. Keempat hal ini juga yang menjadi bagian dari janji Jokowi saat kampanye pemilihan presiden pada 2019. Janji Jokowi untuk memprioritaskan penyelesaian kasus HAM juga sudah muncul saat berkampanye pada pemilihan presiden 2014 yang bertajuk Nawacita. “Perhatian Pak Jokowi soal kasus HAM bagus,” ucapnya.
Alasan Jokowi ingin menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, kata Mahfud, adalah adanya Aksi Kamisan yang tak kunjung berhenti di seberang Istana Negara. Aksi itu semula menuntut penuntasan kasus tragedi Semanggi. Tapi aksi itu kini berkembang ke isu HAM lain. “Pak Mahfud, gimana ini saya dituntut terus,” ujar Mahfud menirukan Jokowi.
Saat menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud mengusulkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dimulai dari sisi korban. Jokowi lantas meneken Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 yang mengatur pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PP HAM). Keputusan itu terbit pada 26 Agustus 2022.
Kala itu, Jokowi pertama kalinya mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat. Ia juga berjanji pemerintah berupaya agar pelanggaran HAM berat tak terjadi lagi di masa mendatang. “Saya mengakui pelanggaran HAM yang berat terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi di Istana Negara pada 11 Januari 2023.
Berikutnya, Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Inpres itu menginstruksikan kepada 19 kementerian dan lembaga negara untuk mengambil langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing untuk melaksanakan tim PP HAM.
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers setelah menerima Laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu di Istana Merdeka, Jakarta, 11 Januari 2023./Humas Setkab/Agung
Mahfud beralasan berbagai metode penyelesaian kasus HAM lewat metode non-yudisial merupakan upaya untuk memulihkan hak korban tanpa mengabaikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM melalui jalur yudisial. Langkah non-yudisial itu adalah memberikan restitusi dari sisi ekonomi, sosial, pendidikan, pemulihan hak politik, dan jaminan kesehatan.
Namun upaya tersebut masih belum bisa menyelesaikan semua kasus pelanggaran HAM berat. Menurut data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, pada 2023 ada 1.270 korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya yang sudah menerima program pemulihan. Jumlah pihak yang memohon pemulihan selama 2021-2023 mencapai 4.586 permohonan yang tersebar di sembilan provinsi.
Pandangan berbeda disampaikan pegiat HAM, Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya Saputra. Ia mengatakan Presiden Joko Widodo justru gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, sementara Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan terus berganti.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pertama di era Jokowi adalah Tedjo Edhy Purdijatno. Kala itu pemerintah memang membentuk tim rekonsiliasi, tapi tak memprioritaskan proses yudisial. Tedjo kemudian digantikan Luhut Binsar Pandjaitan. Pada 2015 akhir, Luhut menginisiasi Simposium 1965. Acara itu memfasilitasi pertemuan antara para korban dan keluarganya, instansi negara, serta masyarakat yang tidak bersepakat dengan penyelesaian kasus 1965.
Seharusnya, kata Dimas, pertemuan itu menghasilkan dokumen untuk menjadi rujukan proses penyelesaian dan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965. Termasuk di dalamnya melakukan ekshumasi terhadap kuburan massal yang sudah ditemukan. “Tapi dokumennya tidak pernah ada. Jadi acara itu tak menghasilkan apa pun,” ucapnya.
Saat menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto membuat dua kebijakan. Pertama, adanya wacana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional atau DKN pada 2017. Pemerintah memfasilitasi pertemuan keluarga korban dengan terduga pelaku yang di dalamnya ada proses permohonan maaf. Ide tersebut ditolak para korban dan keluarganya.
Kemudian pemerintah membentuk tim terpadu penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial pada 2018. Keluarga korban dijanjikan ganti rugi yang tidak dihitung secara proporsional, sehingga menimbulkan dinamika bagi komunitas keluarga korban. Selama bertahun-tahun, pemerintah lebih memfokuskan upaya ganti rugi. “Sebab, kejadiannya sudah begitu lama, sehingga sangat sulit untuk masuk proses yudisial,” tutur Wiranto.
Penuntasan kasus HAM justru mandek di tangan Hadi Tjahjanto, pengganti Mahfud. Sedangkan Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan masa tugas tim PP HAM hanya tiga bulan. Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dikabarkan menindaklanjuti rekomendasi program itu dengan membentuk kembali tim yang periodenya juga tiga bulan. Jika menghitung waktu, periode tiga bulan tim PP HAM juga sudah lewat. “Setahu saya, tim ini tidak diperpanjang,” ucap Anis. Komnas HAM sudah merekomendasikan agar masa kerja tim tersebut diperpanjang.
Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo mengatakan perpanjangan masa tugas tim PP HAM masih dalam pembahasan. Ia tidak menjelaskan sudah sejauh mana pembahasannya. Menurut Sugeng, setiap kementerian dan lembaga sudah mendapatkan instruksi dari Presiden Jokowi untuk memperhatikan kasus HAM. Instruksi presiden berlaku kepada 19 kementerian atau lembaga dan tidak memiliki batas waktu. “Jadi, kalau itu dianggap belum selesai, semestinya terus dilanjutkan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo