Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INGATAN Faheem Younus Qureshi belum pupus saat dia menceritakan alasannya bermigrasi ke Amerika Serikat pada pertengahan 1996. Saat itu Qureshi baru setahun lulus dari King Edward Medical University di Lahore, Pakistan. Usianya 25 tahun. Ia merasa dikucilkan dari pekerjaan dan lingkungan sosialnya. “Apa yang akan kamu rasakan ketika tahu sahabat terbaikmu berhenti mengucapkan salam?” ucap Qureshi kepada Tempo di sela-sela perhelatan Jalsah Salanah Britania Raya, Ahad, 30 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu teman terbaiknya bahkan tidak lagi mau menerima panggilan telepon. Menurut Qureshi, “Tidak ada yang mengatakan aku membencimu, tapi mereka akan berhenti menyapamu.” Itu semua gara-gara Qureshi adalah seorang Ahmadi—sebutan bagi pengikut Ahmadiyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lingkungan pekerjaan, ia merasa tidak memperoleh perlakuan yang adil. Yang paling menyakitkan, sama seperti Ahmadi lain, ia tidak bisa mengaku sebagai seorang muslim. Qureshi juga pernah mendapat ancaman pembunuhan. “Masalahnya, saya tidak bisa berkompromi dengan identitas saya,” ujarnya. Qureshi mengaku sangat bangga sebagai seorang muslim Ahmadiyah—gerakan keagamaan yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad pada 1889.
Qureshi tidak peduli pada penghasilan yang lebih rendah atau harus mengendarai mobil butut. Ia tidak ambil pusing ihwal kariernya. Sampai suatu hari Amerika Serikat menawarinya pekerjaan. Qureshi menerima tawaran tersebut. Di Negeri Abang Sam, ia menjalani pelatihan tambahan: tiga tahun sebagai dokter umum, dua tahun mengikuti pelatihan ahli penyakit menular, dan dua tahun menjalani pelatihan untuk memperoleh sertifikat kepemimpinan.
Ia kini dikenal sebagai salah satu dokter yang disegani. Qureshi sehari-hari berpraktik sebagai ahli penyakit menular di Rumah Sakit Maryland, Amerika Serikat. Ia adjunct professor di sekolah kedokteran University of Maryland. Qureshi menerima banyak penghargaan. Salah satunya Presidential Service Award (Gold) dari Presiden Barack Obama pada 2009. Amerika Serikat, bagi Qureshi, telah menjadi ibu angkat. “Tapi Pakistan tetap negara saya,” ucap Qureshi.
Di Pakistan, amendemen kedua konstitusi negara itu pada 1974 menyatakan Ahmadiyah sebagai bukan Islam. Satu dekade kemudian, rezim militer Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq melarang pengikut Ahmadiyah mengucapkan asalamualaikum, melafalkan syahadat, membangun masjid dan mengumandangkan azan, serta mengutip Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad. Yang melanggar aturan bisa masuk bui. Sejak saat itu, para Ahmadi menjadi target persekusi.
Seorang penganut Ahmadiyah asal Pakistan yang hadir di Jalsah Salanah bercerita, tahun lalu seorang Ahmadi ditemukan tewas tergeletak di tengah jalan sekitar 500 meter dari kantor polisi. “Tapi tidak ada media Pakistan yang berani memberitakan,” tutur pria yang meminta namanya disamarkan dengan alasan keamanan.
Faheem Younus Qureshi memeluk jemaah Ahmadiyah asal Spanyol di Hadeeqatul Mahdi, Alton, Inggris, 29 Juli 2023. Tempo/Yandhrie Arvian
Kekhawatiran menjadi korban persekusi membuatnya menutup rapat-rapat jati dirinya saat kuliah di Lahore, meski dia yakin sebagian kawannya tahu bahwa ia seorang Ahmadi. Apalagi mereka tahu ia lahir dan dibesarkan di Rabwah, pusat Ahmadiyah di Pakistan. Saat ini pemuda tersebut tengah melanjutkan pendidikan di salah satu kampus ternama di Eropa.
Kekerasan juga terjadi di sejumlah negara, antara lain Burkina Faso. Awal Januari 2023, sembilan penganut Ahmadiyah tewas dieksekusi saat hendak menunaikan salat isya di Mehdi Abad, sebuah desa dekat Kota Dori, tak lama setelah azan berkumandang.
Di Indonesia, persekusi terhadap pengikut Ahmadiyah datang silih berganti. Salah satu yang paling mencekam adalah peristiwa penyerangan di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, Februari 2011. Gerakan Muslim Cikeusik menuding Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Dalam tragedi itu, tiga orang tewas, satu mobil dibakar, dan satu rumah dirusak. Tapi, dalam persidangan, para pelaku kekerasan divonis ringan tiga-enam bulan penjara.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ditengarai menjadi salah satu pemicu persekusi terhadap Ahmadiyah. Pada 1980, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran di luar Islam. Pada 2005, MUI kembali mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Siapa pun yang mengikuti Ahmadiyah adalah kafir. Mereka juga meminta pemerintah melarang penyebaran Ahmadiyah serta membekukan dan menutup semua tempat kegiatannya.
Sebagian masyarakat berpegang pada fatwa itu. Menurut Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Maulana Mirajuddin Shahid, para pelaku penyerangan pada umumnya adalah mereka yang tidak paham Ahmadiyah. “Mereka main serang tanpa tabayun, meneliti, atau mencari tahu lebih dulu,” ujar Mirajuddin. Padahal sudah banyak akademikus dari lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi meneliti Ahmadiyah yang masuk Indonesia pada 1924-1925.
Salah satunya adalah Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional. Menulis disertasi mengenai Ahmadiyah saat menempuh studi doktoral di University of Santa Barbara, California, Amerika Serikat, Najib melihat eskalasi persekusi meningkat setelah Reformasi 1998. Meningkatnya intoleransi sejalan dengan tumbuhnya konservatisme agama setelah tumbangnya rezim Soeharto, yang memberikan peluang bagi kelompok garis keras bangkit dan mengekspresikan pandangannya.
Fatwa MUI bukan satu-satunya pemicu persekusi. Sebagian besar persekusi terhadap warga Ahmadiyah terjadi setelah penerbitan surat keterangan bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada Juni 2008. SKB ini seperti memberikan pembenaran bagi kelompok garis keras atas penganiayaan terhadap Ahmadiyah.
Sebelum SKB terbit, terdapat 144 kekerasan terhadap warga Ahmadiyah sepanjang 1998-2008. Setelah SKB terbit, ada 530 kekerasan yang dialami Ahmadi selama 2008-2022. “Persekusi terjadi ketika kelompok garis keras mendapatkan suara dan tempat di masyarakat,” ujar Najib. “Sementara pemerintah gagal memberikan proteksi yang memadai bagi kelompok minoritas.”
Tuduhan sesat yang dilontarkan oleh sejumlah kelompok garis keras di Indonesia menempatkan Ahmadiyah dalam status liminal. Dalam salah satu tulisannya berjudul "Hating the Ahmadiyya: the 'Heretics' in Contemporary Muslim Society", Najib berpendapat pengikut Ahmadiyah berada dalam zona abu-abu antara muslim dan nonmuslim. Akibatnya, mereka rentan mengalami penganiayaan karena hak mereka sebagai muslim telah dirampas. Sementara itu, hak mereka sebagai nonmuslim ditangguhkan hingga benar-benar berpisah dari Islam dan menjadi agama mandiri.
Najib melihat ada persaingan antara Ahmadiyah dan kelompok Sunni. Dalam hal beribadah, lebih dari 90 persen keduanya mempraktikkan hal yang sama. Tapi pengikut Ahmadiyah tidak mau menunaikan salat berjemaah bersama yang lain. Perbedaan itu menjadi sesuatu yang serius bagi kelompok tertentu. Kelompok muslim garis keras percaya Ahmadiyah telah menghancurkan Islam dari dalam. “Istilah yang sering digunakan: Ahmadiyah menusuk dari belakang.” Padahal, menurut Najib, tidak tepat bila Ahmadiyah disebut sebagai aliran sesat.
Berkaitan dengan enggannya menunaikan salat berjemaah bersama umat yang lain, pengikut Ahmadiyah punya alasan. “Ada trauma persekusi,” ujar Sekretaris Pers JAI Yendra Budiana.
Pada 1900, sebelas tahun setelah berdirinya Islam Ahmadiyah di Qadian, India, para Ahmadi diperintahkan tidak menjadi makmum di belakang umat non-Ahmadi. Alasannya, para ulama non-Ahmadi terus-menerus memfatwakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam. Implikasinya: mereka hanya menunaikan salat di masjid sendiri. Mereka bahkan hanya menikah dengan sesama pengikut Ahmadiyah.
Atas pelbagai persekusi yang terjadi, Faheem Younus Qureshi punya resep sederhana. Ahmadi, katanya, tidak akan melawan atau membenci pelaku penyerangan atau persekusi Ahmadiyah. “Kami akan terus membunuh kebencian dengan cinta dan kasih sayang,” ucapnya. "Dan cinta akan selalu menang."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Di Bawah Ancaman Persekusi"