Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Polisi Tahu Saya Akan Diserang

Novel Baswedan:

2 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEROR penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang terjadi lebih dari dua tahun lalu belum juga terungkap. Tim gabungan pencari fakta bentukan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian pun tak berhasil mengungkap pelaku penyerangan terhadap Novel, yang terjadi pada 11 April 2017. Setelah enam bulan bekerja, tim gabungan yang dibentuk pada 8 Januari lalu dan beranggotakan 65 orang--terdiri dari 52 polisi, 6 perwakilan KPK, dan 7 pakar di luar Polri--itu hanya melahirkan sejumlah rekomendasi, di antaranya membentuk tim teknis untuk mendalami keberadaan tiga terduga pelaku penyiraman.

Novel, 42 tahun, mengaku tidak terkejut dengan hasil kerja tim gabungan. Sejak awal, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu tidak mempercayai kinerja tim gabungan yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tersebut. “Saya sudah sering mengatakan tidak menaruh harapan pada tim ini,” kata Novel kepada Tempo, Rabu, 31 Juli lalu.

Akibat siraman air keras itu, sekitar 90 persen kornea mata kiri Novel terbakar. Ada sarafnya yang mati. Ia sudah menjalani empat kali operasi mata di Singapura dan masih melakukan perawatan berkala di negeri itu. Ia pun harus menjalani cangkok kornea mata di negeri jiran itu untuk memulihkan kondisi penglihatannya. Adapun fungsi mata kanannya yang sempat menurun sudah sedikit membaik.

Karena kondisi tersebut, ayah lima anak ini harus mendekatkan mata kanannya pada obyek yang hendak dibacanya. Seperti ketika membaca pesan di telepon seluler, Novel harus mendekatkan layar perangkat komunikasi itu ke mata kanannya. Ia juga harus selalu membawa obat tetes mata untuk membantu menjernihkan penglihatan. Selain itu, ia rutin melakukan pengecekan kondisi matanya di rumah sakit Singapura.

Di sela memeriksakan kondisi matanya di Singapura, Novel menjawab pertanyaan wartawan Tempo, Anton Aprianto dan Linda Trianita, melalui sambungan telepon internasional pada Rabu, 31 Juli lalu. Dalam wawancara hampir dua jam itu, Novel juga menjelaskan ihwal kasus “buku merah” hing-ga pertemuannya dengan sejumlah jenderal polisi sebelum penyerangan terjadi. Buku merah merupakan buku bersampul merah yang berisi catatan aliran dana peng-usaha Basuki Hariman kepada sejumlah pejabat negara dalam suap impor daging. KPK menyita buku ini saat menggeledah salah satu kantor Basuki pada Januari 2017.

Apa tanggapan Anda terhadap hasil temuan tim gabungan pencari fakta bentukan Kepala Polri?

Sejak awal dibentuknya tim gabungan penyelidik-penyidik oleh Kapolri, saya sudah sering mengatakan tidak menaruh harapan pada tim ini.

Mengapa?

Tim ini dibentuk untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM yang, di antaranya, menyatakan terjadi abuse of process dalam pemeriksaan atau penyidikan terhadap penyerangan kepada saya. Artinya, penyidik atau penyelidik itu melakukan perbuatan abuse dalam proses yang mereka lakukan. Delapan puluh persen orang di dalam tim gabungan ini adalah orang yang berbuat abuse of process itu. Lalu bagaimana saya bisa percaya kepada tim itu?

Sebelumnya, apakah Anda puas terhadap hasil rekomendasi Komnas HAM?

Komnas HAM lumayanlah. Mereka berani mengatakan ada abuse of process dan itu sebenarnya adalah hal-hal yang saya laporkan. Artinya, mereka mengkonfirmasi apa yang saya laporkan. Tentu saya berharap Komnas HAM lebih dari itu, tapi saya dengar Komnas HAM menghadapi ancaman.

Tim gabungan yang disebut Komnas HAM seharusnya tim gabungan independen, bukan tim bentukan Kapolri?

Benar. Saya meyakini semestinya begitu. Tapi kan disebut tim gabungan, berarti Kapolri menganggap ada KPK di situ, ada tim pakar. Padahal orang KPK yang disebut di situ tidak pernah aktif dalam kegiatan itu. Bukan berarti tidak mau, tapi karena ada hal lain yang saya tidak tahu, membuat mereka tidak bisa berkontribusi.

Selama ini, Anda selalu bilang ingin tim bentukan Presiden.

Betul, karena bagaimana saya bisa mempercayai tim pakar ini jika isinya staf ahli Kapolri, staf khusus yang semuanya terafiliasi. Menurut saya, tim ini tidak independen.

Berapa kali Anda diperiksa tim gabung-an ini?

Saya dimintai keterangan satu kali. Sebelumnya, saya pernah dipanggil, tapi saya minta penundaan karena pemanggilan dilakukan bersamaan ketika hendak melakukan penyidikan atau pencarian saksi ke luar negeri.

Masih ingat waktunya?

Pada 20 Juni pukul 10 pagi, saya memberikan keterangan kepada tim gabungan atau pakar di KPK. Ada tim kuasa hukum dan pimpinan KPK yang mendengarkan ketika saya memberikan keterangan dan menjawab semua pertanyaan.

Apa saja yang mereka tanyakan?

Kebanyakan hal yang pernah saya jelaskan dalam keterangan saya pada 15 Agustus 2017 (di Singapura). Kurang-lebih sama.

Contohnya apa?

Saya lupa detailnya, cuma hal-hal yang ditanyakan adalah seputar atau mengkonfirmasi hal-hal terkait dengan kejadian itu.

Kami mendapat informasi dalam pertemuan tim pakar, yang juga anggota TGPF, dengan pimpinan KPK muncul pernyataan bahwa terduga penyerangan itu polisi dan terkait dengan kasus buku merah.

Iya, sewaktu pertemuan itu salah seorang anggota tim pakar mengatakan penyerangan terhadap saya dilakukan oknum polisi dan terkait dengan kasus buku merah. Tapi saya belum mendapat faktanya seperti apa. Jadi, ketika dimintai keterangan pada 20 Juni, saya bersemangat karena saya pikir ada fakta baru yang akan disampaikan, tapi ternyata fakta itu hilang.

Ada anggota tim gabungan yang mengata-kan Anda kurang kooperatif saat diperiksa.

Saya enggak mengerti dari mana atau indikator apa yang mereka pakai. Dari hari saya diserang, saya memberikan semua keterangan. Ketika saya di Singapura, saya didatangi penyidik. Semua pertanyaan saya jawab. Ketika saya keluar dari rumah sakit untuk pertama kali, saya katakan saya siap memberikan keterangan. Beberapa waktu kemudian saya merasa perlu menyampaikan ke media bahwa saya yakin ini tidak diungkap. Seingat saya, dua minggu setelah saya keluar dari rumah sakit untuk rawat jalan di Singapura pada 15 Agustus 2017, saya memberikan keterangan di KBRI Singapura dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan sejumlah sembilan lembar. Jadi kata-kata tidak kooperatif itu ngawur.

Kami mendapat informasi, ketika Anda diperiksa, ada pertanyaan yang menyinggung soal nama seorang jenderal. Bagaimana ceritanya?

Mereka mengatakan ada ancaman pegawai KPK oleh Antam Novambar (sekarang Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI). Terkait dengan perkara lain, bukan diri saya. Itu yang ditanyakan. Padahal sebelumnya saya sudah meminta tolong tim gabungan memeriksa perkara-perkara KPK lainnya. Mereka enggak mau. Saya katakan kok tidak konsisten, masak menanyakan hal itu tapi faktanya tidak mereka periksa. Pertanyaan itu untuk kepentingan apa? Itu yang kemudian tidak terkonfirmasi lebih jauh.

(Teror yang dimaksud terjadi pada Direktur Penyidikan Komisaris Endang Tarsa pada Februari 2015. Ketika itu, Antam meminta Endang menjadi saksi di sidang praperadilan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK. Mereka bertemu di restoran McDonald’s di Ciledug, Banten. Endang diminta menyatakan bahwa penetapan tersangka calon Kepala Polri yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat itu dilakukan atas desakan Ketua KPK Abraham Samad dan wakilnya, Bambang Widjojanto. Antam saat itu disebut mengancam Endang agar mau bersaksi. Dimintai konfirmasi soal ini ketika itu, Antam membantahnya. “Tak ada teror-teror. Kami malah bersalaman dan berpelukan,” ujar Antam.)

Siapa yang bertanya soal Antam itu?

Itu pertanyaan tim gabungan, dari tim pakar. Bukan cuma itu sebenarnya, Pak Hendar-di (anggota tim gabungan) juga mengatakan bagaimana tentang peran Antam Novambar dan lain-lain. Pertanyaan Pak Hendardi itu tidak terkait dengan investigasi tentang diri saya. Saya mengatakan, “Pak Hendardi ini sebenarnya menginvestigasi atau sedang melakukan background check sebagai Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK?” Pak Hendardi kemudian tidak meneruskan itu.

(Hendardi membantah kabar bahwa dia menanyakan soal Antam kepada Novel saat pemeriksaan. Tapi ia membenarkan nama Antam sempat masuk pembahasan tim gabungan. “Karena baru asumsi,” katanya. Tempo memperoleh notula catatan pemeriksaan Novel oleh TGPF. Di dokumen itu tertulis ada pertanyaan terkait dengan Antam Novambar tersebut.)

Tim gabungan menyebutkan penyiraman terhadap Anda untuk membalas sakit hati karena Anda berani menggertak saat mewawancarai saksi. Pembelaan Anda?

Saya pastikan itu ucapan bohong. Apa faktanya mereka bisa mengatakan begitu? Saya rasanya kok enggak seperti yang mereka bilang. Terkait dengan penyerangan oleh orang yang sakit hati kepada saya, Kapolri meminta tim gabungan melakukan investigasi, bukan menerka, menebak, meneliti. Karena itu, dipakailah tim pakar, bukan tim ahli nujum. Apa yang mereka katakan ini lebih pada ahli nujum daripada investigator profesional. Bagaimana bisa tahu isi hati dan niat orang yang berbuat tapi orangnya belum ketahuan? Ini kan lucu.

Menurut tim gabungan, ada enam kasus high profile yang Anda tangani yang diduga berkaitan dengan penyerangan terhadap Anda.

Seingat saya, selalu saya katakan kepada tim gabungan bahwa saya tidak tertarik berbicara motif karena saya khawatir itu akan membuat perkara makin kabur atau bisa digunakan untuk menarik-narik siapa yang akan dijadikan aktor seolah-olah pelaku. Menginvestigasi yang benar dilakukan dengan scientific, dengan pola-pola identifikasi bukti dulu dan dilakukan dengan tanggung jawab lewat pembuktian tak terbantahkan, tapi yang mereka lakukan tidak menunjukkan cara seperti itu. Mereka tidak menyebut semua kasus yang berkaitan dengan polisi, seperti kasus Budi Gunawan dan kasus buku merah.

Dalam beberapa kesempatan, Anda mengatakan tidak ikut menangani kasus buku merah. Tapi, sebelum peristiwa penyiraman, benarkah Anda sibuk mengklarifikasi soal kasus ini ke petinggi polisi?

Saya memang tidak terlibat dalam penanganan perkara itu, tapi waktu itu ada oknum anggota Polri yang membuat isu bahwa seolah-olah saya membawahkan tiga satuan tugas di KPK untuk menangani perkara tersebut dan menargetkan Pak Tito Karnavian. Isu itu saya konfirmasi dan saya pastikan kepada Kapolri sehingga memang timbul keresahan di Polri.

Anda sampai bertemu dengan Kapolri untuk mengklarifikasi soal kasus buku merah?

Iya, waktu itu saya pernah ketemu Pak Kapolri didampingi Idham Azis (sekarang Kepala Badan Reserse Kriminal Polri) dan beberapa orang dari Densus. Waktu itu saya merasa perlu klarifikasi karena sepertinya sudah mulai ada ancaman ke penyidik KPK. Saya sampaikan tidak ada yang menargetkan Kapolri. Pertemuan itu sudah seizin pimpinan KPK.

Siapa yang diancam?

Ada penyidik senior KPK yang diancam waktu itu. Kalau disampaikan bikin seru. Saya merasa perlu mengatakan kepada Kapolri agar hal itu tidak dijadikan isu liar yang jadi ancaman terhadap penyidik KPK.

Novel Baswedan, tiba di Jakarta Eye Center Menteng usai diserang dengan siraman air keras, di Jakarta, 11 April 2017. TEMPO/Imam Sukamto

Pertemuan di rumah dinas Kapolri?

Iya, di rumah dinas.

(Kepada Tempo pada akhir 2017, Tito Karnavian membenarkan adanya pertemuan antara dia dan Novel bersama dua penyidik lain. Menurut Tito, pertemuan itu untuk menjaga hubungan baik antara penyidik dari polisi dan penyidik non-polisi. “Hubungan saya dengan Novel secara pribadi juga baik,” ujar Tito.)

Anda ditemani beberapa penyidik senior KPK dalam pertemuan itu?

Iya. Saya tidak mau menyebut nama penyidiknya, bisa menjadi ancaman baru.

Apa yang terjadi setelah itu?

Setelah itu, ada pegawai KPK yang dijambret, diserang, dan diambil laptopnya pada saat pulang bekerja. Beberapa hari kemudian, ada perusakan barang bukti buku merah. Dan, tak lama setelah penyobekan barang bukti itu, saya diserang.

Ketika untuk pertama kali bertemu dengan Kepala Polda Metro Jaya saat itu, Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan, Anda ditawari pengamanan. Bagaimana ceritanya?

Saya dua kali bertemu dengan dia dalam kegiatan dinas, dua kali beliau datang ke rumah saya memberi tahu saya akan diserang dan saya diminta berhati-hati. Beliau lalu menyampaikan soal pengamanan. Pak Iriawan juga bilang ke media bahwa saya akan diserang, bukan hanya kepada saya seorang. Jadi polisi tahu saya akan diserang. Hal itu bisa kita lihat di YouTube. Setelah saya diserang, beliau mengkonfirmasi kata-kata di media dan rasanya itu benar.

(Mochamad Iriawan membenarkan pernah bertemu dengan Novel untuk menawarkan pengamanan. Ia juga tak menyangkal mengetahui akan ada penyerangan terhadap Novel. “Mengingatkan itu wajar dari kakak kepada seorang adik. Apalagi dia penyidik,” katanya.)

Siapa petinggi Polri yang pertama mengunjungi Anda di Singapura?

Orang pertama yang mendatangi saya di Singapura adalah Pak Tito. Beliau datang sebagai senior saya. Beliau prihatin. Beliau ada kegiatan di Singapura, menengok anaknya. Beliau berjanji mengungkap pelakunya. Setelah itu, ada Densus yang melakukan pelacakan dan menemukan foto terduga pelaku.

Orang Detasemen Khusus itu siapa?

Sebaiknya tidak menyebut nama, ya. Waktu itu ada tim Densus yang mengkonfirmasi diperintah Kapolri. Tim itu menyampaikan hal-hal mengenai terduga pelaku, metode investigasi, dan kemudian meminta saya bertanya kepada para tetangga terkait dengan terduga pelaku. Waktu itu saya didampingi kawan dari KPK. Saya mendapat konfirmasi dari tetangga yang melihat pelaku, saya sampaikan kepada tim Densus. Mereka juga mengatakan sedang mengikuti pelaku. Saya terkejut, setelah sekian lama kok malah menghilang. Narasi yang dibuat kok malah saya tidak kooperatif dan ada skenario-skenario motif aneh yang dibuat-buat. Makanya saya katakan ini benar upaya untuk mengaburkan investigasi.

Selain berjumpa dengan Tito dan Iriawan, apakah benar Anda bertemu dengan Wakil Kepala Polri saat itu, Komisaris Jenderal Budi Gunawan?

Iya, pernah.

Dalam rangka apa?

Saya khawatir confused dengan hal ini. Dulu pernah saya bertemu, tapi konteksnya pimpinan KPK merasa bahwa agar tak timbul kekhawatiran dan lain-lain, saya diminta ketemu BG (Budi Gunawan). Saya bertemu dengan beliau sekadar berbicara hal-hal informal.

Kapan pertemuan itu?

Kalau berbicara hal itu terlalu melebar dan konteksnya tidak berhubungan de-ngan isu penyerangan. Saya ingat itu pas Ramadan 2016.

Budi Gunawan sempat menjenguk Anda?

Enggak pernah.

Anda masih percaya pelakunya seperti temuan awal, yakni Muhammad Lestaluhu?

Sebagai profesional, tidak bisa mengatakan begitu, ya.

(Pada pertengahan April 2017, saat dimintai konfirmasi oleh Tempo, Muhammad Lestaluhu membantah terlibat penyiraman Novel. “Saya tak tahu-menahu kasus tersebut,” ujarnya.)

Dari kasus besar yang di KPK, mana yang Anda yakini berkaitan dengan penyiraman terhadap Anda?

Saya yakin sekali ada dua kasus yang menjadi motif paling kuat untuk menyerang saya: kasus e-KTP dan buku merah. Cuma, saya tidak pernah ingin menyimpulkan. Kembali lagi saya ingatkan fokus pada tempat kejadian perkara dan pelaku lapangan untuk bisa mengungkap ini. Serangan ini bukan kasus yang berdiri sendiri. Ini serangkaian upaya untuk menghancurkan KPK dan pemberantasan korupsi, untuk menakut-nakuti. Ini rangkaian panjang. Semua kasus serangan kepada orang KPK tak ada satu pun yang mau diungkap, bukan tak bisa diungkap. Kalau mau, pasti bisa diungkap.

Presiden Joko Widodo meminta kasus penyerangan Anda selesai dalam tiga bulan. Anda melihat itu sebagai langkah serius?

Saya tanggapi positif. Tiga bulan itu semoga menjadi warning dari Presiden untuk Kapolri bahwa, kalau Kapolri tidak bisa meng-ungkap itu, berarti Kapolri ada conflict of interest atau ada kepentingan lain. Kalau sampai tidak diungkap, artinya ada tiga kali perintah Presiden untuk meng-ungkap tapi di-abaikan. Saya kira kewibawaan Presiden harus dijaga, jangan sampai kasus sederhana ini hanya untuk melindungi orang tertentu.

Dengan pola seperti itu, Anda yakin kasus ini dapat terungkap?

Seharusnya mengungkapnya dari tempat kejadian perkara, dari fakta-fakta yang diperoleh, bukan dari motif lalu mengira-ngira pelakunya. Saya yakin, kalau Kapolri mau, pasti bisa. Beliau bukan orang yang tak mengerti investigasi. Saya tahu beliau punya banyak pengalaman memeriksa. Menangani kasus sesederhana seperti ini, agak aneh kalau beliau enggak bisa.

Jadi ini cuma soal kemauan?

Kalau saya penyidiknya, saya hanya perlu dua bulan menyelesaikan perkara itu. Kalau untuk menangkap pelakunya, saya yakin dua minggu bisa. Itu tidak sulit.

Berangkatnya dari mana?

Saksi kejadian ini lebih dari lima. Ada -sidik jarinya, banyak rekaman CCTV, -banyak fakta lain menunjukkan jejak, pelakunya dua ha--ri berturut-turut sebelum hari-H ada di lokasi. Dengan bukti sebanyak itu, kalau ma--sih enggak bisa, sekolah lagilah -penyidiknya.

Apa yang harus dilakukan Presiden Jokowi terhadap kasus ini?

Ini sudah dua tahun lebih. Makin dibiarkan artinya ada pembiaran negara dan itu sangat buruk untuk sejarah penegakan hukum masalah HAM dan pemberantasan korupsi. Tentu kita tak ingin ini menjadi catatan sejarah buruk bagi Pak Jokowi. Sudah semestinya Pak Jokowi mengambil langkah tegas. Saya juga ingin mengingatkan bahwa banyak orang KPK menjadi korban teror dan banyak terkait dengan oknum Polri dan tidak pernah ada satu pun upaya pengungkapannya.

 


 

NOVEL BASWEDAN

Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 22 Juni 1977

Pendidikan: SMA Negeri 2 Semarang (lulus 1996), Akademi Kepolisian (lulus 1998)

Karier: Kepolisian Resor Bengkulu (1999-2004), Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu (2004-2005), Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (2005-2006), Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (2007-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus