Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kapolda Sumatera Selatan Irjen Eko Indra Heri mengaku ikhlas menerima umpatan akibat sumbangan Rp 2 triliun keluarga Akidi Tio.
Mengaku bersalah karena tak melakukan check and recheck keluarga Akidi Tio.
Berkonsultasi dengan Kepala Bareskrim untuk menerapkan pasal pidana kepada Heryanty.
KEGADUHAN sumbangan Rp 2 triliun dari Heryanty, anak bungsu pengusaha Akidi Tio, selama dua pekan terakhir membuat stres Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan Inspektur Jenderal Eko Indra Heri. Ia puasa menonton televisi agar tak melihat riuhnya pemberitaan sumbangan keluarga pengusaha asal Palembang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya kolega, keluarganya juga turut mempertanyakan rencana pemberian bantuan itu yang belakangan diduga fiktif. Alih-alih menelisik asal-usul uang, Eko Heri langsung menggelar seremoni penyerahan bantuan di kantornya pada Senin, 26 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko juga menerima beberapa pesan WhatsApp berupa dukungan ataupun hujatan. “Ketika (sumbangan) ini tidak ada, pasti nyerangnya ke saya,” kata Eko kepada wartawan Tempo Linda Trianita yang menemuinya pada Jumat, 6 Agustus lalu. “Jenderal bintang dua, Kapolda, profesor, kok goblok, sih? Ya, enggak apa-apa.”
Guru besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini mengaku tidak sakit hati terhadap banyaknya umpatan akibat tindakannya yang tak melakukan check and recheck. “Saat itu saya cuma berpikir, orang yang datang menghadap ke saya orang-orang hebat. Meyakinkan uangnya ada. Meski sekarang tidak pernah ditunjukkan,” ucapnya.
Eko lahir di Palembang pada 23 November 1964. Sebelum menjadi Kepala Polda Sumatera Selatan pada 1 Mei 2020, dia menjabat Asisten Kepala Kepolisian RI Bidang Sumber Daya Manusia sejak 2018. Eko menganggap polemik sumbangan Rp 2 triliun ini sebagai ujian dan peringatan Tuhan kepadanya untuk lebih berhati-hati.
Lulusan Akademi Kepolisian tahun 1988-A tersebut menerima penugasan pertama di Kepolisian Resor Aceh Timur sebagai inspektur polisi dua. Di sanalah Eko berjumpa dengan Johan alias Ahok, putra sulung Akidi Tio, pengusaha kecap. Johan menyampaikan bahwa orang tuanya tinggal di Palembang dan menyarankan Eko menemuinya saat pulang kampung. “Pas cuti pulang ke Palembang, saya bertemu dengan Pak Akidi. Silaturahmi biasa. Dari situ kami berteman,” ujarnya.
Meski sudah lama berteman dengan Johan dan Akidi Tio, Eko mengaku tidak mengenal anak-anak Akidi yang lain, termasuk Heryanty. Ia mencoba mengingat Heryanty ketika anggota tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Sumatera Selatan, Profesor Hardi Darmawan, dan Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Selatan Lesty Nurainy menyampaikan rencana donasi Rp 2 triliun tersebut.
Jadi Anda langsung bertemu dengan Heryanty membahas sumbangan Rp 2 triliun
Tidak. Profesor Hardi dan Bu Lesty yang lebih dulu datang ke kantor saya. Saya tanya, ini uang siapa? Rp 2 triliun itu uang besar. Mereka bilang begini, ini anak-cucunya Pak Akidi. Saya tanya juga, ini sumbangan dalam bentuk apa? Sederhana katanya. Datang hari Senin, pakai pesawat pribadi. Penyerahan ceknya di hotel.
Anda langsung yakin?
Awalnya lewat Ibu Lesty Nurainy. Kami sama-sama di Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Lalu ada Profesor Hardi Darmawan, seniornya Bu Lesty. Saya enggak begitu kenal dengan Profesor Hardi. Bu Lesty menyampaikan bahwa Pak Hardi mau minta nomor handphone saya untuk berkomunikasi tentang sumbangan dari keluarga Akidi. Katanya kenalan saya sewaktu di Aceh. Saya lupa, siapa Akidi? Akidi kan sebenarnya tidak di Aceh, dia di Palembang. Tapi karena ada orang yang mau nyumbang, sedangkan kami lagi menunggu bantuan uang, ya, saya bilang silakan kasih nomor saya. Profesor Hardi mengirim pesan WhatsApp menyampaikan sumbangan uang Bu Heryanty itu.
Apa tanggapan Anda?
Ya, baguslah untuk penanganan Covid-19. Tapi disebutkan hanya untuk saya secara pribadi dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat Sumatera Selatan dalam penanganan Covid. Pribadi dan bukan untuk saya. Saya hanya menyalurkan. Kalau saya bilang makelar kebaikan. Saya bilang, oh, enggak apa-apalah, ya, memang sedang butuh.
Kenapa Anda mengundang gubernur, pejabat Tentara Nasional Indonesia, dan tokoh masyarakat lain saat mengumumkan sumbangan itu?
Profesor Hadi pikir karena keterbukaan, ia menyarankan mengundang Forkominda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) yang terdiri atas Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, termasuk para tokoh agama. Saya bilang, oke, akan saya bantu undang, saya telepon Pak Gubernur dan Pak Panglima Kodam. Karena beliau berhalangan, digantikan Komandan Korem.
Saat acara penyerahan itu, dananya dikabarkan masih di Singapura. Anda masih belum tahu uangnya tidak ada?
Soal uang di Singapura, saya enggak tahu. Pak Hardi tidak menyampaikan kepada saya. Saya memandang Profesor Hardi sebagai senior dan bukan orang sembarangan. Pengelola rumah sakit besar di Palembang, kredibilitasnya luar biasa. Bu Lesty juga, saya tahu kerjanya, orangnya jujur. Kami ini sama-sama makelar kebaikan. Ya, sudah, enggak mikir apa-apa. Saya salah. Saya polisi, Kapolda, kok enggak ngecek.
Apa yang disampaikan Heryanty saat bertemu?
Saya tanya ini uang siapa? Dia bilang uang dari keluarga, warisan. Kenapa enggak Ibu ambil? Dia bilang ini uang amanat orang tua. Itu akan menjadi malapetaka untuk kami kalau dimanfaatkan untuk kami. Saya tanya syaratnya apa? Dia jawab enggak ada. Dia mau serahkan ke saya, terserah mau saya jadikan apa. Saya tanya lagi apa yang harus saya lakukan? Perlu pelaporan atau apa dan sebagainya? Enggak Pak, dia bilang, ini tugas saya dan sudah selesai.
Bagaimana Anda menyadari uang Rp 2 triliun tidak ada?
Saat acara penyerahan bantuan, Bu Heryanty datang. Katanya anak-cucu yang lain juga mau datang dari Jakarta naik pesawat pribadi. Tapi tidak jadi dengan alasan positif Covid-19. Tapi bantuannya bukan cek. Styrofoam yang ada tulisan Rp 2 triliun dan foto Pak Akidi mereka yang bawa. Kemudian Profesor Hardi menelepon dan meminta saya buka rekening. Saya memerintahkan Kepala Bidang Keuangan Komisaris Besar Heni Kresnowati. Ternyata, pada Kamis, yang diserahkan bilyet giro Rp 2 triliun yang jatuh tempo pada Senin, 2 Agustus. Saya sudah pesimistis karena bentuknya bilyet giro. Pada Sabtu, keyakinan saya mulai 50 : 50. Saya mulai ragu. Saya meminta anak buah menyelidiki.
Saldo rekening Heryanty dikabarkan hanya Rp 3 juta, suaminya sekitar Rp 900 ribu. Anda tahu informasi ini?
Kami tidak tahu pasti isi saldonya. Memang sampai jatuh tempo pada 2 Agustus itu tidak ada uang. Kemudian ramai itu.
Apa motif Heryanty melakukan ini?
Belum tahu.
Apakah penyidik akan menjerat Heryanty dengan pasal penipuan?
Kalau pasal penipuan enggak bisa, dong, apa yang ditipu? Enggak ada yang rugi.
Saat mulai ramai, benarkah Anda berkomunikasi dengan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo?
Melalui WhatsApp, saya melaporkan dan meminta petunjuk beberapa hal. Beliau melayani dengan baik.
Anda juga berkonsultasi dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Agus Andrianto soal ini?
Iya, beberapa kali soal pasal ini, pasal itu. Tapi pasal ini pun masih perlu pembuktian yang panjang. Kami tidak ada skenario untuk menjadikan dia tersangka waktu itu.
Apa saran dari Kepala Bareskrim?
Pasal apa, ya, saya lupa. Tapi turut hati-hati. Semua yang mau diterapkan pasal itu harus didasari fakta. Polisi bukan mengejar opini, tapi fakta dan petunjuk soal sumbangan 2 triliun keluarga Akidi Tio. Saya sepakat dengan pendapat Pak Kabareskrim. Konstruksi apa yang akan kita lakukan? Kalau penipuan jelas tidak masuk. Kalau membuat onar, pasal berapa itu, masih ada perdebatan-perdebatan mens rea (niat).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo