Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Petinggi Kepolisian Daerah Sumatera Selatan saling bantah perihal status tersangka Heryanty.
Kepala Polda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Eko Indra Heri sempat berkonsultasi dengan Mabes Polri.
Masih menunggu keterangan Bank Indonesia.
NASIB Heryanty begitu cepat berayun sepanjang sepekan lalu. Personel Kepolisian Daerah Sumatera Selatan menjemput paksa anak bungsu Akidi Tio ini di Kantor Cabang Utama Bank Mandiri Palembang pada Senin, 2 Agustus lalu. Polisi juga mengumumkan segera menjadikannya tersangka menghina negara dan membuat keonaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi hendak memakai Pasal 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Menurut Direktur Intelijen Keamanan Polda Sumatera Selatan Komisaris Besar Ratno Kuncoro, di Bank Mandiri itu Heryanty mengaku hendak mencairkan giro bilyet senilai Rp 2 triliun, uang yang akan ia sumbangkan untuk menangani pandemi Covid-19 di provinsi tersebut. “Sudah menjadi tersangka dan akan dijerat dengan dua pasal pidana,” kata Ratno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumbangan yang diumumkan secara menghebohkan itu rupanya tak menjadi kenyataan. Hari ketika polisi menjemputnya adalah waktu yang dijanjikan Heryanty menyerahkan uang yang cukup untuk membeli 19 juta dosis vaksin AstraZeneca. Karena dugaan berbohong itu, Heryanty hendak dijerat polisi dengan dua pasal kuno tersebut.
Sehari seusai penjemputan, Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Selatan Komisaris Besar Supriadi memberikan pernyataan sebaliknya dari apa yang diutarakan Komisaris Besar Ratno Kuncoro. “Status Heryanty belum tersangka,” ujarnya. “Penetapan tersangka merupakan kewenangan Direktorat Reserse Kriminal Umum.”
Menurut sejumlah perwira, polisi Sumatera Selatan sempat kebingungan mencari pasal untuk menjerat Heryanty begitu tahu uang Rp 2 triliun diduga fiktif belaka. Semula, polisi akan memakai Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penipuan. Namun delik penipuan bisa meleset karena belum ada yang dirugikan dalam janji sumbangan jumbo ini. Selain itu, pasal penipuan adalah delik aduan. Masalahnya, siapa yang bisa mengadukan Heryanty?
Delik penipuan pun ditinggalkan. Polisi lalu menemukan delik penghinaan negara dan membuat keonaran untuk menjerat perempuan kelahiran Aceh Timur pada 1959 itu. Pasal ini pun terbentur masalah lain: belum ada bukti Heryanty telah menghina negara dan berbuat onar. Ia hanya berjanji menyumbang dan bukan orang yang mengundang media ketika mengumumkan janji itu. Celah ini tak sempat ditimbang hingga Komisaris Besar Ratno Kuncoro keburu mengumumkan status tersangka Heryanty.
Mentok sana-sini, Komisaris Besar Supriadi mengatakan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan masih menyelidiki perkara ini. Adapun Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan Komisaris Besar Hisar Siallagan mengatakan penyidik masih memperkuat alat bukti melalui koordinasi dengan ahli pidana dan otoritas perbankan. “Tunggu sampai ada balasan surat dari Bank Indonesia,” ucapnya seperti dikutip Antara.
Bingung dengan pasal-pasal pidana yang tersedia, Kepala Polda Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Eko Indra Heri dikabarkan berkonsultasi dengan sejumlah pejabat utama Markas Besar Kepolisian RI. Seorang jenderal polisi di reserse mengatakan sumbangan Rp 2 triliun itu menjadi perhatian Mabes Polri karena menghebohkan.
Akhirnya ada satu saran polisi tetap memakai pasal penipuan untuk memperkarakan Heryanty. Namun deliknya bukan pada ingkar janji memberikan sumbangan, melainkan memberikan bilyet giro kosong. Polisi juga menjadikan foto Heryanty ketika sedang menandatangani bilyet itu sebagai barang bukti. Bilyet ini yang kemudian menyebar ke publik dengan tulisan “dua triun rupiah”, bukan triliun.
Alotnya mencari pasal untuk menjerat Heryanty membuat polisi tak kunjung menetapkan anak bungsu Akidi Tio ini menjadi tersangka. Setidaknya hingga Jumat, 5 Agustus lalu. “Belum ada keputusan,” kata Komisaris Besar Supriadi.
Dosen hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bonaprapta, mengatakan sumbangan diduga fiktif Rp 2 triliun keluarga Akidi Tio tidak memiliki unsur tindak pidana. “Kalau dicari-cari pasalnya, jangan-jangan setiap perbuatan bisa dipidanakan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo