Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
HR Rasuna Said pernah bersekolah dan mengajar di Diniyyah Puteri.
Sejak remaja tertarik dengan aktivitas politik.
Tumbuh menjadi orator, politikus, dan aktivis perempuan yang disegani.
NAMANYA diabadikan menjadi salah satu jalan utama di Jakarta Selatan. Jalan dengan lalu lintas yang selalu padat dan macet pada jam-jam tertentu. Maklum, sepanjang jalan ini dipenuhi gedung pencakar langit, perkantoran swasta dan pemerintah, serta kantor sejumlah kantor kedutaan besar. Itulah Jalan HR Rasuna Said di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Pemilik nama ini dikenal sebagai orator ulung, politikus, dan tokoh emansipasi perempuan sejak muda. Pemerintah menetapkannya sebagai pahlawan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasuna Said lahir di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, pada 14 September 1910. Ayahnya, H Muhammad Said, salah satu tokoh pergerakan sekaligus saudagar sukses di Sumatera Barat. Rasuna menempuh pendidikan di sekolah agama tak jauh dari rumahnya pada 1916-1921. Ia lalu meneruskan pendidikan ke Pesantren Ar-Rasyidiyah sebagai satu-satunya santri perempuan. Setelah itu, ia masuk Perguruan Diniyyah Puteri di Padang Panjang. Sekolah atau pondok pesantren Diniyyah Puteri didirikan oleh Rahmah El Yunusiyyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam buku Ulama Perempuan Indonesia (2002), Jajang Jahroni, guru besar sejarah kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, menulis artikel tentang Hajah Rangkayo Rasuna Said: “Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan”. Rasuna bersekolah di Diniyyah Puteri pimpinan Zainuddin Labay El Yunusy.
Sepeninggal Zainudin yang meninggal muda, Diniyyah diteruskan oleh adiknya, Rahmah El Yunusiyyah. Di sinilah Rahmah dan Rasuna bertemu. Keduanya menjadi tokoh penting, meski sempat terjadi ketegangan di antara mereka. Rasuna menerima pelajaran dengan baik di Diniyyah. Ketika duduk di kelas V dan VI, ia mendapat tugas mengajar santri di kelas yang lebih rendah.
Saat itu Rasuna masih melaksanakan tugas dengan baik. Namun, lama-kelamaan, Rahmah melihat Rasuna lebih tertarik dengan urusan politik. Saat itu organisasi Persatuan Muslimin Indonesia atau Permi telah berdiri dan menarik perhatian para intelektual muda, tak terkecuali Rasuna, yang ikut bergabung.
Diniyyah kemudian ramai dengan pendidikan politik yang disampaikan Rasuna. Apalagi, di luar kelas, Rasuna intensif mendekati para santri guna membincangkan kesadaran politik. Rahmah yang pendidik mulai bersimpang jalan dengan Rasuna yang tertarik politik. Rahmah menginginkan murid-muridnya lebih berfokus dalam belajar dan tidak disibukkan urusan politik.
Rahmah melihat para murid mulai mengabaikan aturan di Diniyyah karena lebih tertarik mendengarkan pidato pemimpin organisasi itu. Usaha secara personal sempat dibicarakan, tapi tak membuahkan hasil. Kemudian Rasuna “disidang” oleh panitia yang diketuai tokoh yang disegani. Jajang, mengutip buku Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, mengatakan Rasuna mundur setelah “penyidangan” itu.
Rasuna kemudian berguru kepada tokoh pembaru dan pelopor gerakan muda Minangkabau, Dr H Abdul Karim Amrullah atau dipanggil Haji Rasul. Suraunya berdiri di daerah Jembatan Besi, Padang Panjang, yang berkembang menjadi perguruan Sumatera Thawalib dan melahirkan Permi. Ide-ide pembaruan mereka dimuat di majalah mereka yang dikenal di wilayah Sumatera Barat dan Melayu Nusantara. Rasuna pun masuk sekolah putri (Meisjes School) yang memberinya keahlian memasak, menjahit, dan keterampilan lain.
Selepas gempa hebat di Padang Panjang, Rasuna pulang ke Maninjau dan ia berguru kepada H Abdul Majid, tokoh agama di kampungnya. Namun ajaran H Abdul Majid tak sejalan dengan pikiran Rasuna. Ia lalu bergabung dengan Sekolah Thawalib di Maninjau. Tokohnya H Udin Rahmani, yang juga anggota Sarekat Islam. Di sinilah Rasuna digembleng. H Udin begitu menginspirasi Rasuna dengan pidato-pidatonya. “Rasuna tumbuh menjadi pribadi yang progresif, radikal, dan pantang menyerah,” demikian Jajang menulis. Tak hanya andal berpidato, ia pun mahir berdebat.
Rasuna mengenal politik sejak berusia 16 tahun dengan bergabung di Sarekat Rakyat dan menjadi sekretaris organisasi. Sarekat menggalang dukungan dari masyarakat untuk melawan penjajah. Salah satu tokoh propagandisnya yang berasal dari Payakumbuh, Datuk Ibrahim Tan Malaka, banyak memanfaatkan Sarekat Rakyat untuk tujuan politiknya.
Orang-orang yang tidak sejalan kemudian melakukan pembersihan dan mengubah Sarekat Rakyat menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1930. Sementara itu, orang-orang yang tergabung di Sumatera Thawalib berkonferensi di Bukittinggi dan mendirikan Permi (yang juga dikenal dengan singkatan PMI) pada 1932.
Rasuna sempat merangkap keanggotaan di PSII dan Permi, tapi kemudian dia memilih bergabung dengan Permi dan ditugasi dalam urusan propaganda partai. Dia pun sibuk berpidato dan menghadiri rapat politik. Selain sibuk di partai, Rasuna mengajar di sekolah yang didirikan Permi untuk para kader perempuan di seluruh pelosok Sumatera Barat. Sekolah yang diberi nama Menjesal itu mengajarkan baca-tulis. Di Padang, dia mendirikan Sekolah Thawalib kelas rendah. Adapun di Bukittinggi ia mendirikan sekolah Kursus Putri dan Normal Kursus.
Dalam buku Inspirasi Pahlawan Indonesia: Rasuna Said Sang Singa Betina karya Hafidz Muftani, Rasuna digambarkan sebagai sosok yang terpengaruh pemikiran reformis muslim Turki yang sedang menjamur di Padang Panjang. Karena kesamaan pemikiran itulah Rasuna masuk di Diniyyah Puteri Padang Panjang. Pemikiran Rasuna Said juga dinilai cukup radikal menurut dosen sejarah Sekolah Tinggi Keguruan dan Pendidikan Abdi Pendidikan Payakumbuh, Fikrul Hanif Sufyan. Fikrul menjelaskan, dalam pemikiran Rasuna, perjuangan tak dilakukan melalui pendidikan saja. “Tapi juga harus disertai dengan politik,” tuturnya.
Rasuna adalah lulusan Sumatera Thawalib yang didirikan oleh Zainuddin Labay El Yunusy. Setelah Rasuna lulus, Rahmah memilihnya untuk mengajar di Diniyyah Puteri. Saat sibuk mengajar, Fikrul menambahkan, Rasuna mulai tertarik pada dunia pergerakan yang dulu juga ditekuni ayahnya. Ia mempunyai rasa nasionalisme yang kuat.
Pergerakannya membuat Rahmah khawatir terhadap Diniyyah. Terkadang, dalam sesi mengajar, Rasuna memasukkan semangat antikolonialisme kepada murid-muridnya. Akibatnya, pemerintah Belanda kerap mengirimkan mata-mata untuk mengintai aktivitas di pesantren tersebut. Karena itulah Rasuna dikeluarkan dari Diniyyah Puteri. Setelah itu, Rasuna bergabung dengan Sarekat Rakyat Padang Panjang dan menjadi sekretaris organisasi itu.
Rasuna kemudian bertemu dan berguru kepada Udin Rahmani, pemimpin PSII di Maninjau. Rasuna dalam berbagai pidatonya selalu melontarkan protes terhadap pemerintah Belanda. Ia bahkan dijuluki Singa Betina karena keberaniannya saat berpidato. Tentu saja hal ini membuat Belanda tak senang.
Akibatnya, pemerintah kolonial Belanda senantiasa menempatkan sejumlah mata-mata di lembaga Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Rasuna juga terlibat dalam Kongres Perempuan PMI di Payakumbuh. Dalam laporan koran De Sumatra Post, Kongres Perempuan PMI yang berlangsung pada 1-21 November 1932 diikuti oleh semua pengurus dari Sumatera Barat. Saat itu Rasuna Said menjabat kepala departemen perempuan dan ditugasi menjelaskan prinsip-prinsip PMI. Dalam pidatonya, ia pun menyerukan kemerdekaan Indonesia.
Rasuna juga merupakan sosok yang karismatik dan bisa meyakinkan para peserta kongres dengan ucapannya. Fikrul juga menyebutkan beberapa kali Rasuna diinterupsi oleh PID. Namun Rasuna bergeming. “Memang tidak ada takutnya,” ujar Fikrul. Akibatnya, Rasuna kemudian ditangkap petugas pemerintah Belanda serta diadili dan ditahan di Penjara Bulu, Semarang, selama 13 bulan.
Kepergiannya dilepas dengan linangan air mata dan lagu “Indonesia Raya”. Tak jera ditangkap Belanda, Rasuna makin getol berpolitik. Ia juga banyak menulis dan menjadi pemimpin redaksi majalah Raya yang kritis. Ia berpindah ke Medan guna membuat sekolah dan majalah Menara Putri. Kiprah H.R Rasuna Said berlanjut di zaman Jepang. Pada masa kemerdekaan, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada masa pasca-kemerdekaan, ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung dan aktif di Persatuan Wanita Republik Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fachri Hamzah dari Padang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rasuna Said, Singa Betina yang Disegani Belanda"