Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM masuk Istana pada 2014, Pratikno punya andil dalam transisi pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo. Dosen pascasarjana Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, bercerita, Pratikno bersama dia dan Cornelis Lay, guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bergabung dalam tim tiga Jokowi.
Tim tiga bertugas memfinalisasi dan menyinkronkan usulan program jangka pendek pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Menurut Andrinof, semula hanya dia dan Conny—panggilan Cornelis—yang masuk tim itu. “Prof Conny mengusulkan tambahan satu nama ke Pak Jokowi, yaitu Pratikno,” kata mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional itu kepada Tempo, Rabu, 24 Januari 2024.
Nama Pratikno pun semula tak masuk daftar sebagai calon Menteri Sekretaris Negara. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto bercerita, awalnya Jokowi menawarkan jabatan Menteri Sekretaris Negara kepadanya. Namun Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tak membolehkan dia bekerja di kompleks Istana Negara.
Megawati meminta Hasto—saat itu Wakil Sekretaris Jenderal PDIP—berfokus mengurus partai. Belakangan, Mega memilih Hasto sebagai sekretaris jenderal.
Posisi Menteri Sekretaris Negara lantas ditawarkan kepada Cornelis Lay. Namun Conny menolak karena alasan kesehatan. Cornelis—wafat pada Agustus 2020—kemudian menyodorkan nama Pratikno kepada Jokowi. Pratikno saat itu masih menjabat Rektor UGM.
Pratikno menjadi orang pertama yang dipastikan masuk Kabinet Kerja 2014-2019. Menurut Hasto, Menteri Sekretaris Negara harus diputuskan lebih dulu karena akan membantu presiden menyusun kabinet. “Ibu Mega menganggap Pratikno berkinerja baik di UGM,” ujarnya kepada Tempo di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 23 Januari 2024.
Ia tak menyangka Pratikno bakal menjadi tangan kanan Jokowi. Sebab, Pratikno tak berkontribusi besar dalam pemilihan presiden 2014 yang dimenangi Jokowi. “Beliau tak banyak membantu pemenangan Jokowi,” kata Hasto.
Bersama Jokowi, Pratikno masuk Kampus Biru pada 1980. Jokowi mahasiswa Fakultas Kehutanan, sedangkan Pratikno di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol). Namun kedekatan keduanya mulai terjalin saat pemilihan Wali Kota Solo 2005.
Seorang pengajar di UGM bercerita, program pascasarjana politik lokal kampus itu ikut membantu PDI Perjuangan memenangkan Jokowi, yang maju bersama F.X. Hadi Rudyatmo. Tim UGM saat itu dipimpin oleh Cornelis Lay. Conny, yang dikenal dekat dengan petinggi partai banteng, ikut mengajak Pratikno terjun ke Solo, Jawa Tengah.
Melalui jawaban tertulis yang dikirim pada Jumat, 26 Januari 2024, Pratikno mengatakan interaksi dengan Jokowi baru terjadi saat ia menjadi dosen dan peneliti di Fisipol UGM. Saat itu Jokowi telah terpilih sebagai Wali Kota Solo. “Saya dan kolega dosen melakukan penelitian terkait dengan otonomi daerah dan reformasi birokrasi,” tutur Pratikno.
Bekas asisten Pratikno, Erwin Endaryanta, mengatakan mantan bosnya itu sangat dekat dengan Cornelis Lay. Bersama dua pakar ilmu politik dan pemerintahan UGM, Purwo Santoso dan Bambang Purwoko, Conny dan Pratikno berfokus pada studi politik lokal. Setelah Reformasi 1998, mereka ikut dalam kajian desentralisasi dan otonomi daerah.
Tiga akademikus UGM yang mengetahui kiprah keduanya bercerita, Conny membantu Pratikno membangun jaringan di lingkup internal kampus dan alumnus. Cornelis juga memperkenalkan Pratikno kepada petinggi partai politik. Cornelis pun membawa beragam proyek dan pendanaan untuk dosen Fisipol UGM.
Dengan dukungan Cornelis yang cukup disegani di UGM, karier Pratikno sebagai dosen terbilang moncer. Ia terpilih menjadi Dekan Fisipol UGM pada 2008. Empat tahun kemudian, Pratikno didapuk sebagai Rektor UGM.
Erwin Endaryanta mengatakan, ketika Pratikno baru memimpin UGM, Jokowi yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta datang ke almamaternya. Menurut Erwin, keduanya kian intens berkomunikasi seusai pertemuan itu. “Pratikno ikut mendorong Jokowi maju dalam pemilihan presiden,” ucap Erwin.
Mendampingi Jokowi di Istana Negara mulai 2014, Pratikno kembali ke kampus dua tahun kemudian. Ia menjadi Ketua Majelis Wali Amanat UGM menggantikan Sofian Effendi. Pemilihan Pratikno sempat menimbulkan pertanyaan. Aturan Majelis Wali Amanat menyebutkan Ketua Majelis mundur jika menjadi pemimpin struktural di instansi pemerintah.
Sekretaris UGM Andi Sandi mengakui aturan itu sempat menjadi polemik di antara anggota Majelis Wali Amanat. Namun ia menyatakan peraturan Majelis Wali Amanat juga memperbolehkan pejabat aktif di lembaga negara. “Selama tidak ada conflict of interest dengan UGM,” kata Andi, Sabtu, 27 Januari 2024. Hingga kini, Pratikno masih memegang jabatan itu.
Empat narasumber di UGM yang mengetahui sepak terjang Pratikno bercerita kepada Tempo, menteri 61 tahun itu masih berpengaruh di kampus. Termasuk dalam pengambilan kebijakan internal universitas. Empat dosen UGM yang ditemui terpisah itu sama-sama mengatakan bahwa Pratikno ikut mempengaruhi pemilihan Rektor UGM.
Narasumber yang sama bercerita, Rektor UGM saat ini, Ova Emilia, mendapat dukungan Pratikno dalam pemilihan pemimpin kampus. Begitu pula rektor sebelumnya, Panut Mulyono. Pratikno pun disebut ikut membantu menyelesaikan persoalan hukum yang diduga menjerat orang-orang yang dia dukung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2019, menurut dua pejabat pemerintahan, Pratikno juga mengajukan Ova menjadi Menteri Kesehatan. Namun Jokowi memilih Direktur Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat saat itu, Terawan Agus Putranto.
Ova membantah jika disebut mendapat dukungan Pratikno dalam pemilihan Rektor UGM. Lewat Sekretaris UGM Andi Sandi, ia menyatakan relasinya dengan Pratikno sebatas rektor dan Ketua Majelis Wali Amanat. “Bu Ova mengatakan tak pernah bertemu atau berkomunikasi dengan Pak Pratikno ketika proses pemilihan,” ujar Andi.
Panut Mulyono juga membantah bila dikatakan mendapat dukungan Pratikno. “Kami berkompetisi secara normal dan saat itu ada calon dari Fisipol, yang merupakan fakultas beliau,” tutur Panut, yang berasal dari Fakultas Teknik.
Sebagai Menteri Sekretaris Negara, Pratikno menjadi pintu terakhir bagi mereka yang ingin bertemu dengan Presiden. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, di awal Pratikno menjabat pada 2014, Megawati Soekarnoputri sempat kesulitan menemui Jokowi. Meski sudah menghubungi Pratikno, petinggi PDIP tak kunjung mendapatkan jadwal pertemuan.
Dalam ketidakjelasan pertemuan itu, Jokowi melantik Luhut Pandjaitan sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Menurut Hasto, keputusan melantik Luhut diambil Presiden tanpa berkonsultasi dengan pimpinan partai pendukung. “Ibu Mega bilang kenapa peristiwa penting seperti ini enggak disampaikan sebelumnya,” katanya.
Hasto menilai peran dan kekuasaan Pratikno terasa makin besar menjelang periode pertama pemerintahan Jokowi berakhir pada 2019. “Pada periode pemerintahan kedua Presiden Jokowi, Pak Pratikno sudah sangat berbeda,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Dongoran, dan Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menteriku di Kampus Biru"