Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA telanjang bulat. Duduk di atas seekor serigala, wajahnya menyeringai menakutkan. Deretan gigi tajamnya terlihat. Matanya seperti membelalak. Mahkotanya berhias tengkorak. Semua aksesori tubuh, dari kalung (hara), kelat bahu (keyura), sampai selempang, bermotif kepala manusia. Akan halnya gelang tangan (kankana) dan gelang kaki (napura), semuanya polos sederhana. Ikat pinggangnya berupa roncean lonceng kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat tangan (catur bhuja) ia miliki. Tangan kanan belakang mengacungkan trisula. Tangan kiri belakang memegang gendang kecil. Tangan kanan depan menggenggam pisau yang bilahnya lebar. Tangan kiri depan diangkat di dada memegang cawan atau mangkuk berisi darah. Kakinya mengangkang menginjak lapik yang dipenuhi lingkaran tengkorak-tengkorak besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arca Bhairawa setinggi 1,67 meter itu merupakan perwujudan demonis Syiwa yang diperkirakan beberapa arkeolog berasal dari relung utama Candi Singasari. Sayang, arca tersebut tidak termasuk yang dipulangkan pada Agustus nanti. Tatkala empat “rekannya” dari Singasari, arca Durga, Ganesha, Mahakala, dan Nandiswara, akan dikembalikan, arca ini bersama arca lembu Nandi tetap tinggal di Leiden, Belanda.
Kisah enam arca Singasari itu dimulai pada 1801 saat Nicolaus Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, melaporkan adanya reruntuhan Candi Singasari. Pada 1804, arca Bhairawa di atas candi beserta arca Durga Mahisasuramardhini (semula berada di relung utara), arca Ganesha (relung timur), arca Mahakala (relung pengapit utara), arca Nandiswara (relung pengapit selatan), dan arca lembu Nandi dibawa ke Batavia.
Pada 1819, semuanya dikapalkan pemerintah kolonial ke Museum Leiden. Hanya relung di sebelah selatan Candi Singasari yang masih terisi arca, yaitu arca Resi Agastya jelmaan Syiwa sebagai guru di dunia. Sampai kini, bila mengunjungi Candi Singasari, kita masih dapat melihat arca sang mahaguru resi itu. Kondisinya agak rusak. Tangan kanannya hilang. Mungkin karena kondisinya yang ringkih tersebut arca ini tidak ikut diambil Engelhard.
Arca Bhairawa dari Candi Singosari, kini berada di Belanda. KITLV
Dari Prasasti Singasari bertarikh 1273 Saka (1351 Masehi), dapat diketahui Candi Singasari didirikan pada zaman Tribhuwanatunggadewi berkuasa di Kerajaan Majapahit. Ia memerintahkan Rakryan Mapatih Mpu Mada membuat candi untuk memperingati gugurnya Raja Singasari Kertanegara bersama Patih Mpu Raganatha akibat serangan Bupati Gelanggelang (sekarang Madiun, Jawa Timur) Jayakatwang. Kertanegara diserang tiba-tiba saat ia bersama para menterinya melakukan ritual Tantrayana. Ia tewas pada 1292 Masehi. Lokasi tempat berdirinya Candi Singasari ditengarai para arkeolog adalah kompleks percandian tempat Kertanegara melakukan upacara itu.
Kertanegara diperkirakan menganut Bhairawa Tantra. Bhairawa adalah wujud Syiwa dalam keadaan amarah. Arca dengan posisi duduk setengah menari di atas tubuh serigala yang disebutkan di awal sangat penting bagi dunia arkeologi Indonesia. Sebab, ia sesungguhnya merupakan arca simbol Kertanegara sebagai penganut Bhairawa. Serigala yang menjadi “singgasana” adalah simbol binatang pemakan mayat. Perkuburan adalah tempat ritual Tantra sering dilakukan. Arca ini sering disebut arca Chakra-chakra karena di bagian belakang arca ini terdapat inskripsi pendek bertulisan kata "chakra-chakra".
Menurut arkeolog Bali, I Gusti Ayu Surasmi, Kertanegara menyebarkan Tantra sampai ke Bali. Di Bali terdapat pura bernama Pura Kebo Edan di Pejeng, Gianyar. Di situ ada arca Bhairawa besar yang ikonografinya mengerikan. Ia berdiri di atas jenazah. Posisi kedua kakinya seperti tengah menari. Pergelangan kaki dan tangannya dibelit ular. Alat kelaminnya terlihat mencuat ke arah kiri, mengesankan entakan kakinya hebat sehingga menyingkapkan kain yang dikenakannya. Dalam bukunya, Jejak Tantrayana di Bali, Ayu Surasmi menjelaskan arca Bhairawa ini dibuat oleh Patih Kebo Parud pada 1213 Saka. Patih Kebo Parud adalah orang yang mewakili pemerintahan Singasari di Bali. Arca ini, menurut Ayu Surasmi, menunjukkan bahwa latihan-latihan Tantrayana juga dilakukan oleh pegawai-pegawai Kerajaan Singasari di Bali.
Akan halnya arca Durga Mahisasuramardhini yang akan dikembalikan adalah lambang Durga membantai raksasa berbentuk kerbau. Durga adalah shakti Syiwa dan bentuk amarah istri Syiwa, Parwati. Arca bergaya Durga Mahisasuramardhini sering ditemukan di candi-candi Jawa Tengah. Hariani Santiko dalam disertasinya, "Kedudukan Bhatari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi", mengemukakan pendapat bahwa arca Durga Mahisasuramardhini di Singasari tampak lebih tenang. Durga bertangan delapan itu berdiri di atas tubuh kerbau dengan kaki mengangkang. Satu kaki menginjak kepala kerbau, satu menjejak di pangkal ekor kerbau. Posisi tubuh Durga sedikit condong ke belakang. Tangan kanannya terangkat seolah-olah hendak melempar cakra.
Di kawasan Desa Ardimulyo di Singosari, Malang, Jawa Timur, kurang-lebih 2 kilometer dari Candi Singasari, pernah pula ditemukan arca Dewi Camundi. Dewi Camundi ditampilkan dengan kening berkerut karena marah terhadap Asura. Dewi Camundi digambarkan bertangan delapan dan duduk di atas dua jenazah yang tergeletak di sebuah padmasana. Ada empat relief yang mengapit sosoknya: Bhairawa yang menari di tumpukan tengkorak, Ganesha, dan dua dewi. Arca Camundi ini sekarang disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Beberapa bulan lalu, saat Tempo mengunjungi Museum Trowulan, terlihat arca ini lusuh dan berdebu. Dari pembacaannya atas inskripsi yang tertatah di belakang arca, Hariani Santiko berpendapat Kertanegara pernah melakukan ritual untuk Camundi dua bulan sebelum dia tewas diserbu pasukan Jayakatwang.
Arca Ganesha, yang diberikan kepada raja Thailand, di kompleks Candi Singosari, pada 1860. KITLV
Edi Sedyawati dalam disertasinya, "Pengarcaan Ganesa Masa Kediri dan Singasari", menganggap faktor aksesori tengkorak yang terdapat pada arca-arca Ganesha era Singasari membuatnya memiliki kekhasan yang tidak dimiliki arca Ganesha dari percandian Jawa Tengah. Pada era Singasari, arca Ganesha lebih menampilkan sosoknya sebagai Vignesvara—penghalang rintangan dan penghancur musuh. Ganesha adalah perwira menakutkan. Sampai sekarang di dekat Bendungan Karangkates, Malang, masih terdapat sebuah arca Ganesha dari zaman Singasari. Arca ini langka karena posisinya berdiri tegak sempurna. Tingginya hampir 3 meter. Arca ini bermahkota tengkorak dan kakinya menginjak lapik yang dikelilingi sembilan tengkorak.
Yang banyak orang lupa, selain dibawa ke Leiden, ada arca Ganesha dari Singasari yang juga “pindah” ke Bangkok. Pada 1896, Raja Thailand berkunjung ke Jawa. Pemerintah kolonial Belanda memberi hadiah arca-arca, salah satunya arca Ganesha. Arca ini sekarang berada di Museum Nasional Bangkok. Arca Ganesha yang berada di Bangkok ini ukurannya lebih besar daripada yang ada di Leiden. Arca Ganesha tersebut dulu ditemukan di lokasi tempat ditemukannya arca Dwarapala (raksasa) Singasari. Arca Ganesha di Museum Nasional Bangkok perwujudannya duduk di atas tengkorak. Belum ada upaya untuk meminta arca Ganesha di Bangkok ini karena mungkin kasusnya lain.
Museum Nasional Jakarta kini tengah bersiap menerima pengembalian empat arca Candi Singasari: Durga, Mahakala, Ganesha, dan Nandiswara. “Bila dua arca yang tersisa (Bhairawa dan lembu Nandi) diminta, juga akan kami kembalikan,” ucap Lilian Gonçalves, perempuan yang lahir di Suriname yang menjadi ketua Commissie Koloniale Collecties. Menarik membayangkan enam arca Singasari ini berkumpul kembali dalam satu ruangan di Museum Nasional Jakarta, juga dengan arca Camundi yang kini berada di Museum Trowulan serta arca Ganesha yang berada di Bangkok. Para mahasiswa, pengunjung, dan khalayak peminat arkeologi tentu akan lebih leluasa mempelajari gaya estetika pengarcaan Singasari serta meraba teologi dan ritus Tantra di balik arca-arca tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menunggu Bhairawa Singasari Pulang Kampung"