Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMADUDDIN Utsman memutuskan tak menghadiri forum debat ilmiah yang berlangsung di Pondok Pesantren Masarratul Muhtajin, kompleks Kesultanan Banten, Kota Serang, Banten, pada 27 Agustus 2023. Padahal acara itu khusus membahas penelitian nya yang berjudul “Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad”. Ada seratusan orang yang hadir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengasuh Pondok Pesantren Salafi Nahdlatul Ulum Cempaka, Kabupaten Tangerang, itu beralasan acara tersebut tak berbau ilmiah karena tak dihadiri sesama peneliti. Debat itu juga tak diikuti oleh lembaga yang dianggap berkompeten. “Saya ingin Rabithah Alawiyah hadir,” ujar pria 47 tahun yang akrab disapa Kiai Imad itu saat ditemui di pondok pesantrennya pada Sabtu, 30 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rabithah Alawiyah yang ia maksud adalah lembaga pencatat garis keturunan Rasul di Indonesia. Imaduddin menerbitkan penelitiannya pada Mei 2023. Kiai Imad bertitel sarjana agama dari Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan magister agama dari Institut Ilmu Al-Quran Jakarta. Ia juga tercatat sebagai pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama Banten.
Forum debat itu dihelat lantaran penelitian Imad menggemparkan kalangan habib dan sayid—keduanya sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad—serta peneliti nasab. Salah satu temuannya, Imaduddin Utsman mengklaim nama Ubaidillah atau Ubaid tidak tercatat dalam kitab rujukannya. Ubaidillah adalah orang tua Alawi bin Ubaidillah alias Alwi Alawiyyin, yang juga pendiri Bani Alawi atau Ba’alawi.
Selama ini nasab keturunan Nabi di Indonesia umumnya disebut berasal dari klan Alawi. Dalam catatan Rabithah Alawiyah, ayah Ubaidillah adalah Ahmad bin Isa. Lengkapnya Ahmad al-Muhajir bin Isa Arrummi. Ahmad adalah garis ke-10 keturunan Rasul dari Sayyidina Husein, anak Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra. Fatimah adalah anak Rasul.
Dalam penelitiannya, Imaduddin menyatakan Ahmad al-Muhajir memang keturunan Rasul. Tapi ia mengklaim Ubaidillah bukan anak Ahmad. “Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Ubaidillah,” tuturnya. Ia merujuk pada kitab nasab Tahdzibul Ansab karya Syekh Syaraf al-Ubaidili yang ditulis pada 434 Hijriah.
Imaduddin mengutip enam kitab untuk penelitiannya. Kitab Tahdzibul Ansab wa Nihayatul Alqab karangan Al-Ubaidili (437 Hijriah) pada abad ke-5 juga tak menyebutkan nama Ubaidillah dan anaknya, Alawi. Kitab itu menyebutkan nama Muhammad sebagai anak Ahmad bin Isa.
Kitab lain, As-Syajarah Al-Mubarokah karya Imam al-Fakhrurrazi (606 Hijriah) yang disusun pada abad ke-6, menuliskan Ahmad al-Muhajir bin Isa Arrumi mempunyai tiga anak, yakni Muhammad, Ali, dan Husein. Tidak ada anak bernama Ubaidillah. Kitab Al-Fakhri fi Ansabitalibin karya Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain al-Marwazi (614 Hijriah) pada abad ke-7 menyatakan hal serupa.
Pada 730-731 Hijriah, ada nama baru yang muncul, yakni Abdullah, bukan Ubaidillah. Nama itu tertulis dalam kitab sejarah para ulama dan raja di Yaman, yaitu Al-Suluk fi Tabaqat Al-Ulama wa Al-Muluk karya Al-Qodli Abu Abdillah Bahauddin Muhammad bin Yusuf bin Ya’qub. Abdullah disebut sebagai anak Ahmad bin Isa.
Imaduddin baru menemukan nama Ubaidillah di kitab Al-Burqatul Musyiqoh atau disebut Al-Burqah yang ditulis Ali al-Sakran, leluhur Ba'alawi abad ke-9 Hijriah. Menurut Imad, Ali al-Sakran berasumsi bahwa Ubaidillah adalah nama lain Abdullah. Ali al-Sakran mengutip kitab Al-Suluk karya Al-Jundi (730 Hijriah). Kitab lain berisi informasi yang sama, yakni Al-Dlau Al-Lami karya Al-Sakhowi (902 Hijriah) dan Al-Raudl Al-Jaliy karya Murtadlo al-Zanibi (1205 Hijriah).
Imaduddin berpendapat nama Ubaidillah tidak tercatat dalam kitab nasab sebagai anak, bahkan setelah Ahmad bin Isa wafat. Ia menuturkan, dari abad ke-5 hingga abad ke-8 tidak ada keterangan yang menyebutkan nama Ubaidillah. “Namanya baru muncul abad ke-9. Itu namanya fiksi, orang ngarang masa kini tentang kehidupan masa lalu,” ucapnya.
Peneliti sejarah Ba‘alawi dari Komunitas Rumah Kartini, Rumail Abbas, termasuk pihak yang membantah penelitian Imaduddin. Pria yang biasa disapa Gus Rumail itu turut hadir dalam forum debat yang digelar pada 27 Agustus 2023 tersebut. Ia menyayangkan Kiai Imad tak datang. Padahal acara itu turut dihadiri penelaah sejarah dan nasab Ba’alawi, Idrus Masyhur; dan ulama Jawa Tengah, Ahmad Wafi Maimoen, anak tokoh Nahdlatul Ulama, Maimoen Zubair.
Rumail menilai Imaduddin hanya menggunakan kitab modern yang ada campur tangan editor. Menurut dia, jika berbicara mengenai orang Hadhrami—imigran dari wilayah Hadramaut—paling tidak harus mencantumkan korespondensi yang berasal dari Yaman. “Ternyata tidak pernah sekali pun memakai manuskripnya,” ujarnya.
Ia mencontohkan naskah yang tidak digunakan Imaduddin sebagai rujukan, yakni naskah “Arba'un” dan “Al-Mawahib” karya Ali bin Jadid (620 Hijriah). Di dalamnya tertulis nama Ubaidillah yang disebut sebagai Nazilul Yaman. Dalam tradisi Arab, kata Rumail, Nazil merupakan julukan untuk pendatang yang kemudian menetap. Di naskah tersebut Ubaidillah terkadang disapa Abdullah. Inilah yang menjadi bukti Ubaidillah eksis.
Habib Muhammad Hanif bin Abdurrahman Alatas di Pesantren Markaz Syariah, Megamendung, Bogor, Jawa Barat, 27 Maret 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Menurut Rumail, dua naskah itu sempat disalin oleh Salim bin Jindan, ulama yang lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 611 dan 636 Hijriah. “Saya memiliki naskah aslinya. Saya bandingkan dengan milik Salim bin Jindan, hasilnya sama persis,” tutur Rumail.
Nama Ubaidillah juga disebutkan dalam naskah karya Abul Qasim an-Naffatt dan Hasan Allal yang ditulis sebelumnya, 490 Hijriah. Naskah itu pernah dijadikan referensi oleh pakar ilmu hadis keturunan Minangkabau, Syekh Yasin al-Fadani. Itu sebabnya Rumail menganggap Imaduddin terlalu sembrono karena sudah membatalkan silsilah dari salah satu keluarga keturunan Nabi Muhammad.
Pengasuh Pondok Pesantren Markaz Syariah di Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Muhammad Hanif Alatas, turut merespons penelitian Imad dengan membuat risalah. Ia membawa risalah itu ke forum debat untuk membahas penelitian Imaduddin. Menurut dia, ada 65 referensi yang ditulis pakar nasab dan fikih. Mereka mengakui nasab Ba’alawi dari abad ke-7 hingga abad ke-11. “Ini catatan eksternal Ba’alawi karena yang menulis ulama non-habaib,” ucapnya.
Dalam risalahnya, menantu Muhammad Rizieq Syihab itu turut menuliskan kesaksian ulama yang bukan dari keturunan Ba’alawi, yaitu seorang ulama Libanon, Al-Imam al-’Allamah Yusuf bin Ismail an-Nabhani (1350 Hijriah). Ulama itu menyebut penerus Ba’alawi sebagai ahlul bait yang paling sah nasabnya.
Ahli sejarah Yaman, Al-Imam Bahauddin al-Jundi al-Yamani (732 Hijriah), dalam kitab As-Suluk fi Thobaqotil Ulama wal Muluk menyebutkan secara spesifik nama Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa. “Ini tercantum dalam buku-buku nasab,” kata pria yang kerap disapa Habib Hanif itu.
Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Taufiq bin Abdul Qadir bin Hussein Assegaf, tidak mengakui penelitian yang dilakukan Imaduddin. “Buat apa mempelajari catatan orang tak tahu ilmu. Hanya buang waktu,” tutur pria yang dikenal dengan panggilan Habib Taufiq itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo